Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendarah
Perdebatan itu belum berakhir. Bahkan setelah Kin dibawa menuju ruang rawat inap. Ryuu tidak ada di sana, dia pergi untuk mengurus pelaku penabrakan bersama Goku atas perintah dari Takeshi.
Kian dan Liliane—mereka masih bersitegang bahkan saat Takeshi hadir di antara mereka. Suasananya masih panas, baik Kian maupun Liliane seolah tak ada yang ingin mengalah.
Kian berdiri dengan bahu menegang, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Matanya menatap tajam ke arah Liliane yang berdiri di depannya dengan rahang mengatup erat. Takeshi berada di samping Liliane dengan ekspresi dingin yang seakan siap melindungi wanita itu dari ancaman apa pun—termasuk dari Kian sendiri.
"Lima tahun, Liliane." Suara Kian rendah, hampir bergetar, tetapi sarat dengan emosi yang menekan dadanya. "Lima tahun aku hidup dalam kebohongan. Lima tahun aku tidak tahu bahwa aku punya anak!"
Liliane tetap diam, tidak ada ketakutan di wajahnya, hanya tekad yang kuat. Lebih tepatnya ... Ia berusaha tidak goyah.
"Dan kau tidak akan pernah tahu jika aku bisa menghindarimu lebih lama lagi," jawab Liliane akhirnya, suaranya terdengar mantap.
Kian terkekeh pelan, tetapi matanya tidak mencerminkan tawa. "Jadi itu rencanamu? Menghapus aku dari hidup anakku sendiri? Menganggap aku tidak pernah ada?"
"Aku melindungi Kin." Liliane menegaskan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Melindunginya dari siapa, Liliane? Dariku? Demi Tuhan, aku ayahnya!"
"Ya!" Liliane berseru tanpa ragu. "Aku tidak akan membiarkan anakku tumbuh dalam dunia yang kau jalani, Kian! Aku tidak ingin dia mengenal darah, kekerasan, dan dendam!"
Liliane terkekeh sinis. "Lebih tepatnya lagi, aku tidak ingin dia juga mati di tanganmu!"
Kian mendekat, tatapannya semakin membara. "Dan kau pikir aku ingin dia mengenal itu semua?! Apakah kau berpikir aku sekejam itu?!"
"Ya! Jika kau tidak kejam, kau tidak akan membunuh ayahku! Ayahku, Kian! Satu-satunya keluarga yang kupunya di Italia!" seru Liliane dengan emosi yang sangat kuat. Dadanya bergemuruh hebat, rasa nyeri di sana kembali muncul.
Kian terdiam. Ia tidak berkutik dengan pernyataan yang dilayangkan oleh Liliane.
"Soal Kin ... kau mungkin tidak ingin, tapi cepat atau lambat, dia akan terseret! Kau anak mafia, Kian! Itu fakta yang tidak bisa kau sangkal! Seberapa pun kau ingin menjauhkan dia dari dunia gelap itu, dunia itu akan selalu menariknya kembali!"
Kian mengepalkan tinjunya. "Jadi kau pikir membesarkannya sendiri, menyembunyikannya dariku, adalah pilihan yang lebih baik?! Kau pikir dia tidak membutuhkan ayahnya?!"
"Kau tidak mengerti, Kian!" Liliane membentaknya, matanya memerah. "Aku tidak melakukannya untuk diriku sendiri! Aku melakukannya untuk Kin! Untuk keselamatannya!"
Kian mendengus, pandangannya meredup. "Keselamatannya dari apa? Apakah kakekmu ataupun lelaki pecundang tadi bisa menyelamatkan Kin apabila dia dalam bahaya?! Atau kau melakukan semua ini karena kau membenciku?"
Liliane menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Bukan tentang kebencian, Kian. Ini tentang membuat keputusan yang benar."
Kian menatapnya tajam, dadanya naik turun karena amarah yang ditahannya. "Keputusan yang benar? Liliane, kau menyembunyikan anakku dariku! Kau membuatku hidup dalam kebohongan selama lima tahun! Apa itu keputusan yang benar?!"
Liliane menggeleng, tawanya hambar. "Jika aku memberitahumu, apa yang akan terjadi, Kian? Kau membenciku saat itu, Kian. Kau mungkin saja membunuhku saat Kin telah lahir. Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau akan membawa Kin ke Italia? Kau akan membiarkan dia hidup di tengah keluarga Marchetti? Kau akan membiarkan dia melihat ayahnya melakukan bisnis dengan darah dan peluru?!"
"Walaupun aku tahu, kakekku juga seorang yakuza, tapi aku bersaksi tidak pernah melihat kakekku memegang senjata laras panjang ataupun segala macam barang berbahaya itu di hadapanku maupun di hadapan Kin."
Kian terdiam.
Liliane menatapnya dalam-dalam, matanya penuh amarah sekaligus luka. "Kau boleh menyalahkanku, Kian. Kau boleh membenciku karena menyembunyikan Kin darimu. Tapi kau tidak bisa menyangkal satu hal—aku menyelamatkan dia."
Kian menelan ludah. Suaranya lebih rendah saat berkata, "Kau tidak memberiku pilihan, Liliane."
"Dan aku tidak akan memberimu pilihan, Kian," jawab Liliane dengan dingin. "Karena aku tidak akan mempertaruhkan nyawa anakku demi egomu."
Kian tertawa sinis, lalu menatap Takeshi yang sejak tadi diam. "Dan kau membiarkan ini terjadi? Kau mendukungnya?"
Takeshi tetap tenang, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Aku mendukung apa yang terbaik untuk cucuku."
Kian mencibir. "Tentu saja. Kau pasti ingin menjadikannya bagian dari keluargamu. Menghapus nama Marchetti dari dirinya."
"Kin adalah anak keluarga Kaneshiro," Takeshi menjawab dengan nada tegas. "Dia tidak butuh nama Marchetti. Dan kau sebaiknya menerima itu."
Kian menatapnya dengan tajam, lalu kembali menatap Liliane. "Kau pikir kau bisa terus menyembunyikannya dariku? Kau pikir aku akan diam saja setelah mengetahui ini semua?"
"Liliane, aku mungkin bersalah di masa lalu. Tapi Kin tidak terlibat di dalamnya. Dia berhak tahu siapa ayahnya." Ucap Kian dengan sorot mata yang lebih relax.
Liliane menggenggam tangannya erat, lalu berkata. "Aku tahu kau tidak akan diam. Tapi aku juga tahu satu hal, Kian—aku tidak akan pernah membiarkanmu mengambil Kin dariku."
Suara Liliane begitu mantap, tanpa celah keraguan. Takeshi akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya. "Antar dia keluar."
Kian memandang mereka satu per satu, hatinya berkecamuk antara amarah, sakit hati, dan ketidakpercayaan.
Namun sebelum pergi, ia berbisik rendah. "Ini belum selesai, Liliane. Kau bisa menolakku hari ini, tapi kau tidak bisa menghapusku dari hidup Kin. Aku akan kembali."
Dan dengan itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Liliane yang berdiri kaku dengan Takeshi di sisinya.
Namun dalam hati, Liliane tahu—pertarungan baru saja dimulai dan ia segera menyandarkan tubuhnya pada tembok rumah sakit.
Takeshi mendekatinya, merengkuh tubuh mungil Liliane dalam pelukannya. "Tenanglah, Yuri ... Jiisan akan selalu melindungimu, baik itu dari Kian maupun siapa saja yang menargetkanmu."
Liliane hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dalam pelukan Takeshi. Untuk sesaat saja Liliane ingin bersandar, ia sudah cukup lelah dengan segala hal yang terjadi. Andai ayahnya ada di sini, maka Liliane tidak akan sanggup menahan tangisnya lagi.
"Jiisan ..." panggil Liliane seraya mendongak. Kedua matanya menatap Takeshi dengan binar mata yang redup.
"Apakah Jiisan mau membantuku mencaritahu penyebab kematian Massimo Marchetti?" tanya Liliane dengan harap penuh.
Takeshi terlihat mengernyitkan keningnya bingung dengan permintaan Liliane yang tiba-tiba. "Mengapa kau mendadak ingin tahu tentang itu, Yuri?"
"Daddy ... Ya, harusnya Daddy masih bersamaku. Aku percaya Daddy tidak mungkin membunuh Massimo Marchetti, pasti ada sesuatu yang membuat Kian menyalahkan Daddy atas kematian Massimo." Jelas Liliane dengan tatapan kosong.
Liliane kembali mengangkat kepalanya. "Bagaimana menurut Jiisan? Apakah asumsiku benar?" tanya Liliane kemudian.
Takeshi terlihat diam beberapa saat. "Mungkin ... Banyak sekali kemungkinan yang mungkin terjadi. Baiklah, Jiisan akan membantumu untuk kali ini."
Dan Liliane pun tersenyum senang. Dia harus segera mengetahui kebenarannya agar dia tahu bagaimana caranya bersikap dan mengambil keputusan kedepannya. Terutama dalam menghadapi Kian Marchetti.[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini