Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan untuk Rayyan
"Rayyan mau masuk mobil yang sama bareng Hana?" tawar Inayah, dia mencandai Rayyan yang terlihat raut wajah datarnya sedikit mengendur. Sepertinya Rayyan mulai membuka hati pada gadis bernama Raihana dan akrab dipanggil Hana.
"Tidak!" sahut Rayyan cepat, dia mendelik mendengar tawaran dari Bu Inayah. Jika Inayah tergelak dengan reaksi Rayyan, berbeda dengan Hana bibirnya seketika mengerucut.
"Masih ada kursi kosong kok, kalau Rayyan mau naik mobil bareng kita nanti aku siapkan di depan khusus untuk Rayyan." Hana tak mau menyerah, dia menyambar cepat pancingan Bu Inayah.
"Tidak, terima kasih. Aku masuk duluan, Bu." Dengan wajah kembali ke stelan semula Rayyan menjawab. Dua pamit pada Inayah dan langsung menuju mobil yang akan dinaikinya tanpa menunggu jawaban Bu Inayah.
"Ayo, masuklah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu." Masih dengan sisa tawanya, Inayah menyuruh Hana untuk masuk mobil karena sebentar lagi mereka akan berangkat.
🌹🌹🌹
Ada waktu untuk berharap, ada waktu untuk berhenti. Ada masa untuk memperjuangkan dan ada masa untuk mengikhlaskan.
Mengikhlaskan bukan menyerah, melainkan memberi ruang bagi diri untuk tumbuh lebih indah.
Tidak ragu untuk melepaskan karena Tuhan selalu menyiapkan gantinya yang lebih menenangkan.
Hari-hari yang dilalui Inayah kini lebih tenang. Kembali menampilkan wajah cerianya di hadapan setiap orang. Inayah benar-benar sudah move on. Dia sudah tidak lagi terpengaruh dengan masa lalunya, tekadnya kuat, harinya adalah hari ini. Jika hari ini bisa bahagia kenapa harus mencemaskan untuk hari esok yang masih belum tentu?. Seperti itulah mindset yang Inayah bangun dalam dirinya.
Keluarga dan orang-orang dekat Inayah turut berbahagia dengan keadaan Inayah yang terlihat lebih baik seperti saat ini.
Rayyan sudah selesai mengikuti olimpiade sains tingkat kabupaten dan berhasil menjadi pemenang. Bulan depan dia akan menjadi wakil Kabupaten Garut untuk kembali bertandang di tingkat provinsi.
Inayah yang ditugaskan untuk kembali mendampingi Rayyan kini lebih ekstra dalam mengatur jadwal belajar dari Rayyan. Motivasi pun tak kalah rajin Inayah berikan pada muridnya itu, berharap jika keikutsertaannya dalam kegiatan kali ini adalah berdasarkan kesadaran dirinya. Keinginan dirinya untuk lebih dapat menemukan jati dirinya serta dapat menginspirasi teman-temannya yang lain.
Inayah tidak ingin Rayyan merasa terpaksa bahkan tertekan. Dia pun berharap setiap hal yang dilakukan Rayyan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dirinya, positif bahkan berdampak bukan hanya untuk diri dan masa depannya tapi juga bisa menginspirasi orang lain.
"Bu ..." Inayah menoleh saat panggilan Rayyan menyapa telinganya. Dia tengah anteng dengan laptop dengan layar yang menyala menampilkan kerjaannya. Sambil menemani Rayyan yang belajar dengan Pak Ruhi, guru Kimia yang beberapa saat lalu izin ke toilet sebentar.
"Di provinsi nanti katanya aku akan dikarantina selama tiga hari." nada bicaranya sendu, ada kesedihan yang terlihat jelas di wajahnya membuat Inayah mengernyit.
"Iya, kan biar fokus mengikuti lombanya. Di sana juga jadwal keseharian kamu sudah diatur dengan baik." jelas Inayah merasa tak ada yang aneh dengan hal yang dikhawatirkan Rayyan.
"Ckk ..." Rayan berdecak membuat Inayah heran.
"Kenapa?"
"Kenapa? Yang karena itu artinya aku enggak akan bersama ibu dong."
Jeddeerr ...Inayah menjatuhkan kepalanya ke atas meja dengan bahu berguncang karena tawa.
"Iih kenapa Ibu malah menertawakan aku?" protes Rayyan tidak terima dengan reaksi Inayah.
"Rayyan, Rayyan ...kamu itu yah."
"Ibu kadang suka heran sama kamu, di hadapan teman-teman kamu selalu tampil dewasa, irit bicara, jarang senyum, pokoknya kelihatan cool banget. Tapi Ibu juga sudah sangat sering melihat kamu yang merajuk, manja seperti ini. Seperti anak kecil saja." Inayah akhirnya mengatakan hal yang selama ini menjadi tanya dan masih tersimpan dalam hati. Tapi hari ini dia merasa ada jalan untuk mengatakannya.
"Karena ibu kan spesial, hanya di hadapan ibu aku begini, nyaman menjadi diriku sendiri. Hanya di hadapan ibu ya Bu, ingat itu." Rayyan menghentikan ucapannya saat Pak Ruhi terlihat berjalan ke arah mereka.
"Kamu ini!" Inayah memalingkan wajah saat beradu tatap dengan Rayyan.
"Oya, bagaimana dengan Hana? Sudah kamu terima pernyataan cintanya?" Inayah mengalihkan topik pembicaraan. Bisa-bisa dirinya baper mendengar setiap kata ambigu yang diucapkan Rayyan. Walau pun sudah sering Rayyan berkata yang terdengar ambigu di telinga Inayah tapi tetap saja kadang hati Inayah pun tanpa sadar merespon dengan rasa yang berbeda.
"Tidak, aku tidak pernah menerima Hana." protes Rayyan dengan intonasi meninggi, dia paling tidak suka jika Inayah membicarakan murid-murid wanita yang sering mengatakan suka padanya.
"Ya sudah sekarang ayo lanjutkan lagi menyelesaikan soal-soalnya " pungkas Inayah, bertepatan dengan Pak Ruhi datang dan kembali duduk di kursinya tepat di hadapan Rayyan. Dia sedang menyembunyikan kegugupannya, disebut spesial oleh Rayyan hatinya merasakan hal yang berbeda.
"Anak ini, benar-benar ya ..." gumam Inayah.
Inayah tidak mau hanyut dalam perasaan semu yang selalu tiba-tiba suka hadir saat Rayyan berkata sesuatu yang ambigu. Bukan perkataan yang diucapkan murid pada gurunya tapi banyak hal lain yang dilakukannya yang membuat Inayah kadang merasa Rayyan bukan seperti muridnya.
"Ayo semangat!" pekik Inayah menyemangati dan direspon oleh Rayyan dengan mengacungkan dua jempolnya.
Rumah, sekolah, membersamai Rayyan belajar saat sekolah usai dan kembali ke rumah saat senja menyapa.
Seperti itulah hari-hari yang dijalani Inayah. Waktu untuk Rayyan mengikuti lomba semakin dekat, terbilang dua hari dari sekarang. Inayah membiarkan Rayyan melakukan apa yang di ingin dilakukannya.
Menuju hari H, Inayah tidak memporsir Rayyan untuk belajar. Dia hanya belajar saat subuh dan diperbolehkan bermain game di ponselnya sekedar untuk menghilangkan kepenatannya sesudah belajar berjam-jam.
"Siap ya? Selamat berjuang Rayyan. Ibu hanya bisa mendo'akan semoga kamu menjadi yang terbaik. Dan apapun hasilnya, itu adalah takdir terbaik untuk kamu."
"Terima kasih Bu, aku akan membuat Ibu bangga." Inayah terharu, selama beberapa bulan ini membersamai Rayyan dia merasa begitu dianggap oleh muridnya itu. Makanya saat Rayyan bilang akan membuatnya bangga, sulit bagi Inayah untuk tidak berkaca-kaca.
"Bismillah ya Nak." Inayah melepas anak didiknya itu, hatinya sungguh bangga dengan Rayyan, seperti bangganya seorang ibu kepada anaknya.
Perpisahan kecil antara Inayah dan Rayyan sore ini membuat wajah sendu Rayyan terlihat jelas. Besok Rayyan akan pergi ke Bandung untuk menjalani karantina peserta olimpiade selama tiga hari dibersamai Pak Ruhi sebagai guru sains, dan Inayah berjanji pada Rayyan akan mengantar kepergiannya esok pagi di sekolah.
Malam hari saat Inayah hendak tertidur, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk yang ternyata dari telepon rumah.
"Assalamu'alaikum Bapak, mohon maaf ...,'
"Wa'alaikumsalam." dari seberang sana terdengar
" Iya Pak, ada yang bisa dibantu?"
"Begini Bu Inayah." penelepon yang tidak lain adalan kepala sekolah, menjelaskan mengenai tujuan beliau menelepon, sekaligus membahas perkembangan kesiapan Rayyan bersama Inayah.
Beliau juga menjelaskan teknis-teknis pemberangkatan, barang-barang yang harus disiapkan apa saja dan banyak lagi lainnya. Dan point penting dari pembicaraan sang kepala sekolah adalah perihal guru pembimbing Rayyan yaitu Pa Ruhi sebagai salah satu guru sains di sekolah.
Pagi menyapa, tepat pukul tujuh Inayah sudah bersiap di ruang guru dengan pakaian bebas. Mengendong ransel kecil dan menenteng koper berukuran sedang.
Tiin ...
Suara klakson mobil terdengar Inayah, itu pasti suara mobil yang khusus disiapkan pihak sekolah untuk mengantarkan mereka ke lokasi lomba.
Inayah pun berjalan keluar setelah pamit kepada guru-guru yang masih berada di ruang guru. Sementara sebagian besar guru lainnya sudah masuk ke kelas sesuai jadwal mereka.
Inayah membuka pintu mobil depan, dia memilih duduk di samping sopir. Di jok barisan kedua tampak Rayyan sibuk sendiri dengan tablet di tangannya. Membaca-baca lagi, pengusir sepi katanya beralasan pada Pak sopir saat ditanya kenapa baca buku terus selama perjalan. Saking fokusnya Rayyan sampai tak menyadari keberadaan Inayah di jok depan.
Baru lima belas menit mobil mengaspal. Inayah yang sejak tadi diam bahkan belum menyapa Rayyan walau dengan salam benar-benar ingin membuat kejutan untuk anak didiknya itu.
"Kita berhenti dulu di depan mini market ya Pak."
Mendengar suara yang tak asing Rayyan seketika mendongak dan menatap ke sumber suara.
"Bu Inayah?" pekik Rayyan terkejut.
"Kejutan!" seru Inayah dengan senyum manis menghiasi wajahnya saat menoleh ke arah jok belakang.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️