Wanita mengunakan pakaian lebar dan juga Hijabnya, taat akan agama. Mempunyai sikap yang unik, sehingga banyak sekali yang menyukainya, dia adalah Hafsah Kamilatunnisa.
Namun semua berubah saat bertemu dengan seseorang yang cukup berpengaruh dalam kehidupannya, memiliki sisi gelap yang lambat laun ia ketahui. Ingin pergi, namun terlambat. Benih-benih cinta telah hadir diantara mereka, Pria itu tak lain adalah Arkanza Aynan.
Terbilang sangat sukses dalam dunia bisnis, membuat orang begitu sangat segan kepadanya. Tidak ada yang berani untuk membuatnya marah, jika itu terjadi. Maka, sama saja menyerahkan nyawa mereka sendiri untuk dilenyapkan.
" Aku mencintaimu, bantu aku untuk melepas semuanya." Permintaan Arka untuk bisa menjalani kehidupan yang normal, seperti manusia lainnya.
Akankah muslimah itu bisa mengabulkan permintaan dari seorang Arka?
Bisahkah keduanya untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsabita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14.
" Assalamu'alaikum, iya Ummi."
"Wa'alaikumussalam, Unni. Unni, kata Nafisah. Ada laporan transfer yang masuk ke dalam rekening panti, Masyaa Allah nak." Suara Ummi yang benar-benar terharu bercampur bahagia.
"Alhamdulillah, iya Mi. Tadi Unni bertemu orang yang bersedia menjadi donatur tetap untuk panti kita, dia sangat baik sekali Mi." Ucap Unni yang juga merasakan kebahagian.
"Alhamdulillah. Tapi nak, kamu tahu jumlah yang diberikannya?"
"Mmm, Unni tidak tahu Mi. Kalau nanti Unni tanya, takutnya akan menjadi tidak sopan. Memangnya kenapa Ummi, berapa yang masuk?" Unni penasaran akan ucapan tersebut.
"Ya Allah nak, Masyaa Allah. Jumlahnya buat jantung Ummi hampir colot, eh copot. Nafisah juga kaget nak, jumlah sangat besar."
"Iya Ummi, Unni tahu jumlah besar. Tapi berapa Mi, penasaran nih."
" Jumlahnya ti tiga tiga m nak."
"Tiga m? Maksud Ummi, tiga milyar?" Suara Unni meninggi karena kaget.
" Iya nak, benar." Menyakinkan akan ucapannya.
"Masyaa Allah Ummi, Alhamdulillah. Apa tidak salah ya angkanya, atau orang itu salah menekan angka di ponselnya? Ya Allah Ummi, itu sangat lebih dari cukup untuk kita." Tangisan kebahagian menyelimuti Unni.
"Iya nak, semoga orang tersebut mendapatkan berkah atas pertolongannya ini. Tapi nak, uangnya harus Ummi apakan?" Merasa bingung dengan jumlah uang yang sangat besar itu.
Sejenak untuk berpikir, Unni menyampaikan pada Ummi tentang hal yang bersangkutan dengan uang tersebut. Setelah sepakat, mereka segera mengakhiri pembicaraannya.
Menatap kartu nama yang diberikan padanya, membuat Unni merasa takjub akan kebaikan dari pria tersebut. Namun, ada rasa was-was dalam hatinya atas bantuan yang diberikan oleh pria yang baru saja ia jumpai.
Hidup di negara orang, memang harus butuh perjuangan yang besar. Kini, kaki itu melangkah menuju apartemen miliknya Azka. Dengan penuh rasa khawatir, Unni membuka pintu dan berharap tidak akan terjadi apapun.
Waktu telah menunjukan malamnya, mengisi waktunya dengan bermunajat kepada sang Khalik. Hingga tak terasa, membuat Unni terlelap dia atas hamparan sejadah yang ia gunakan hingga pagi menjelang.
"Aku ketiduran." Panik saat terbangun.
Segera ia membersihkan dirinya dan melaksanakan kewajibannya, setelah selesai. Unni menatap pemandangan yang ada dari balik jendela, ia baru menyadari jika apartemen itu memiliki balkon yang sangat indah.
"Kok aku baru sadar ya, hem." Menikmati keindahan yang ada, membuat Unni terpikir bahwa Azka adalah orang yang menyukai keindahan dibalik sikapnya yang dingin.
Mengingat jika ia harus bekerja, namun hal itu ia urungkan. Mempersiapkan semuanya yang ia miliki, menatap setiap ruangan yang dalam beberapa hari ini menemaninya dengan perasaan haru. Membawa tas koper miliknya keluar dari bangunan tersebut, Unni memantapkan hati dan pilihannya untuk kembali pada tempat tinggalnya yang lama.
.
.
.
Sudah cukup lama, Unni berdiam diri tanpa melakukan pekerjaan. Kini, ia berniat untuk mengembalikan sapu tangan milik pria yang menolongnya.
"Peter Kaindra." Membaca nama pada kertas kecil ditangannya, Unni segera menuju perusahaan yang tertera disana.
Menggunakan angkutan umum yang biasa ia gunakan, membutuhkan waktu satu jam agar bisa tiba ditempat yang ia tuju. Sebuah perusahaan besar, hampir sama dengan perusahaan milik Azka.
"Permisi, apakah bisa bertemu dengan tuan Peter?" Unni bertanya pada resepsionis disana.
"Dengan siapa? Apakah anda sudah mempunyai janji sebelumnya?"
"Hafsah, saya belum konfirmasi. Tapi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Peter tanpa janji sebelumnya?"
"Saya akan menanyakan terlebih dahulu pada sekretarisnya, nona. Anda bisa menunggu sebentar."
"Baiklah, terima kasih."
Menunggu konfirmasi dari karyawan tersebut, Unni duduk pada tempat yang telah disediakan. Tidak berapa lama, kemudian karyawaapn tersebut menghampirinya.
"Nona, maaf. Tuan Peter akan pergi, beliau tidak bisa menemui anda. Apakah anda mau membuat jadwal untuk hari berikutnya?"
"Oh begitu ya, hem. Tidak usah nona, mungkin lain kali saja saya menemuinya. Maaf, telah merepotkan anda." Unni diperlakukan sangat baik sebagai tamu.
Karyawaan tersebut tersenyum, lalu Unni beranjak dari tempatnya. Saat akan keluar dari pintu lobby, tiba-tiba saja jalannya terhalang oleh seseorang yang berdiri dihadapannya.
"Permisi, saya mau lewat." Unni tidak memperhatikan jalannya.
"Mau bertemu?" Suara berat terdengar.
Merasa tidak asing dengan suara tersebut, membuat Unni menaikan wajahnya untuk melihat sang pemilik suara.
"Tu tuan Peter?" Unni tidak menyangka akan bertemu.
"Ya, ayo Masuklah." Peter mempersilahkan Unni untuk masuk kembali dan mengikutinya.
Setibanya mereka didalam ruangan, Peter duduk bersama dengan orang sekretarisnya atau lebih tepat adalah orang kepercayaannya yaitu Eiger.
"Tuan, maaf saya sudah mengganggu waktu anda. Saya hanya ingin mengembalikan sapu tangan milik anda dan juga, saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuan anda menjadi donatur tetap panti kami. Tapi tuan, apakah anda tidak salah menekan angkanya?" Unni menanyakan kembali agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Saya rasa tidak, apakah jumlahnya masih kurang? Nanti akan saya kirimkan lagi." Dengan cukup tenang Peter mengatakan hal tersebut, dimana uang tersebut tida, berpengaruh pada dirinya.
"Hah, Astaghfirullah. Maaf tuan, tapi itu sudah lebih dari cukup. Bahkan sangat berlebihan, tuan."
Peter tersenyum menyaksikan kepolosan wajah Unni, namun dari dalam dirinya. Ia memiliki rasa bersalah dan rindu akan wanita yang ia cari selama ini, tidak ingin membuat Unni menjadi heran. Maka, Peter mengalihkan ucapannya.
"Hahaha, tidak apa-apa. Hanya bingung saja, mau dikemanakan uangku selama ini. Mungkin sudah jalannya. Kenapa anda mencari donatur untuk panti tersebut?"
"Oh kalau itu, karena saya tumbuh dan besar disana tuan." Unni tidak menjelaskan mengenai penyebab ia bisa berada disana, karena hal itu membuatnya sakit.
"Kenapa? Jangan dijawab jika dirimu merasa tidak nyaman." Namun, Peter merasa sangat penasaran akan asal usul Unni.
"Maafkan saya tuan, itu ranah pribadi saya."
Benar saja, hal itu terlalu sensitif jika harus dibahas. Setiap orang mempunyai masa lalu yang baik ataupun buruk, sedikit berbincang-bincang. Pada akhirnya Unni pamit, merasa urusannya sudah selesai. Peter pun tidak ingin menahannya, dan kembali ia melihat tanda itu pada tangan Unni.
Dengan menatap kepergian Unni yang semakin menjauh, Peter merasakan hatinya begitu sakit jika kebenaran itu terungkap.
...Khumairoh, dimana kamu dek. Jika benar itu dirimu, abang berasa sangat bersalah padamu. Kembalilah......
"Tuan." Eiger menyadarkan Peter dari lamunannya.
"Jangan formal."
"Huh, baiklah. Ada apa denganmu, sepertinya sangat tertarik dengan wanita tadi?" Akhirnya Eiger mengeluarkan apa yang ia rasakan.
"Heh, tanpa aku menjawabnya. Kau sudah tahu jawabannya." Jawab Peter singkat.
"Maksudmu?" Kening Eiger berkerut.
Peter berjalan menuju kursi kerjanya dan duduk bersandar, merebahkan kepala dan menutup kedua matanya. Hal itu semakin membuat Eiger bingung, namun melihat wajah Unni membuatnya teringat sesuatu.
"Tunggu, jangan bilang kalau kau juga ..." Eiger menatap Peter.
"Hmm."
"Wow..." Eiger tidak menyangka.