~Pernikahan tanpa cinta, tak selamanya berakhir dengan bahagia~
Zahra terpaksa harus menikah dengan Alzam, pria asing pilihan ibunya. Pernikahan tanpa cinta membuat Zahra harus menerima perihnya kenyataan. Terlebih saat dia mengetahui jika Alzam telah memiliki seorang tunangan.
Selama pernikahan Alzam tak pernah sedikitpun menganggap Zahra sebagai seorang istri meskipun mereka berada dalam satu ranjang yang sama. Bahkan Zahra harus berlapang dada ketika Alzam memutuskan untuk menikahi Aira. Mampukah Zahra mempertahankan rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teh ijo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 | Bertemu Dengan Mas Alzam
Aku kembali menunduk saat mengetahui siapa yang telah memanggilku. Tak lain dia adalah mas Alzam. Aku merutuki nasibku, mengapa aku dipertemukan lagi dengannya.
"Kamu membohongiku! Aku sudah mencarimu di rumah ibumu. Nyatanya ibumu sudah tak tinggal disana lagi. Sekarang kamu tinggal dimana?"
Tak ku jawab pertanyaan mas Alzam karena aku masih marah dan kecewa dengannya.
Detik kemudian, mas Kanna datang dan segera menyodorkan air mineral padamu. "Sorry nunggu lama," ujarnya. Seketika itu mata mas Kanna menangkap sosok pria yang ada dihadapannya. Ku lihat dia terdiam untuk beberapa saat setelah menyadarinya.
"Mas, sebaiknya kita lanjutkan lagi perjalanan kita," ucap ku pada mas Kanna, berharap dia bisa membawaku pergi dari hadapan mas Alzam.
"Tapi ini .... " tunjuknya pada mas Alzam. Segera ku berikan isyarat agar dia segera membawaku pergi.
"Baiklah, ayo!"
Namun, baru saja aku berdiri tangan mas Alzam menahan lenganku. "Kita perlu bicara sebentar," ujarnya.
"Maaf, aku sedang ada urusan yang sangat penting. Lain kali saja kita bicarakan."
"Ra, ku mohon," pintanya.
Sudah cukup apa yang dilakukan mas Alzam padaku. Untuk saat ini aku belum sanggup untuk berbicara kepadanya. Sebenernya untuk menatapnya saja aku belum siap.
Segera ku tepis tangan yang mencekal lenganku. Kini aku telah berubah menjadi sosok yang egois.
"Ra, jika ada masalah dengan suamimu, selesaikan secara baik-baik. Aku tidak mau jika kehadiranku malah akan memperkeruh suasana rumah tangga kalian," ujar mas Kanna di tengah-tengah perjalanan.
"Jika kamu takut terlibat, tolong jangan pernah temuin aku lagi. Ini adalah kali terakhirnya kita bertemu. Aku tidak memintamu untuk datang."
"Ra, bukan begitu maksudku."
Aku tak ingin memperkeruh suasana hatiku lagi. Saat ini yang aku inginkan adalah segera menemukan kedua adikku. Sepanjang jalan tempat berkumpulnya anak-anak jalanan kami telusuri bersama dengan mas Kanna. Bahkan ku tunjukkan juga foto kedua adikku yang masih tersimpan di ponselku. Namun, tak satupun dari mereka yang mengenali keduanya.
"Mas, apakah berita yang kamu sampaikan itu benar? Jangan-jangan itu hanya kabar burung yang sengaja disebar untuk menjelekkan ibuku."
Ku lihat mas Kanna mengacak kasar rambutnya dengan frustasi. "Aku juga tidak tahu apakah berita itu benar atau tidak, makanya aku memberitahu dan mengajakmu untuk mencarinya, Ra."
Ku buang napas beratku. Saat ini aku memang sedang dipermainkan oleh nasib. Entah sampai kapan kesengsaraan ini akan berakhir.
Karena tak menemukan tanda-tanda keberadaan ke adikku, aku memutuskan untuk pulang. Aku tak bisa menyalahkan mas Kanna, mungkin saja berita itu benar tetapi kedua adikku tidak berada di tempat ini.
"Sekali lagi aku minta maaf, Ra," sesal mas Kanna setelah sampai kontrakanku.
"Gak apa-apa, Mas. Seharusnya aku yang berterima kasih. Mungkin aku bisa mencarinya lain kali. Untuk hari ini aku ingin beristirahat dulu."
"Kalau ada apa-apa segera hubungi pemilik kontrakan ini. Kalau perlu hubungi aku juga."
***
Meskipun aku sudah beristirahat, tetapi badanku masih terasa lemas. Mungkin karena aku tidak makan. Sekilas ku ingat jika siang tadi mas Kanna membawakanku buah. Namun, tiba-tiba aku tak selera saat melihat buah yang dibawa oleh mas Kanna. Jeruk dan Apel, itulah buah yang ada di depan pusat ini.
Gara-gara mencari keberadaan adikku, aku sampai lupa jika harus berobat. Saat ku lihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Berada di kontrakan seorang diri tanpa satupun seorang kenalan membuatku mengurungkan diri untuk pergi ke rumah sakit.
Aku milih untuk beristirahat kembali kembali, berharap esok sakit yang aku rasakan telah pergi.
Malam terasa panjang nan sunyi. Pertemuan tak terduga dengan mas Alzam membuatku susah untuk memejamkan mata. Ditambah lagi berita tentang adikku yang ditinggalkan ibu begitu saja.
Dadaku terasa berat, seakan aku ingin menyerah karena keadaan. Baru saja ingin ku pejamkan mata, ponselku bergetar. Nama mas Alzam mengambang di layarnya.
Jantungku kembali berdebar. Entah mengapa tengah malam seperti ini mas Alzam menghubungiku.
Rasa kecewaku masih membubung tinggi karena mas Alzam tidak memiliki ketegasan. Aku pun memilih untuk mengabaikan panggilan teleponnya. Namun, mas Alzam tak putus asa. Dia terus melakukan panggilan dan juga mengirimkan sebuah pesan memohon agar aku mau mengangkat panggilan teleponnya.
"Assalamualaikum," kata ku datar.
"Waalaikumsallam. Akhirnya kamu mengangkat juga teleponnya. Ra, aku perlu berbicara denganmu. Bisakah kamu meluangkan sedikit waktu untukku?"
Aku tak bisa mengontrol detak jantungku yang berdebar-debar hanya dengan mendengarkan suara mas Alzam.
"Maaf Mas, sekarang aku tidak memiliki waktu bertemu. Jika ada yang ingin kamu, katakan saja sekarang."
"Aku tidak bisa mengatakan melalui telepon. Sekarang kamu tinggal dimana?"
"Aku sekarang tinggal dimana bukan urusanmu, Mas. Kamu tidak usah khawatir, aku pasti akan membayar semua hutang ibuku, tapi tidak sekarang. Kamu juga tenang saja aku tidak akan kabur."
"Ra, bukan itu maksud dan tujuanku menghubungimu. Ada sesuatu yang tidak kamu ketahui, tetapi aku tidak bisa mengatakan sekarang. Aku mohon padamu, beri aku sedikit waktu saja untuk bisa bertemu denganmu. Zahara, aku tahu kamu orang baik, aku minta maaf jika telah menggores hatimu."
"Beri aku sedikit waktu untuk berpikir, Mas," ucapku yang kemudian memilih menutup panggilan telepon.
Aku tidak tahu apa yang tidak aku ketahui. Memang sangat banyak yang tidak aku ketahui tentang sosok mas Alzam, karena kami memang tidak saling mengenal terlebih pernikahan itu begitu cepat terjadi diantara kami.
**
Setelah ku tunaikan dua rakaat, aku langsung mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Meskipun tubuhku masih lemah, tetapi aku harus tetap bekerja. Aku butuh buaya hidup. Namun, lagi-lagi aku harus merasakan mual yang sangat berlebihan.
"Ya Allah, sebenarnya aku sakit apa?"
Aku tidak mungkin minta izin untuk libur lagi. Aku takut jika Bu Endang malah mencari pengganti ku untuk membantu pekerjaannya. Saat ini aku sangat membutuhkan pekerjaan itu.
"Aku harus kuat."
Akhirnya ku langkahkan kaki untuk menuju kampus yang jaraknya tidak jauh dari rumah kontrakanku. Sesampainya di kampus, aku segera menuju ke kantin di mana Bu Endang sudah bersiap-siap.
"Lho, Neng Ara. Udah sembuh," tanyanya yang terkejut dengan kedatanganku.
"Iya Buk, Alhamdulillah udah mendingan," dustaku.
"Syukurlah kalau begitu. Maaf ya Neng, Ibu sama bapak belum kesempatan untuk menjenguk Neng Ara. Neng kan tahu kalau bapak itu sangat sibuk," ujar Bu Endang. Melihatnya yang begitu baik kepadaku, aku malah teringat pada sosok mbok Inah. Entah kenapa aku malah merindukan dia.
"Oh ya, Neng. Kemarin mas Arakanna minta alamat kontrakan Neng Ara. sebenarnya ibu gak mau kasih, tapi terus maksa. Katanya ada berita penting yang ingin disampaikan kepada Neng Ara. Neng, kok bisa kenal sama mas Arkanna sih?" tanya Bu Endang yang sudah mulai kepo.
Aku tersenyum tipis kearah Bu Endang. "Dulu dia adalah kakak kelasku, Bu."
"Wah ... pantas aja dia terlihat panik saat ibu katakan kalau Neng Ara sedang sakit," jelas Bu Endang.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
/Heart/
Jika boleh ijin promosi untuk karyaku yang berjudul Sungguh Mencintainya. Mohon dukungannya 🙏☺️