NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:933
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Langkah kaki Kaivan terayun menjejaki lobi. Akhirnya dia bisa kembali bekerja setelah mengambil cuti yang lumayan panjang. Setelah keluar dari elevator, Kaivan segera menjejaki selasar sembari tersenyum menanggapi beberapa rekannya. 

Langkah kaki Kaivan berhenti bersamaan dengan bunyi pantofel nya. Di sebuah ruangan khusus orang yang paling dekat dengannya. Hari ini Kaivan akan menemuinya lagi. Pintu yang agak sedikit terbuka itu memudahkan Kaivan untuk segera mendorongnya.

Kosong. Tidak ada orang di sana. Mejanya sudah bersih. Ada beberapa dus yang tertumpuk di kaki meja. Kaivan mendekati meja itu. Tangannya menyentuh ujung meja yang dulunya terletak sebuah nama yang mempunyai ruangan itu.

“Wah! Kamu sudah di sini aja?”

Suara di belakang membuat Kaivan berbalik dan tersenyum. Mereka saling berhadapan dengan rengkuhan ala lelaki.

“Saya nggak akan berpikir kalau hari ini akan terjadi, Pak,”ujar Kaivan memandangi Pak Reyhan.

Pak Reyhan melepas nafas panjang, sesaat kemudian dia tersenyum. Memberikan senyuman terbaik yang dia punya untuk bawahannya yang sudah dia anggap seperti keluarga. “Ya begitu lah, Kai. Ini pilihan saya. Saya tidak harus menyesalinya, kan?”

Kaivan melepas tawa sumbang, “Nggak lah, Pak. Semua keputusan diambil karena sudah dipikirkan matang. Baik-buruknya. Resikonya apalagi. Jadi, saya pikir bapak tidak perlu menyesalinya.”

“Ya, tentu. Lagi pula, saya sudah kompromi perihal ini pada istri saya. Dan dia setuju. Padahal kemarin saya menggantungkan harap saya pada dia. Jika dia bilang tidak, maka saya tidak akan melakukannya,”jelas Pak Reyhan. “Bagaimana liburanmu? Pasti menyenangkan?”

Kaivan mengangguk, ada segurat senyum yang dia perlihatkan meski tidak memandang Pak Reyhan. “Saya senang sekali melihat istri saya yang berbaur dengan ibu saya. Mereka bukan sekedar menantu dan mertua. Tapi, seperti anak kandung dan ibunya.”

“Wah … saya senang mendengarnya,”ucap Pak Reyhan, tersenyum senang. “Terkadang saya berpikir ujian kamu di mana ya … soalnya hidupmu nyaris sempurna.”

Kaivan terperangah. “Oh ya?”

“Iya. Punya karir yang lagi bagus, istri cantik dan pengertian, juga hubungan antara keluarga yang baik,”jelas Pak Reyhan. “Saya jadi iri sama kamu.”

Hanya terdengar kekehan Pak Reyhan sembari menepuk pundak Kaivan. Sedangkan, Kaivan masih mematung. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya seperti terkena lem tembak. Memangnya apa yang bisa dia pikirkan dalam keadaan otak yang mendadak buntu?

Seseorang datang setelah mengetuk pintu. Membuat kedua lelaki itu menoleh. Pada seorang gadis yang khas dengan kunciran rambutnya dan kacamata bulatnya. 

“Pak Reyhan, ditunggu Pak Firman di ruangannya,”ucap Raisa sesaat menatap Kaivan. 

“Ah … baiklah. Bilang sama Pak Firman secepatnya saya akan ke sana. Setelah mengangkut semua dus-dus ini,”balas Pak Reyhan yang membuat Raisa mengangguk.

Kaivan mengernyit heran saat kepergian perempuan itu. Sebelum langkahnya benar-benar terayun, dia sempat tersenyum samar pada Kaivan. 

Tepukan yang mendarat di pundaknya membuatnya menoleh. “Saya mau panggil orang dulu di bawah—”

“Oh, baik, Pak. Saya ke ruangan dulu,”potong Kaivan bergegas keluar. Sebelum Kaivan melewati ambang pintu. Dia mendengar suara Pak Reyhan.

“Suatu saat kalau kamu memutuskan untuk resign dari sini, saya akan membuka lebar kedua tangan saya untuk menerima kamu sebagai bawahan saya lagi,”ujarnya. “Tapi, sepertinya hal itu tidak akan terjadi, karena di sini karirmu sedang bagus-bagusnya.”

\*\*\*

Shana pikir, mendengar kabar kehamilannya bisa membungkam mulut-mulut berisik yang terus menggunjingnya di teras rumah. Ternyata tidak. Cuma beberapa hari saja mereda, selebihnya mereka masih memanfaatkan mulut kotor mereka untuk membahas rumah tangga Shana.

Namun, sekarang Shana sedang sibuk dengan pekerjaannya. Di pukul empat sore, dia sudah berkutat dengan alat dan bahan masaknya. Dia ingin membuat suatu makanan yang disukai Kaivan.

Matanya sesekali melirik pada daun pintu yang tertutup. Tapi, di sana terdengar suara bersahutan. Shana hanya berdecak dengan gelengan kepalanya.

“Eh, Buibu! Udah dengar belom?”

“Apa tuh?!”

“Katanya si mandul itu udah bisa hamil!”

“Hah?! Serius?!”

“He’em!”

“Katanya lagi, usia kandungannya sudah empat bulan!”

“Wah! Jangan-jangan bukan mandul. Tapi …”

“Tapi, apa?!”

“Hamidun!”

“Wah!! Bahaya tuh! Bisa bikin bencana alam di tempat kita!”

“Kita harus berunding! Harus usir si perempuan itu!”

“Iya! Harus itu!”

“WOY! BETINA HAMIDUN! LO BUDEK?! SANA KELUAR! NGGAK SUDI GUE ADA PEREMPUAN MODEL LO DI SINI!”

Dengar? Mungkin jika Shana keluar saat ini dia bisa habis di tangan mereka. Entah apa tujuan mereka. Yang pasti, hanya ingin membuat Shana terganggu. Tapi, peduli apa?

Shana hanya fokus pada ponselnya yang menampilkan halaman web tentang resep. Sesekali menggumam sebelum melaksanakan instruksi sesuai langkah-langkahnya.

Daging iga sapi sudah direbus sedari tadi. Kini, Shana membuat bumbu halus. Bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, kemiri, ketumbar, merica, kluwak, dan garam. Setelah menghaluskannya dengan blender, Shana segera memisahkannya.

Matanya tidak luput dari ponsel. Was-was jika terjadi kesalahan. Apalagi ini pertama kalinya dia memasak sebuah hidangan berat dari daging sapi.

Sengaja Shana memasak lebih awal agar saat Kaivan akan pulang, Shana tinggal memanaskannya. Dia tidak ingin membuat perasaan Kaivan buruk selepas kepulangan dari indung.

Setelah ditumis, bumbu tadi segera dimasukkan ke dalam rebusan iga. Menambahkan garam dan bumbu lain. Lalu, Shana menutup panci dan meninggalkan dapur saat dering ponselnya terdengar.

Di layar tertera nama indung. Tidak butuh waktu lama, Shana segera menggeser panel hijau. “Halo, Bu? Apa kabar?”

“Baik, Teh. Teteh bagaimana di sana?” Terdengar suara antusias dari seberang. 

Obrolan mereka terus berlanjut hingga posisi duduk Shana berubah menjadi berbaring di sofa. Mereka bagaikan anak yang meninggalkan orang tuanya lama. Padahal, baru kemarin mereka meninggalkan Bandung. Namun, rasa rindu menyeruak kembali. 

Shana melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam saat indung bertanya apa yang sedang dilakukannya. 

Shana berlari ke arah dapur dan segera mematikan api kompor. Dia buka tutup panci dengan perasaan campur aduk. Beruntung tidak hangus. Air hanya menyusut setengah. 

Namun, saat diaduk, daging tadi sudah lembek seperti bubur. Tubuh Shana lunglai, merosot ke lantai dengan mata berkaca-kaca. Rawonnya menjadi bubur. 

Shana menutupi seluruh wajahnya. Menyesali kecerobohannya lagi. Hingga dia lupa bahwa panggilannya masih terhubung. Suara cemas di seberang sana terdengar. “Shana? Kamu baik-baik saja? Shana?”

Bukankah hal wajar jika seseorang yang memiliki perasaan buruk, ketika ditanya tentang perasaannya maka dia akan menangis? Jadi, Shana sudah menangis tanpa suara. Menahan sekuat mungkin meski pundaknya bergetar hebat. Sesekali erangan kecilnya terdengar ngilu. 

“Indung telepon Kaivan dulu, ya? Kamu baik-baik aja, kan, Teh?” Sesaat sebelum indung memutus panggilan sepihak. 

Otak Shana buntu. Tidak mampu bicara apa-apa. Kualitas memasaknya begitu buruk. Dia sudah membayangkan masakannya akan membuat Kaivan takjub. Namun, sepertinya tidak. Mungkin saja Kaivan akan pulang dengan amarahnya. Dan, Shana akan terkena dampratnya.

Memikirkan itu membuat tangis Shana bertambah kencang. Dia sudah tidak menahan suaranya lagi. Bahkan, tidak menyadari suara deru mobil yang memasuki garasi.

Pintu terbuka dan menampilkan Kaivan yang masih menempelkan ponselnya di telinga. Matanya menatap sekeliling mencari keberadaan Shana. Hingga dia lihat tubuh mungil yang terduduk di lantai dapur. 

“Shana? Ada apa?”

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!