Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
"Ji, aku merasa kamu kok berubah si, kamu nggak ada masalah kan?" Gabby mengaduk jus jeruk di dalam gelas saat mengatakan itu.
"Iya, Ji. Kamu nggak depresi karena Bara hamilin cewek lain kan?" Celetuk Emma.
Mereka masih mengira perubahan sikapku karena Bara, tapi bukan sama sekali. Ada yang lebih ku pikirkan selain Bara. Yaitu soal pernikahanku dengan mas Sagara.
"Ji" suara Emma membuatku tersentak.
"Aku nggak apa-apa kok"
"Tapi semenjak kamu putus sama Bara, sikapmu aneh tahu"
"Sakit hati jelas ada" Kataku di sela-sela kunyahanku. "Tapi bukan karena itu kok. Aku emang lagi konsen aja ke diriku sendiri, aku masih belum terbiasa karena kakaku tiba-tiba pindah rumah"
Saat ini, aku Emma dan Gabby sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Aku menyempatkan diri untuk berkumpul sejenak bersama temanku setelah beberapa hari kemarin selalu menolak ajakannya.
"Aku harus pintar bagi waktu karena nggak mau buat bunda terlalu capek. Dulu sewaktu masih ada kak Lala, dia yang seringnya bantu bunda ngurus rumah. Tapi semenjak kakakku pindah, siapa yang bantu kalau bukan aku? Kalian kan tahu kami nggak ada ART, bundaku juga sudah lelah bekerja di kantor"
"Iya si, tapi setiap hari di sempatin dong ngumpul kayak gini" Ujar Emma seperti memohon.
"Kalau ngumpul its ok, tapi kalau setiap hari aku nggak janji"
"Tapi kamu kalau ada masalah, please crita ke kita-kita"
"Iya Ji, jangan di pendam sendiri"
Aku memindai wajah kedua sahabatku dengan senyum terukir di bibirku.
"Pasti, kok"
Maaf gaes, kayaknya aku emang nggak bisa crita problemku yang ini. Aku nggak akan biarkan kalian tahu tentang statusku yang sudah menikah ini. Apalagi menikah dengan pria yang usianya seusia kak Lala. Selisih kami lebih dari tujuh tahun, pasti kalian akan menertawakanku kalau tahu suamiku om-om.
Menarik napas, aku melirik jam di tanganku yang menujukkan waktu 12:30.
"Maaf ya, aku pulang dulu"
Emma serta Gabby membatu. "Loh Ji, ini baru satu jam kita ngobrol"
"Aku tahu, tapi sekarang sudah nggak bisa lama-lama. Aku harus pulang, ada banyak setrikaan di rumah"
"Kok gitu, Ji?"
"Sorry sekali lagi"
"Ya sudah deh, hati-hati ya!" Kata Emma.
Kami lantas berpelukan sebelum aku meninggalkan mereka.
"Kalian juga hati-hati. Daa... Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Aku meninggalkan keduanya dan akan langsung menuju ke toko bunga. Selain untuk mengecek kondisi tokoku, akan ada suplier bunga yang datang untuk menarik bunga-bunga yang sudah layu dan akan di ganti dengan yang baru. Aku juga akan beritahu mbak Tina supaya merahasiakan pernikahanku dengan mas Sagara dari Gabby dan Emma.
Sesampainya di toko, aku langsung menuju meja kasir menghampiri mbak Tina yang sedang menghitung penjualan hari ini.
Karena suplier akan datang, otomatis dia harus menyetorkan daftar bunga yang laku, yang layu dan yang tersisa.
"Assalamu'alaikum" Sapaku sedikit mengagetkannya sebab dia benar-benar sedang fokus.
"Wa'alaikumsalam, eh mbak Jihan. Di antar sama mas Sagara?"
"Enggak mbak, aku naik grab tadi"
Mbak Tina adalah kerabat jauh dari oma Irma yang tinggalnya di dekat toko bungaku. Dia salah satu tamu undangan yang terkejut ketika tahu kalau mas Sagara malah akan menikahiku dan kak Lala menikah dengan mas Lentera.
Aku yakin dia bertanya-tanya, tapi sudah aku jelaskan kalau yang sebenarnya pernikahan kami memang di rencanakan seperti itu.
"Gimana untuk rekapnya mbak, butuh bantuan?"
"Sudah mau beres, mbak Ji. Omset, modal dan dana untuk kulak bunga juga sudah ku hitung"
"Di usahakan modalnya tetap utuh ya mbak, kalau dana buat kulak bunga sebagian ambil dari modal, tetap di hitung ambilnya berapa"
"Iya mbak, dan alhamdulillah, dana kulak untuk bulan ini kita cukup ambil dari omset, karena omsetnya cukup besar"
"Alhamdulillah kalau gitu"
"Oh ya mbak, ada pesanan bunga baby breath white sama pink terus mawar merah dan mawar biru untuk acara nikahan, sudah ku iyakan dan sudah ku pesankan ke suplier, hari ini sekalian mau di kirim, tapi belum ada dana untuk pesanan itu"
"Untuk pesanan bisa ambil dari modal dulu nggak apa-apa, nanti kalau ada pembayaran dari customer bisa langsung di bagi untuk di masukkan ke modal dan laba"
"Baik mbak"
"Jam berapa suplier datang, mbak Tina?"
"Tadi bilangnya si sekitar jam dua"
"Okay, sambil nunggu aku mau sortir bunga yang masih layak jual"
Aku meletakkan tas di loker meja kasir, lalu memakai apron barista agar bajuku tidak kotor.
"Ada kertas cellophane kan mbak?" Tanyaku meraih gunting kecil.
"Ada banyak mbak, warnanya juga lengkap"
"Aku mau bikin buket bunga buat mama mertua, bagusnya warna apa ya mbak?"
"Warna salmon aja mbak, seger kesannya, awet muda juga" Mbak Tina menutup buku catatan, lalu berdiri. "Nanti bunganya mawar pink sama putih"
"Siapkan kertasnya ya mbak, nanti aku bikin sendiri"
"Siap mbak"
****
Tepat pukul empat sore, sebuah mobil tiba-tiba parkir di halaman toko. Jelas pemiliknya adalah mas Sagara.
Pria itu terlihat tampan dan berwibawa sebenarnya, hanya memakai kaos rumahan berkrah dan celana cargo saja sudah tampak elegan, tapi sayangnya terlalu jutek, pelit senyum dan semena-mena.
"Assalamu'alaikum" Ucapnya ramah. Sebab ada mbak Tina yang kebetulan ada di depan toko tengah mengelap meja bekas tadi orang-orang suplier minum teh. Sementara aku ada di dalam toko membuat buket bunga untuk mama Rahma.
"Wa'alaikumsalam, mas Saga. Apa kabar?"
"Baik mbak, Jihan ada?"
"Ada di dalam mas"
Begitu mas Sagara masuk, aku tak menyapanya.
"Masih lama?" Tanyanya memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana.
"Sebentar lagi" Jawabku tanpa melihatnya.
"Berapa jam lagi?"
"Kenapa memangnya? Kalau mas buru-buru tinggal aja, aku akan pulang sendiri"
"Mama menyuruhmu mampir ke supermarket buat beli sayur dan buah, kalau kamu nggak mau ya sudah, aku akan pulang sekarang"
Mendengar kalimatnya, reflek aku menatap wajahnya.
"Mama?"
"Hmm, nggak ada sayuran buat di masak untuk makan malam"
"Ya udah, sebentar lagi" Kataku akhirnya. Jika mas Sagara serius mau pulang sendiri tanpaku, apa jadinya nanti. Pria ini pasti akan mengadu yang tidak-tidak pada mamanya, terus nanti mama ngaduin ke papa, dari papa ayah jadi tahu, terus bunda.
Itu nggak boleh terjadi. Ayah sama bunda sudah berulang kali kecewa, nggak mungkin aku mengecewakannya untuk yang ke sekian kali.
Hampir lima belas menit berlalu, buket bunga sudah selesai ku buat.
"Mbak, aku pulang dulu ya" Pamitku sambil melepas apron.
"Iya mbak, hati-hati di jalan"
"Iya. Titip toko ya"
"Beres mbak Jihan"
"Assalmu'alaikum, mbak"
"Wa'alaikumsalam"
Aku keluar, menghampiri mas Sagara yang duduk di kursi teras toko.
"Kita pulang"
Pria itu tak merespon. Dia terus saja asyik dengan gadgetnya.
"Kita pulang sekarang, mas" Ulangku menahan geram.
"Iya aku dengar"
"Ya kalau dengar jawab dong, jangan diam aja" Kesalku dengan nada ketus.
"Ya kalau aku diam itu artinya sibuk dan lagi nanggung. Nggak bisa bedain orang lagi serius sama santai?" Jawabannya malah lebih ketus dariku.
Bangkit dari duduknya, mas Sagara langsung melangkah menuju mobil.
Aku bisa cepat tua kalau kayak gini terus. Huufftt...
Aku menggembungkan mulutku dengan malas.
***
Keesokan paginya, dan kebetulan ini hari minggu, baik aku mas Sagara dan yang lainnya tidak pergi bekerja.
Setelah sarapan, aku dan mas Sagara sudah siap untuk pindah ke apartemen yang mas Sagara beli di area dekat kampusku.
Jika di tempuh dengan mobil, jarak dari apartemen ke kampus paling hanya butuh waktu lima menit. Dan kalau jalan kaki kurang lebih sekitar lima belas menit.
Entah karena alasan apa, mas Sagara membeli apartemen di dekat tempat kuliahku. Ingin bertanya, takutnya dia ke PD an dan menuduhku kepo dengan urusannya. Jadi aku lebih baik menelan mentah-mentah jiwa penasaranku ini.
"Kami pamit pah, mah" Ucap mas Sagara setelah mengecup punggung tangan papa dan mama.
"Kalian jangan lupa, sering-sering nginep di rumah mama"
"Di usahain ya mah" Jawab mas Sagara.
Kini ganti aku menyalami keduanya.
"Pergi dulu mah"
"Iya sayang, cepat kasih mama cucu ya"
Aku tersenyum kecut merespon ucapan mama.
"Kalau bisa cucunya yang cewek, tapi kalau cowok juga nggak apa-apa, mama tetap senang"
"Nggak bisa gitu mah" Sangkal papa merasa keberatan "Itu urusan yang Kuasa. Mau di kasih cepet syukur, kalau lama ya tetap harus di syukuri, kan memang belum waktunya"
"Ya iya si pah, tapi kan harus ada usaha, iya kan Saga, Jihan?"
Aku dan mas Sagara saling melirik dengan raut sama-sama dilema.
"Oh iya, sebentar lagi kan Jihan ada libur semester, nah kalian bisa pilih destinasi yang pas untuk honeymoon, nanti papa dan mama yang akan booking tempatnya sekalian tiket pesawat dan hotel, okay sayang"
Oh my God??? Sejauh ini main nikah-nikahannya sama mas Sagara? Sampai bulan madu bahkan cucu???
Bersambung