Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Buruk dan Mertua Jahat
Hari ini, sepulang mengajar, Fitri menerima kabar yang mengguncang hatinya. Suaminya, Dito, mengalami kecelakaan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kabar ini disampaikan oleh pihak rumah sakit melalui sambungan telepon. Fitri terkejut dan sangat sedih mendengar berita tersebut. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas menuju rumah sakit.
Di perjalanan, Fitri tidak henti-hentinya berdoa dan berharap Dito tidak mengalami luka yang serius. Ia sangat khawatir dan cemas. Air matanya bahkan sengaja menetes. Fitri tidak sabar ingin segera sampai di rumah sakit dan melihat keadaan suaminya.
Sesampainya di rumah sakit, Fitri langsung mencari informasi tentang Dito. Ia bertanya kepada petugas di bagian informasi dan menuju ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Di sana, ia melihat Dito terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan beberapa luka di tubuhnya. Fitri tidak bisa menahan air matanya saat melihat kondisi suaminya.
"Mas Dito, apa yang terjadi padamu?" tanya Fitri dengan suara bergetar.
Dito dengan susah payah menceritakan kejadian yang menimpanya. Ia mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan saat sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Sebuah mobil tiba-tiba menabrak mobilnya dari belakang, menyebabkan mobilnya oleng dan menabrak pohon.
Fitri mendengarkan cerita Dito dengan seksama. Ia очень khawatir dengan keadaan suaminya. Setelah Dito selesai bercerita, Fitri langsung memeluknya erat. Ia sangat bersyukur karena Dito masih selamat dari kecelakaan tersebut.
"Yang penting kamu selamat, Dito," kata Fitri sambil menangis. "Aku sangat mencintaimu."
Dito membalas pelukan Fitri dan mencium keningnya. Ia juga sangat mencintai Fitri dan berjanji akan selalu menjaga dirinya baik-baik.
Setelah itu, Fitri menemani Dito selama di rumah sakit. Ia merawat Dito dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Fitri juga selalu memberikan semangat dan motivasi agar Dito cepat pulih.
****
Junaida, ibu mertua Fitri, tiba di rumah sakit dengan wajah khawatir. Namun, kekhawatirannya bercampur dengan rasa kesal dan amarah. Melihat Fitri yang sedang duduk di samping Dito, Junaida langsung menghampirinya dengan tatapan tajam.
"Fitri, apa yang sudah kamu lakukan pada anakku?!" tanya Junaida dengan suara tinggi.
Fitri terkejut mendengar suara mertuanya yang tiba-tiba meninggi. Ia menatap Junaida dengan bingung. "Ibu, saya tidak melakukan apa-apa," jawab Fitri dengan suara bergetar.
"Kamu jangan pura-pura tidak tahu!" bentak Junaida. "Kamu pasti sudah membuat Dito celaka!"
Fitri semakin bingung dan ketakutan. Ia tidak mengerti mengapa mertuanya menuduhnya seperti itu. "Ibu, sungguh, saya tidak tahu apa-apa tentang kecelakaan ini," kata Fitri dengan suara lirih.
Junaida tidak percaya dengan perkataan Fitri. Ia terus memaki-maki Fitri dan menyebutnya menantu tidak berguna. "Kamu ini memang menantu tidak berguna!" kata Junaida dengan nada sinis. "Seharusnya kamu berhenti mengajar sejak dulu. Kamu hanya membawa sial bagi keluarga ini!"
Fitri hanya bisa menangis mendengar perkataan mertuanya. Ia merasa sangat sedih dan terhina. Ia tidak menyangka bahwa mertuanya akan menyalahkannya atas kecelakaan yang menimpa Dito.
"Ibu, tolong jangan seperti ini," kata Fitri dengan suara bergetar. "Saya mohon, Ibu percaya pada saya."
Namun, Junaida tetap tidak mau mendengarkan perkataan Fitri. Ia terus memaki-maki Fitri dan menyalahkannya atas semua yang terjadi.
"Kamu ini memang pembawa sial!" kata Junaida dengan nada marah. "Sejak Dito menikah denganmu, hidupnya jadi susah seperti ini!"
Fitri hanya bisa pasrah dan menerima semua hinaan dari mertuanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa berdoa dan berharap Dito cepat pulih.
****
Kenzi dan Mega, yang mendengar perlakuan Junaida terhadap ibu mereka, Fitri, tidak terima. Terutama Kenzi, yang sudah remaja dan mengerti situasi yang terjadi. Ia paham betul bahwa neneknya telah keterlaluan dan tidak seharusnya mengatakan hal-hal yang menyakitkan hati ibunya.
"Nenek, kenapa nenek bicara seperti itu sama Ibu?" tanya Kenzi dengan nada berani. Mega, adiknya, hanya mengangguk setuju di belakang Kenzi, menunjukkan bahwa ia juga merasakan hal yang sama.
Junaida menatap Kenzi dengan tajam. Ia tidak menyangka cucunya akan berani melawannya. "Kamu ini anak kecil, tidak tahu apa-apa!" bentak Junaida. "Ibu kamu itu yang salah! Dia sudah membuat Dito celaka!"
"Tidak, Nek!" bantah Kenzi dengan tegas. "Ibu tidak salah. Ibu selalu ada untuk kami, untuk Ayah. Ibu tidak mungkin membuat Ayah celaka."
Junaida semakin marah mendengar perkataan Kenzi. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang nenek dilanggar. "Kamu ini pintar mendebat karena ajaran ibumu!" kata Junaida dengan nada sinis. "Ibumu itu yang sudah meracuni pikiranmu!"
"Nenek, Ibu selalu mengajarkan kami untuk jujur dan berani," kata Kenzi. "Ibu juga selalu mengajarkan kami untuk menghormati orang tua, tapi bukan berarti kami harus diam saja kalau ada yang salah."
Junaida terdiam mendengar perkataan Kenzi. Ia tidak menyangka cucunya akan berkata seperti itu. Ia merasa malu dan bersalah.
"Kenzi, Mega, sudah," kata Fitri dengan suara lirih. Ia tidak ingin anak-anaknya terlibat dalam pertengkaran dengan nenek mereka.
"Tapi, Bu ...." kata Kenzi, masih tidak terima dengan perlakuan neneknya.
"Sudah, Nak," kata Fitri sambil mengusap rambut Kenzi. "Nenek sedang emosi. Kita harus maklumi."
Kenzi dan Mega akhirnya mengalah. Mereka tidak ingin membuat ibu mereka semakin sedih. Mereka hanya bisa menatap nenek mereka dengan tatapan kecewa.
Junaida masih terdiam. Ia merasa malu dan bersalah setelah mendengar perkataan cucunya. Ia menyadari bahwa ia telah bertindak keterlaluan. Namun, ia masih terlalu gengsi untuk meminta maaf.
Fitri kemudian mengajak anak-anaknya untuk meninggalkan rumah sakit. Ia tidak ingin mereka terus menyaksikan pertengkaran dengan nenek mereka. Ia ingin mereka fokus pada kesembuhan ayah mereka.
"Ayo, Nak," kata Fitri. "Kita pulang dulu. Kita doakan Ayah cepat sembuh."
Kenzi dan Mega mengangguk dan mengikuti ibu mereka meninggalkan rumah sakit. Mereka berdua masih merasa kesal dan marah pada nenek mereka, tetapi mereka berusaha untuk menahan diri. Mereka percaya bahwa ibu mereka adalah orang yang baik dan tidak pantas diperlakukan seperti itu.
****
Pagi ini, Fitri harus kembali mengajar. Ia berpamitan pada Dito yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. "Aku harus mengajar dulu ya, Mas," ucap Fitri lembut sambil mengusap rambut Dito. "Nanti siang aku kembali lagi."
Dito mengangguk lemah. "Hati-hati di jalan, ya."
Junaida, ibu mertua Fitri, yang sedari tadi memperhatikan mereka, menatap Fitri dengan sinis. "Kamu ini memang tidak tahu diri," sindirnya pedas. "Anak saya sakit begini, kamu masih sempat-sempatnya memikirkan pekerjaanmu itu."
Fitri menghela napas sabar. Ia tahu mertuanya memang tidak pernah menyukainya. "Bu, saya bukan tidak mau izin," jawab Fitri dengan tenang.
"Hari ini ada pekerjaan administrasi yang harus saya selesaikan. Kalau tidak, bisa menumpuk."
"Alasan saja kamu!" balas Junaida dengan ketus. "Kamu itu lebih mementingkan pekerjaanmu daripada anakmu sendiri."
Fitri berusaha untuk tidak terpancing emosi. Ia tidak ingin memperpanjang masalah dengan mertuanya. "Saya permisi dulu, Bu," ucap Fitri sambil mencium tangan Junaida.
Junaida masih menatap Fitri dengan tatapan tidak suka. Ia merasa Fitri tidak pantas menjadi menantunya. "Dasar menantu tidak berguna!" gumamnya dalam hati.
Fitri berjalan keluar dari kamar rumah sakit dengan hati sedih. Ia tahu, apapun yang ia lakukan, mertuanya tidak akan pernah puas. Ia hanya bisa berdoa agar Dito cepat sembuh dan ia bisa segera kembali ke sisinya.