Karena permintaan kakeknya , Ellena dan Luis terpaksa menikah dan hidup bersama tanpa cinta dalam pernikahan mereka. Akankah Ellena mampu bertahan dalam pernikahan itu, atau justru memilih untuk pergi? Hanya waktu yang mampu menjawabnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Akhiri Saja Hubungan Ini
Adelia tengah bersiap-siap di ruang kerja saat melihat Luis memasuki rumah sakit. Pandangannya langsung tertuju pada tangan kanan Luis yang terlilit perban. Ia segera mendekat, rasa khawatir melintas di wajahnya.
"Luis, tanganmu kenapa?" tanya Adelia dengan suara cemas, tangannya meraih tangan Luis untuk melihat lebih jelas.
Luis dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Adelia. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi. "Terluka," jawabnya singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Adelia tidak terkejut dengan sikap dingin Luis, dia sudah terbiasa dengan sikap kekasihnya itu. "Luis, Kenapa kau semakin dingin padaku? Apa ada yang salah? Aku merasa kau menjauh," kata Adelia, suaranya penuh kebingungan. Ia mencoba mencari jawaban di mata Luis, namun yang ia temukan hanyalah ketidakpedulian.
Luis menatap Adelia dengan tatapan datar yang mengintimidasi. "Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, sebaiknya kau jawab dulu pertanyaanku," ucapnya dengan nada dingin. "Apa hubunganmu dengan, Rion? Apa selama ini kau menjalin hubungan di belakangku?"
Pertanyaan itu membuat Adelia tertegun. Ia merasa seolah baru saja ditampar. "Apa maksudmu, Luis? Aku dan Rion tidak ada apa-apa. Kami hanya teman," jawab Adelia dengan suara bergetar, mencoba menjelaskan.
Luis menyeringai, senyuman yang penuh dengan rasa sinis. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di belakangku, Adelia?" katanya, matanya menyipit. "Selama ini aku memilih diam, seolah tidak mengerti apa-apa karena aku pikir kau akan berubah. Tapi ternyata, kau tetap saja bermain gila di belakangku."
Adelia semakin panik. "Luis, tidak seperti itu. Aku tidak pernah berniat untuk membohongimu. Rion, hanya teman," katanya, suaranya semakin melemah.
Luis menghela napas, jelas menunjukkan ketidakpercayaannya. "Aku paling benci dibohongi, Adelia. Sekarang kau tahu kan kenapa sikapku padamu sangat dingin sejak kita menjalin hubungan?" katanya. "Lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Sekarang kau bisa bebas bersama dengan pria itu."
Adelia tampak sangat terkejut. Matanya membesar, wajahnya pucat. "Luis, jangan berkata seperti itu. Aku... aku tidak pernah..." katanya, suaranya terputus-putus.
Luis memotong kata-katanya dengan cepat. "Sudah tidak ada mempertahankan hubungan yang sejak awal tidak sehat. Kau tadi bertanya siapa wanita itu dan apa hubungannya denganku, kan?" katanya, tatapannya dingin. "Dia adalah Ellena. Dan dia adalah istriku."
Kata-kata Luis terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong bagi Adelia. Ia terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. Luis, tanpa memberi kesempatan untuk Adelia merespons lebih lanjut, berbalik dan pergi, meninggalkan Adelia yang termangu menatap kepergiannya.
Adelia hanya bisa berdiri kaku, menatap punggung Luis yang semakin menjauh. Ia merasa dunianya runtuh, seluruh tubuhnya gemetar. Semua kata-kata yang ingin ia ucapkan terhenti di tenggorokan, tertahan oleh kejutan dan kepedihan. Dalam benaknya, terlintas kenangan-kenangan bersama Luis, perasaan-perasaan yang ia kira saling berbagi. Namun kini, semua itu terasa seperti ilusi belaka.
"Wanita itu... istrinya..." gumam Adelia pada dirinya sendiri, seakan mencoba memahami dan menerima kenyataan pahit yang baru saja disampaikan oleh Luis. Ia mencoba mencerna kata-kata itu, namun hatinya terasa berat.
Perlahan-lahan, Adelia merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah situasi ini. Luis sudah memutuskan, dan keputusannya jelas tidak memberikan ruang untuk perdebatan atau diskusi lebih lanjut.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sambil menahan tangis, Adelia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan membawa beban yang tidak terlihat namun sangat nyata. Adelia tahu bahwa masa depan yang ia bayangkan bersama Luis kini sudah hilang. Semua impian dan harapan yang ia miliki hancur berantakan dalam sekejap.
***
Ellena melangkah dengan langkah ringan menuju rumah sakit, membawa sebuah bingkisan berisi makan siang untuk Luis. Hari ini, ia merasa begitu puas dengan dirinya sendiri setelah berhasil memasak sebuah hidangan yang menurutnya layak disajikan, meski harus membayar harga dengan beberapa luka kecil di tangan akibat terkena pisau dan minyak panas. Luis harus menjadi orang pertama yang mencicipi hasil jerih payahnya.
Setibanya di rumah sakit, Ellena melihat Luis berjalan di koridor, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dengan semangat, ia memanggilnya, "Luis!" Suara Ellena membuat Luis berhenti dan menoleh ke arahnya. Wajahnya tetap datar, khas dengan ekspresi dinginnya.
"Kau di sini?" tanyanya, suaranya tenang seperti biasa, tidak menunjukkan emosi.
Ellena tersenyum lebar, mengangkat bingkisan di tangannya. "Aku datang mengantarkan makan siang untukmu," katanya dengan penuh antusias. Namun, bukan makanan yang menarik perhatian Luis. Pandangannya langsung tertuju pada tangan Ellena yang terbungkus plester di beberapa jari.
"Tanganmu kenapa?" tanya Luis dengan nada datar, tetapi ada kilatan kekhawatiran di matanya. Ia meraih tangan kiri Ellena, menatap luka bakar dan plester yang melilit jari telunjuk dan jari manisnya. Luka kecil juga terlihat di dekat ibu jarinya.
Ellena tersenyum lebar dan menggeleng, mencoba menghilangkan kekhawatiran Luis. "Bukan apa-apa, hanya luka kecil saja kok," jawabnya. "Aku berhasil membuat makanan yang benar-benar layak di makan, dan aku ingin kau menjadi orang pertama yang mencicipinya."
Luis mendesah pelan, sedikit kesal namun tetap tenang. "Dasar ceroboh," gumamnya. "Kita ke ruanganku. Aku akan melihat lukamu," ucapnya dengan nada yang tegas namun tidak terlalu keras. Ellena mengangguk setuju, mengikuti Luis menuju ruangannya.
Sementara itu, di kejauhan, Adelia yang kebetulan melewati koridor itu, tanpa sengaja melihat adegan tersebut. Rasa sesak tiba-tiba muncul di dadanya, membuatnya sulit bernapas. Pemandangan Luis yang merawat luka di tangan Ellena dengan penuh perhatian membuat hatinya semakin terluka. Ia merasa terjebak antara perasaan cemburu dan kesedihan yang mendalam.
Adelia berpikir bahwa Luis, yang selalu terlihat dingin dan tidak peduli, ternyata bisa menunjukkan perhatian yang begitu hangat dan lembut. Perasaan iri dan rasa kehilangan mencengkram hatinya. Ia merasa seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya, namun kini telah hilang.
Di dalam ruangan, Luis dengan teliti membersihkan luka di tangan Ellena, meskipun ia tidak mengungkapkan perasaannya, namun sikapnya menunjukkan kekhawatiran yang besar. "Kau harus lebih hati-hati," kata Luis sambil mengoleskan antiseptik pada luka Ellena. "Tidak perlu memaksakan diri untuk memasak jika itu hanya akan membuatmu terluka."
Ellena tersenyum, ia merasakan kehangatan dengan perhatian yang ditunjukkan Luis meskipun ia selalu bersikap dingin. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang spesial untukmu," jawabnya pelan. "Aku tahu kau sibuk dan mungkin tidak sempat makan dengan baik. Jadi, aku ingin memastikan kau makan sesuatu yang enak."
Luis menatap Ellena sejenak, lalu mengangguk. "Aku menghargai usahamu, Ellena. Tapi jangan sampai melukai dirimu sendiri," katanya dengan nada yang lebih lembut. Ia kemudian membuka bingkisan yang dibawa Ellena dan melihat makanan yang disiapkan.
"Ini terlihat enak," komentar Luis, meskipun nadanya tetap datar. Ia mengambil sendok dan mulai mencicipi makanan tersebut. Ellena menatapnya dengan penuh harap, menunggu tanggapannya.
Luis mengangguk perlahan setelah menelan suapan pertama. "Rasanya cukup enak. Terima kasih," katanya, yang membuat Ellena tersenyum lega.
Di luar ruangan, Adelia perlahan berbalik dan meninggalkan tempat itu. Perasaan yang bercampur aduk membanjiri pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa Luis kini milik orang lain. Meski menyakitkan, Adelia menyadari bahwa ia harus melanjutkan hidupnya tanpa Luis. Ia harus belajar untuk melepaskan dan menemukan kebahagiaan di tempat lain.
Namun, meskipun ia mencoba menguatkan diri, perasaan cemburu dan kehilangan masih terus menghantuinya. Bagaimana mungkin seseorang yang dulu begitu dekat dengannya, kini begitu jauh? Adelia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Ia harus kuat, meski hatinya hancur.
Di dalam ruangan, Luis dan Ellena melanjutkan makan siang mereka, sementara di luar, Adelia berjuang dengan perasaannya sendiri. Ketiga orang ini, masing-masing terjebak dalam dunia perasaan mereka yang kompleks, berusaha menemukan jalan menuju kebahagiaan mereka sendiri.
***
Bersambung
agar bisa menyenangkan suamimu...❤️❤️