Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Janji Kelingking
“H-Herald, apakah… apakah benar kamu mau pulang?”
Suara Clara terdengar lirih, nyaris bergetar. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat suasana seketika berubah. Herald, yang awalnya yakin dengan keputusannya, kini mendadak terdiam. Ia bisa saja langsung mengiyakan dan menjelaskan alasannya, tapi begitu melihat ekspresi Clara, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Ada sesuatu yang terasa salah.
Ketika Herald tak juga menjawab, Clara segera beralih pada ayahnya.
“Ayah… apa benar Herald akan pulang?” Mata buramnya menatap Astalfo penuh harap, seolah berharap jawaban yang berbeda. “Jawab Ayah.”
Astalfo menarik napas dalam, lalu menghela perlahan. Ia tahu, tak ada gunanya mengelak.
“Iya, Herald memang ingin pulang.”
Clara menundukkan kepalanya, tetapi Astalfo melanjutkan penjelasannya.
“Kamu tahu, Clara, ini semua adalah bagian dari rencana Ayah. Ayah meminta Herald untuk membawamu keluar dari kamarmu… dan sebagai imbalan, Ayah menjanjikan sebuah hadiah jika ia berhasil. Sekarang, setelah tugasnya selesai, dia meminta hadiah itu dalam bentuk kepulangannya ke rumah.”
Clara tetap diam. Wajahnya perlahan menggelap, seolah cahaya yang sebelumnya muncul kini meredup kembali.
Herald merasakan sesuatu yang mengusik hatinya. Entah kenapa, dadanya terasa sesak melihat ekspresi Clara yang berubah drastis.
[Apakah… aku telah membuatnya sedih?]
Ia mulai meragukan keputusannya. Seharusnya, ini tidak masalah, bukan? Clara sudah menemukan kebahagiaannya, dia sudah bisa berbaur dengan orang-orang di mansion ini. Kehadiran Herald seharusnya tidak lagi berpengaruh besar baginya… bukan?
Tapi, kalau memang begitu, kenapa ekspresinya begitu menyakitkan?
Herald ingin bertanya. Ia ingin memastikan sesuatu. Tangannya perlahan terangkat ke arah Clara.
"Anu… Clara—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Clara tiba-tiba meraih tangannya.
Genggamannya erat.
“Clara…?” Herald terkejut, tapi Clara tetap diam.
Genggamannya semakin kuat, sampai kain di lengan baju Herald berkerut karena tekanan jemarinya.
Lalu, suara itu kembali terdengar.
“Herald… aku mohon, jangan pulang dulu.”
Clara mengangkat kepalanya, menatap Herald dengan mata yang kini digenangi air. Bulir-bulir bening mulai menetes, turun ke pipinya dan menyatu di dagu.
“Padahal aku sudah punya teman baik sepertimu… tapi sekarang kamu mau pergi meninggalkanku…” Suaranya semakin pelan, semakin penuh permohonan. “Aku tidak mau… tetaplah di sini. Aku masih membutuhkanku.”
Bibirnya bergetar. Ia berusaha menahan isak, tapi nada suaranya tidak bisa berbohong.
Herald terdiam.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Di sisi lain, Astalfo yang melihat adegan itu hanya tersenyum. Ia mendekati Herald, lalu kembali menepuk pundaknya—tapi kali ini, tangannya bertahan di sana, memberi tekanan yang berbeda.
“Herald, lihatlah apa yang sudah kamu lakukan,” katanya lembut. “Kurasa tugasmu masih belum sepenuhnya selesai. Aku rasa… hadiah yang kupersiapkan untukmu harus kutahan dulu, sampai kamu benar-benar menyelesaikan tugasmu ini.”
Astalfo kemudian melirik Herald, menyelipkan sebuah kedipan penuh makna.
Herald mengerti.
[Heh… lebih baik aku pasrah saja.]
Setelah itu, Herald menggenggam kedua tangan Clara dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman. “Kalau itu yang kamu inginkan, aku tidak akan pergi. Aku tidak bisa meninggalkan seorang putri kesepian seperti dirimu. Kalau aku pergi, kamu akan kembali mengurung diri di kamarmu, kan? Semua usaha yang sudah kita buat akan sia-sia, dan aku tidak mau itu terjadi. Jadi, berhenti bersedih, ya.”
Herald mengelus rambut Clara dengan lembut, memberikan sentuhan kehangatan yang menenangkan.
Isak tangis yang sempat tertahan di dada Clara mulai menghilang, perlahan-lahan digantikan oleh sebuah kehangatan yang mengalir. Perasaan sakit yang menyesakkan hatinya mulai terobati, dan kesedihannya pun perlahan sirna. Dengan perlahan, senyum manis kembali menghiasi wajah Clara. Ia mengangkat tangannya, setinggi dada, lalu mengepalkan jari-jari kecuali jari kelingkingnya yang ia tunjukkan pada Herald.
"Kalau begitu," kata Clara dengan mata yang kini berbinar cerah, "mari kita berjanji, kalau kamu tidak akan meninggalkan aku."
Itulah janji kelingking, sebuah ikatan yang tak hanya menyatukan dua jari, tetapi juga hati mereka. Meski tampak sederhana, bagi sebagian orang, hal ini adalah simbol yang penuh makna.
Herald terkejut melihatnya. [Eh, jadi dia bahkan melakukan ini? Clara, ada-ada saja.]
Herald bingung. Apa Clara tidak mempercayai ucapannya sehingga harus membuat janji semacam itu? Atau mungkin dia hanya ingin berjaga-jaga, memastikan tidak ada yang berubah. Mungkin, itu cara Clara untuk memastikan dia tak akan kehilangan teman yang berarti baginya—teman yang adalah dirinya sendiri.
Tanpa banyak berpikir lagi, Herald mengangkat jari kelingkingnya dan mengaitkannya dengan jari Clara. Clara dapat merasakan kehangatan dari jari Herald yang menyentuhnya, dan hatinya terasa lebih ringan.
"Baiklah, Clara," Herald berkata dengan penuh ketulusan. "Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu, dan begitu juga kamu, jangan sampai meninggalkanku, ya."
Janji itu terucap, terjalin erat di antara mereka, mengikat dua jiwa dalam sebuah ikatan yang tak terlihat.
Clara tersenyum lebar, senyuman yang penuh dengan kebahagiaan yang memancar dari wajahnya. "Baiklah, ini janji kita!" ucapnya dengan semangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Di sisi lain, Astalfo yang menyaksikan semua itu merasa sedikit heran. Dia menyaksikan mereka berdua, dan sebuah perasaan aneh muncul dalam dirinya.
[Apakah aku salah? Bukankah janji seperti itu seharusnya diucapkan oleh sepasang pengantin?]
Astalfo tertegun, merasa bingung sekaligus tercengang. Janji mereka terasa seperti ikrar yang diucapkan dalam upacara pernikahan—sepasang pengantin yang berjanji untuk selalu setia, saling mendukung.
[Hm, selama Clara bahagia, tidak masalah.]
Namun, dalam hati Astalfo, sedikit keraguan mulai muncul. Clara memang masih anak-anak, belum mengerti banyak tentang kehidupan dan perasaan. Mungkin dia tidak menyadari apa arti sebenarnya dari kata-kata itu. Astalfo memutuskan untuk mengabaikannya, yang terpenting adalah kebahagiaan Clara. Tetapi, bagaimana jika itu menjadi kenyataan suatu hari nanti? Astalfo tidak pernah membayangkan hal seperti itu terjadi.
***
Pesta mulai mereda dan berakhir saat sore tiba. Suasana yang semula penuh keceriaan kini berganti dengan ketenangan. Para pelayan mulai merapikan ruang aula, mengembalikannya ke bentuk semula, dan semua itu tetap dalam pengawasan Astalfo dan Hermas.
Namun, ada yang berbeda dengan sikap Astalfo. Dia mengamati para pelayan yang bekerja, tapi sesekali, pandangannya beralih ke arah pintu Aula, pintu masuk yang kosong. Seolah dia sedang menunggu seseorang yang belum juga datang. Perasaan cemas itu terlihat jelas di wajahnya, meskipun dia berusaha menyembunyikannya.
Sementara itu, di sisi lain, Herald dan Clara berdiri di depan kamar Clara, diiringi oleh beberapa pelayan yang membantu. Biasanya, hanya mereka berdua yang berjalan menuju kamar ini, namun kali ini para pelayan ikut serta untuk membantu Clara setelah pesta. Ini adalah bagian dari rutinitas mereka.
Herald dan Clara bertatap pandang, dan akhirnya Herald yang membuka pembicaraan.
"Baiklah, Clara. Besok kita akan bertemu lagi."
"Mm, baiklah," jawab Clara singkat, suaranya pelan.
Setelah itu, Herald memberikan senyuman sebagai tanda perpisahan untuk hari ini. Ia mulai berbalik, meninggalkan Clara di depan pintu kamar. Clara mendengar langkah kaki Herald yang semakin menjauh. Suara itu perlahan memudar, dan entah kenapa, hatinya terasa sedikit gelisah. Meskipun mereka sudah berjanji, rasa takut bahwa Herald akan pergi meninggalkannya muncul lagi.
Clara mencoba mengangkat tangannya, ingin memanggil Herald sekali lagi. Namun, sebelum dia sempat berbicara, salah satu pelayan memintanya untuk masuk.
"Nona, mari kita masuk. Anda harus membersihkan diri terlebih dahulu."
Keinginan Clara untuk berbicara dengan Herald pun tiba-tiba menghilang. Dia berbalik, mengalihkan perhatian dari perasaannya, dan berkata pada pelayan itu.
"Mm, ayo masuk."
Clara akhirnya masuk ke dalam kamar, diikuti oleh para pelayan. Sesaat, dia melepaskan rasa cemas yang menggelayuti hatinya, namun di dalam hati, pertanyaan itu tetap ada—apakah Herald benar-benar akan tetap ada di sisinya?