Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 14 Memberitahu Bima
"Aku berangkat ya, Mas. Cup."
Mona berangkat ke kantor lebih dulu di saat Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Edwin hanya mampu menatap nanar pada pintu yang baru saja Mona tutup, menghembuskan nafas kasar dia menyibak selimut dan turun dari ranjang.
Edwin pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah semalam menghabiskan malam panas dengan sang istri.
Edwin memang puas tadi malam kebutuhan biologisnya terpenuhi tapi mengingat dirinya tidak diprioritaskan seperti ini hatinya begitu sakit.
Tentang pembicaraan semalam Mona menganggap Edwin sedang membual karena nyatanya hingga saat ini pria itu masih sabar menunggu dirinya hamil. Mona tidak tahu saja bila sikapnya masih seperti ini maka Edwin benar-benar memilih memiliki anak dari wanita lain.
Setelah selesai membersihkan diri, Edwin meraih ponselnya melihat ada pesan masuk dari Andini satu jam yang lalu.
"Pak, anda sibuk tidak hari ini?"
Edwin tak membalas pesan Andini dia memilih langsung menghubungi gadis itu melalui panggilan vidio. Andini ibarat obat yang mampu meredakan rasa sakit yang tengah dia rasakan karena Mona lagi-lagi tak memprioritaskannya.
"Astaga, Pak, kenapa anda tidak pakai baju?" tanya Andini dari sebrang telepon. Dia terkejut Edwin melakukan panggilan vidio dan lebih terkejut lagi saat panggilan vidio dijawab wajah Edwin dan dada pria itu dia lihat.
Edwin terkekeh. Dia sengaja tidak pakai baju lebih dulu karena sudah tak sabar ingin mendengar suara Andini.
"Saya baru saja mandi. Ada apa kamu kirim pesan?" tanya Edwin memilih mengabaikan pertanyaan Andini.
"Pagi ini anda sibuk tidak, Pak?"
Edwin diam sejenak dia mengingat-ingat jadwalnya hari ini dia ada meeting dengan para stafnya tapi sepertinya Andini sedang membutuhkannya.
"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Edwin lagi.
"Saya bisa minta tolong antarkan ke kampus?"
"Bisa," jawab Edwin cepat. Urusan meeting dengan stafnya bisa dia tunda dilain waktu.
"Anda bisa jemput saya di kontrakan, Pak, kebetulan juga Kak Bima ada dikontrakan jadi anda bisa memberi tahu dia tentang hubungan kita."
"Oke, saya bersiap dulu. Sampai jumpa di kontrakan."
"Iya, Pak, sampai jumpa."
Edwin masih menggenggam ponselnya, bibirnya tersenyum dia yakin setelah memberi tahu hubungannya dengan Andini pada Bima, Andini bisa segera pindah ke apartemen dan dia bisa sering mengunjungi gadis itu. Ah, Edwin sudah tidak sabar.
Edwin lalu bersiap. Dia menggenakan celana bahan berwarna coklat dan kemeja putih yang dimasukkan, lengannya dia lipat hingga sikut. Menata rambut sesuai dengan seleranya lalu menyemprotkan parfume banyak-banyak kebajunya. Edwin sudah seperti orang yang sedang kasmaran.
Setelah selesai dengan bersiapannya Edwin bergegas keluar dari kamar, dia sama sekai tidak melirik meja makan dan terus melangkah menuju garasi.
Tiba di kontrakan Andini, Edwin mengatur nafasnya yang entah kenapa jantungnya berdegup lebih kencang, gugup seperti remaja yang hendak mengapeli kekasihnya. Setelah merasa lebih baik, Edwin turun dari mobil dan mengetuk pintu kontrakan Andini.
Tok tok tok.
"Pak Edwin?"
Bima yang membukakan pintu merasa heran karena tamu yang mengetuk pintu kontrakannya itu ialah Edwin.
"Hai, Bim."
"Ada apa anda kemari?" tanya Bima dia juga menelisik penampilan Edwin yang memang selalu rapih tapi aroma parfume Edwin membuat kepala Bima jadi sakit. Menyengat sekali.
"Andini ada?" tanya Edwin.
Bima memicingkan matanya curiga dengan Edwin yang menanyakan keberadaan Andini. Belum sempat Bima menjawab, Andini muncul dengan baju casual yang dia kenakan.
"Kak Bima, biarkan Pak Edwin masuk," kata Andini.
Bima menatap Andini sebentar lalu menatap Edwin yang tengah menatapnya. "Masuk Pak," kata Bima.
"Iya Bim."
Bima kembali masuk kedalam kontrakannya meninggalkan Andini dan Edwin yang masih berada diluar.
"Sudah sarapan belum, Pak?" tanya Andini.
"Belum," jawab Edwin.
"Kalau begitu kita sarapan dulu, Pak, tadi saya masak nasi goreng."
"Heem, kebetulan saya lapar sekali."
Andini mengangguk kemudian membuka lebar-lebar pintu kontrakannya dan mempersilahkan Edwin masuk.
Edwin duduk dikarpet bersama Bima yang sedang berbalas pesan sementara Andini pergi kedapur untuk menyiapkan sarapan.
"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Bim," kata Edwin.
Bima menoleh pada Edwin lalu meletakkan ponselnya. "Apa?" tanyanya kemudian.
"Saya menjadikan adik kamu sebagai simpanan saya," kata Edwin.
"Apa!" pekik Bima terkejut.
Andini yang sedang menyiapkan sarapan menoleh pada Bima dan Edwin. Dia bisa menduga bila Edwin tengah mengatakan hubungannya dengan pria itu pada Bima.
"Seperti ekspektasi saya, reaksimu sangat berlebihan," cibir Edwin.
Bima menggeram sebal, dia lalu menatap tajam pada Edwin yang duduk disebelahnya tak perduli bila usia Edwin 10 tahun lebih tua darinya.
"Anda jangan main-main dengan ucapan anda, Pak," ucap Bima memperingati.
"Saya tidak main-main, saya sungguhan telah menjadikan Andini sebagai simpanan saya," kata Edwin sungguh-sungguh.
"Apa untuk balas budi?" tanya Bima.
"Salah satunya itu. Tapi saya sendiri benar-benar membutuhkan sosok seperti Andini untuk menemani hari-hari saya yang kesepian."
"Bukannya anda sudah punya istri? Lalu bagaimana dengan istri anda?"
"Istri saya baik-baik saja dia tak akan tahu bila saya punya simpanan."
"Tapi kalau begini namanya anda menghianati istri anda, Pak."
"Saya tahu."
"Lalu anda masih tetap berselingkuh."
Edwin mengangguk, dia lalu menceritakan pada Bima tentang rumah tangganya yang tidak baik-baik saja berharap lelaki itu mengerti keadaannya.
"Tapi, Pak, masalahnya ini adik saya yang anda jadikan simpanan, saya tidak bisa jamin anda tidak macam-macam padanya."
"Kamu tenang saja, saya sudah berjanji pada Andini tidak akan macam-macam padanya tapi bila dia yang menginginkannya tentu saja saya akan sangat senang."
Bima melotot. Dia tentu saja tahu bagaimana para sugar daddy memperlakukan sugar babbynya dan yang dia khawatirkan adiknya hanya dipermainkan oleh Edwin atau lebih parahnya diserang oleh istri sah pria itu.
"Jangan permainkan adik saya, Pak." Bima kembali memperingati Edwin.
Edwin tersenyum, dia menepuk bahu Bima.
"Mulai nanti malam Andini akan tinggal diapartement yang saya belikan," kata Edwin memberi tahu.
Bima lagi-lagi terkejut mendengar apa yang Edwin katakan tapi apalah daya karena ini bentuk terima kasihnya pada Edwin yang telah menolong ibunya jadilah Bima hanya bisa menerima keputusan Andini yang mau dijadikan simpanan oleh Edwin.
Edwin juga menjelaskan pada Bima bila dia akan menguliahkan Andini yang sempat putus kuliah. Bima memang senang mendengarnya, setidaknya setelah lulus kuliah Andini bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tapi Bima tidak suka pada kenyataannya kebaikan Edwin dibalas dengan adiknya yang menjadi simpanan pria itu.
"Saya kira anda tulus menolong kami tapi ternyata ..." Bima tersenyum sinis pada Edwin.