Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Kesepakatan
Inara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hari ini ia merasakan lelah yang luar biasa. Lelah batin yang tiada habisnya. Belum lagi Argha selalu membututinya ke manapun ia pergi.
“Aku merasa Pak Argha sangat posesif sekali. Sebenarnya orang itu punya masalah apa lah, ya? Seperti punya dendam kesumat sama Mas Artha. Ya Tuhan … meski ini menguntungkanku, tapi ….”
Tok tok tok
Inara mendesis saat ia bangun dari ranjang. Sedikit memijat kepalanya yang mendadak pening. “Pasti Pak Argha mau nyuruh—“
“Inara, apa kamu di dalam?”
Inara menghela napas panjang, mencoba untuk lebih tenang lagi. “Buka saja, Pak! Saya di dalam.”
Ekspresi Argha selalu tak terbaca. Inara mencoba untuk tersenyum. “Bagaimana? Kita berangkat sekarang?” Embusan napas Inara membuat pria tampan berhidung mancung itu mengangkat dagu. “Kenapa?”
“Saya bahkan belum bilang sama ibu saya, Pak. Saya juga—“
“Papa saya sudah menunggu di luar.”
Mata Inara mendelik, terlihat bahwa kegelisahannya semakin jelas, gadis yang memiliki mata lebar itu menggitit bibir bawahnya. “Pak Alan? Di sini? Saya ….”
“Sudah, keluar saja. Saya akan menunggu kamu di ruang tamu. Bersikaplah santai, jangan lupa bernapas.” Argha tersenyum tipis, lalu kekuar dan menutup pintu kamarnya.
“Aduh, gimana ini? Ah, kenapa menjadi serumit ini? Aku … aku gak siap ketemu sama Pak Alan. Menemui ibu juga. Ya Tuhan … aku harus gimana? Bahkan aku belum kasih tahu ke ibu yang sebenarnya.” Inara meraup wajahnya, kasar. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, supaya bisa lebih santai. “Tenang … tenang dan tenang.”
Inara bangkit dari tempatnya duduk. Kakinya sudah membaik, meski sedikit nyeri jika dipakai untuk berjalan cepat. Sambil meyakinkan diri, ia terus melangkah mencoba menemui Alan yang telah menunggunya di ruang tamu.
Inara tak pernah melihat senyum Argha yang tulus. Pria tampan dengan wajah tirus itu terlihat tak memiliki beban apapun. Senyumannya terlihat alami. Hal ini membuat hati Inara bergetar. Namun, keraguan akan kepribadian bosnya itu kembali menyadarkannya, jika semua itu adalah rekayasa.
“Duduk sini!” Argha melambaikan tangannya. Menepuk bangku di sebelahnya itu. Ah, andai kalau itu bukan akting, mungkin Inara akan menjadi satu-satunya wanita yang paling bahagia di dunia ini.
Alan tampak menoleh ke arah Inara, dan gadis itu otomatis memberikan anggukan kecil. Ekspresi Alan tak seperti terakhir kali bertemu dengannya, yang judes dan dingin, di sini Alan justru mengulum senyuman. Apa yang membuatnya berubah? Ah, ternyata ucapan Argha bukan hanya isapan jempol belaka.
Alan tak seperti monster.
“Selamat sore, Pak,” sapa Inara dengan sopan.
Alan mengangguk, tangannya menunjuk bangku. Inara sendiri duduk di sebelah Argha mengikuti arah telunjuk Alan.
“Saya tidak menyangka, takdir memang mengatakan, jika kamu akan menjadi menantu saya.” Alan mengendurkan ikatan dasinya, aura kepemimpinannya itu membuat Inara menjadi semakin gugup. Gadis itu meremas tangannya sendiri, demi mengurangi rasa grogi. “Apa kamu sudah mantap ingin menjadi istri Argha?”
Inara mengangkat wajahnya yang pias. Senyumnya tampak sangat dipaksakan, wajah Argha kembali memprovokasi, membuatnya terpaksa mengangguk. “I-iya, Pak.”
“Tidak ada unsur lain?” Alan memicingkan matanya, mencoba membaca setiap pergerakan mimik wajah Inara.
“Ti-tidak, Pak. Hubungan saya sudah selesai dengan Mas Artha. Saya sudah lama mengenal Pak, em maksud sama Mas Argha. Dan Mas Argha adalah pria yang baik, di-dia bisa meyakinkan saya, kalau saya akan menjadi satu-satunya wanita yang ia cintai.” Entah kata-kata dari mana, kalimat itu meluncur begitu saja. Hanya saja, ketakutan terus menghantui, mengingat Artha juga putra lain dari Alan.
Argha menyeringai. Ia tak menyangka jika Inara secerdas itu berimprovisasi. Ia akan memberikan sedikit hadiah untuk kecerdasan bawahannya itu. Ia berdeham, seolah merasa bangga telah memenangkan hati seorang Inara Ambar Pratiwi.
Alan manggut-manggut, ia senang melihat putra sulungnya yang ia pikir belok itu benar-benar normal, meski sejujurnya ia sedikit ragu dengan calon menantunya itu.
“Apa kamu tidak sungkan, menikah dengan pria yang tadinya itu calon ipar kamu?”
Inara menunduk sebentar. Karena rasa bencinya terhadap Artha, ia menjadi yakin. “Tidak, Pak. Mas Argha telah meyakinkan saya. Kalau semuanya akan baik-baik saja. Mau tidak mau, Mas Artha juga harus menerima ini, kan? Dia sudah menghianati saya. Tapi, Mas Argha begitu baik sama saya, memperlakukan saya dengan baik juga.”
“Orang tua kamu?”
Inara menghela napas. “Saya yakin, ini demi nama baik keluarga, dan kebahagiaan saya. Pasti Beliau tidak akan keberatan.”
Alan manggut-manggut. Sepertinya tekat Inara juga bulat. Entah apapun maksud dari perempuan itu, ia cukup senang kalau putra sulungnya itu akan menikah. Ia juga yakin, Argha bukanlah orang yang mudah untuk dibodohi. Ia juga sedang menyelidiki, adakah unsur kawin kontrak di sini? Apapun rencana Argha, ya akan mendesak seorang cucu.
“Saya merestui hubungan kamu dan Argha. Asal, saya meminta cucu segera.”
Uhuk uhuk.
Argha yang sedang minum langsung tersedak. Pria tampan itu meletakkan kembali gelas di atas meja. Sementara kening Inara mengkerut.
‘Pak Argha kaya syok sekali. Apa hal itu mustahil? Ah, sepertinya dia tidak sanggup, ketahuan kan,’ batin Inara mencela. Gadis cantik berambut hitam itu menyeringai. “Em, baik, Pak. Saya juga sudah pernah tes kesuburan waktu itu saat bersama Mas Artha. Saya subur, Pak.”
Argha mengendurkan ikatan dasinya. Merasa gerah sendiri. Dan Alan tersenyum puas. Ia akan menekan putranya dengan ini. Aset keluarga akan di tangan Argha, jika putranya itu memenuhi keinginannya. Hanya seorang cucu kandung, itu sudah sangat sederhana, sesuai kesepakatannya dulu.
“Argha, gimana? Tidak ada program menunda momongan, kan? Ingat perjanjian kita.”
“Iya, Pa. Argha ingat.”
‘Ini kaya semacam negosiasi. Sepertinya aku di sini hanya sebagai alat,’ batin Inara. ‘Tapi, apa Pak Argha bisa beneran? Ah, apa aku harus mengandung anaknya?’
“Baiklah. Saya menunggu kabar baiknya. Saya tidak bisa datang ke rumah orang tua kamu, mungkin ini hanya kamu dan Argha. Kabari saya. Ingat Inara, saya paling tidak suka dibohongi.”
Inara menganggukkan kepalanya. Persetan dengan urusan nanti yang terpenting ia bisa bernapas dengan lega. Pak Alan telah menyetujui pernikahan mereka. Orang tuanya juga tidak akan malu karena pernikahannya tidak jadi batal.
“Papa akan pulang, Gha.”
“Baik, Pa.” Argha turut bangkit, mengantarkan papanya sampai pintu.
Argha menutup pintu. Pria tinggi itu mengurut dadanya, lega. Semuanya akan berjalan sesuai dengan prediksinya. ‘Aku akan menang satu langkah dari Artha. Dan lagi, dia akan menjadi pecundang.’
“Mas.”
Argha berjengit. Ia lupa, kalau di sebelahnya masih ada Inara. Ia berdeham, lalu mendudukkan bokongnya di sofa.
“Mas, Pak Alan bilang, kamu dan Beliau memiliki kesepakatan? Kesepakatan apa?”
Argha menghela napas. “Ka-kamu sudah kasih pesan sama ibumu? Ki\=kita harus ke rumah orang tuamu.”
Inara menggeleng, ia tak sabar ingin tahu jawaban dari Argha. Kesepakatan apa yang telah ditetapkan oleh anak dan ayah itu. “Ya. Kamu punya kesepakatan apa?”