NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

FORMASI TIGA RAKSASA

Waktu: Rabu, 17 April 2019. Pukul 01.30 WIB.

Lokasi: Gerbang Pelataran Utama Candi Prambanan.

Tiga patung Dwarapala itu tidak membuang waktu untuk basa-basi. Begitu kaki batu mereka memijak tanah, mereka langsung bergerak.

Salah satu dari mereka—sebut saja Dwara-1—mengangkat gada batunya tinggi-tinggi. Gerakannya tidak kaku seperti batu, melainkan cair dan cepat.

Aditya Wiranagara melompat ke kiri untuk menghindar.

Secara logika fisika, gada berat yang sudah diayunkan ke bawah tidak bisa dibelokkan di tengah jalan karena momentum. Tapi Dwara-1 melakukan hal yang mustahil.

Di tengah ayunan, pergelangan tangan batu patung itu berputar sedikit. Gada itu berubah arah, mengoreksi lintasannya mengikuti arah lompatan Aditya.

WOOSH!

BLARRR!

Gada itu menghantam tanah tepat di titik pendaratan Aditya.

Aditya harus melakukan roll (berguling) kedua secara mendadak agar tidak gepeng. Serpihan paving block yang hancur menggores pipinya.

"Gila," desis Aditya, bangkit dengan napas memburu. "Itu tadi serangan pelacak."

Belum sempat dia bernapas, Dwara-2 melakukan sapuan horizontal. Aditya melompat mundur. Ujung gada itu meleset hanya satu senti dari hidungnya. Akurasinya menakutkan.

Mereka tidak memukul sembarangan. Mereka mengunci target.

Aditya mundur menjauh, menciptakan jarak aman.

"Karin, analisis!" teriak Aditya sambil menekan earpiece-nya. "Kenapa mereka akurat sekali? Aku baru saja ganti arah di udara, tapi gadanya ikut belok! Mereka batu, harusnya mereka punya inersia!"

"Tunggu sebentar... aku baca pola energinya," suara Karin terdengar tegang diiringi bunyi ketikan cepat. "Mas, liat mata ungu mereka. Itu bukan hiasan. Itu sensor optik magis."

"Sensor?"

"Mereka melacak target berdasarkan perubahan kontras cahaya dan bayangan. Selama Mas bergerak dan menghasilkan bayangan, mereka tahu posisi Mas sampai ke milimeter. Mereka seperti rudal pencari panas, tapi versi mistis. Mereka memprediksi gerakan Mas!"

"Jadi aku harus jadi hantu? Bagus. Rencana yang solid."

Aditya melihat ketiga raksasa itu mulai menyebar, membentuk formasi pengepungan. Mata ungu mereka berkedip-kedip, mengunci posisi Aditya yang baru.

Dwara-3 meraung pelan, suara batu bergesekan, lalu menerjang maju.

Situasinya buruk. Adit terpojok. Dia punya kecepatan, tapi dia tidak bisa melukai mereka dengan senjata fisiknya. Dan staminanya bocor seperti keran rusak.

Aditya melirik ke arah pohon kamboja di sisi kanan. Fajar ada di sana, gemetar memeluk kameranya.

Sebuah ide gila—tapi logis—muncul di kepala Aditya setelah mendengar penjelasan Karin.

"Melacak kontras cahaya dan bayangan..." batin Aditya.

Jika sensor mereka bergantung pada input cahaya yang stabil untuk membaca gerakan, apa yang terjadi jika input cahaya itu dikacaukan secara ekstrem? Seperti lag di video game akibat frame rate yang hancur?

Aditya mengambil keputusan berisiko. Dia tidak lari ke ruang terbuka. Sebaliknya, dia mundur.

Dia berlari mundur menuju sisa reruntuhan tembok pagar yang membentuk sudut mati. Dia sengaja memojokkan dirinya sendiri.

Melihat mangsanya terperangkap, ketiga Dwarapala itu mengubah formasi. Mereka tidak lagi menyebar. Mereka bergerak merapat, bahu ketemu bahu, membentuk dinding batu berjalan yang menutup jalan keluar Aditya.

Mereka bertiga kini berada dalam satu garis pandang yang rapat, tepat di depan Aditya.

"Sempurna," bisik Aditya, meski keringat dingin mengucur deras. "Mereka berkumpul."

"FAJAR!" teriak Aditya. "LO MASIH IDUP?!"

Dari balik pohon, kepala Fajar menyembul. Wajahnya pucat pasi. "Masih! Tapi gue rasa gue barusan ngompol dikit! Dit, lo kepepet! Lari!"

*"KAMERA LO!" tunjuk Aditya. "Speedlite*! Flash eksternal kamera lo! Itu punya mode stroboscopic, kan?"

"Hah? Iya, tapi buat apa?! Mau foto pre-wedding sama setan?!"

"Nyalain mode Multi-Flash! Frekuensi paling tinggi! Arahkan ke mata mereka sekarang!"

"Mereka batu, Dit! Nggak bakal silau!" bantah Fajar, mencoba logis di saat yang salah.

"Gue nggak minta bikin silau! Gue minta lo bikin mereka LAG! Kacaukan sensor visual mereka! Lakukan atau kita mati!"

Fajar tidak paham teknisnya, tapi dia paham nada panik Adit. Jari-jarinya gemetar mengutak-atik tombol speedlite di atas kameranya. "Oke... oke... Mode Multi... 50Hz... Full Power..."

Ketiga Dwarapala itu sudah berada dalam jarak serang. Tiga gada terangkat tinggi serempak. Eksekusi mati.

"SEKARANG, FAJAR! SIKAT MEREKA!"

Fajar melompat keluar dari persembunyiannya (tindakan paling berani dalam hidupnya). Posisi Fajar sekarang berada di samping kerumunan patung itu. Dia mengangkat kameranya tinggi-tinggi seperti senjata laser.

"MAKAN NIH DISKOTIK!" jerit Fajar.

Dia menekan tombol test flash.

CETAR-CETAR-CETAR-CETAR!

Lampu kilat itu menembak seperti senapan mesin cahaya. Cahaya putih menyilaukan berkedip lima puluh kali per detik dengan intensitas tinggi, membanjiri area gelap itu dengan efek strobo yang pusing.

Efeknya di luar dugaan.

Dunia di sekitar mereka terlihat patah-patah seperti video yang rusak.

Bagi mata manusia Fajar, itu hanya cahaya yang menyakitkan. Tapi bagi Mata Sihir patung-patung itu, itu adalah bencana sistem.

Sensor visual mereka yang mengandalkan kestabilan bayangan mengalami overload. Mereka tidak bisa membedakan mana target asli, mana bayangan sisa yang tertinggal di retina magis mereka karena kedipan cahaya.

Dwara-1 mengayunkan gadanya ke arah Aditya. Tapi karena "lag", dia memukul titik di mana Aditya berdiri dua detik yang lalu.

BUM!

Gada itu menghantam udara kosong, meleset satu meter dari tubuh Aditya.

Dwara-2 mencoba menangkap Aditya, tapi tangannya bergerak patah-patah, mencengkeram angin. Dwara-3 malah berputar bingung dan gadanya menghantam punggung Dwara-1.

BUKK! KRAK!

Mereka saling bertabrakan, kacau balau karena sistem navigasi mereka buta arah.

"Berhasil," desis Aditya. "Sistem mereka rebooting."

Ini bukan sihir. Ini sains mengalahkan sihir.

Aditya tidak menyia-nyiakan sedetik pun. Di tengah kedipan cahaya strobo yang membuat mual, dia bergerak.

Dia berlari di tembok vertikal sebentar, lalu melompat ke bahu Dwara-1 yang sedang bingung memukul angin.

Aditya menarik tabung Explosive Gel dari sabuknya, menyemprotkan busa peledak ke sambungan leher patung itu—titik terlemah konstruksi batu.

Dia melompat lagi ke bahu Dwara-2. Semprot. Lompat ke Dwara-3.

Gerakannya cair dan cepat, sementara musuh-musuhnya bergerak kaku seperti robot yang prosesornya kepanasan.

Aditya mendarat di tanah, berguling menjauh ke balik pilar.

"Fajar, matiin!"

Fajar melepaskan tombol flash. Cahaya strobo berhenti. Kegelapan kembali normal.

Ketiga patung itu berhenti bergerak sesaat, mata ungu mereka berkedip-kedip, sistem mereka mencoba mengkalibrasi ulang target. Tapi sudah terlambat. Gel peledak sudah menempel dan mengeras.

"Tutup telinga!" perintah Aditya.

Dia menekan detonator di pergelangan tangannya.

BOOM! BOOM! BOOM!

Tiga ledakan terarah meletus di leher para raksasa.

Kepala batu mereka tidak hancur berkeping-keping, tapi sambungan lehernya retak total. Jalur energi sihirnya putus.

Ketiga kepala Dwarapala itu menggelinding jatuh ke tanah dengan suara berdebum berat yang mengguncang dada, diikuti oleh tubuh raksasa mereka yang ambruk menjadi tumpukan batu mati.

Debu mengepul tebal.

Hening.

Fajar menurunkan kameranya yang berasap. Dia menatap tumpukan batu itu dengan mulut menganga.

"Gue..." Fajar menatap tangannya sendiri, gemetar. "Gue barusan ngebunuh monster pake blitz kamera?"

Aditya berjalan mendekat, menepuk bahu Fajar. Napasnya berat, tapi ada senyum tipis di balik maskernya.

"Lo bikin mereka nge-lag, Jar. Gue yang meledakkan. Tapi ya... assist yang bagus. Lo naik pangkat dari 'Beban' jadi 'Umpan Berguna'."

"Sialan lo," Fajar tertawa lega, lalu kakinya lemas dan dia jatuh terduduk di rumput. "Kamera gue... bolanya putus kayaknya. Baunya gosong."

"Nanti gue ganti. Gue beliin pabrik Canon-nya sekalian," janji Aditya asal.

"Jangan santai dulu, Mas," suara Karin memotong momen kemenangan itu, nadanya mendesak di earpiece. "Itu baru penjaga gerbang. Sinyal di Candi Siwa—bangunan utama—makin kuat. Portalnya sudah 90% terbuka. Mas punya waktu kurang dari lima menit sebelum 'Sesuatu' dari masa lalu keluar."

Aditya mendongak menatap Candi Siwa. Bangunan setinggi 47 meter itu kini dikelilingi oleh pusaran awan ungu. Petir tanpa suara menyambar-nyambar di puncaknya, merobek langit malam.

"Fajar, lo tunggu di sini," perintah Aditya serius, mengencangkan ikatan armornya yang mulai longgar. "Di sana radiasinya terlalu tinggi buat manusia biasa tanpa pelindung. Lo bisa gila cuma dengan ngeliat apa yang ada di dalem."

"Gue nunggu di sini?" Fajar melihat ke sekeliling taman yang gelap dan penuh potongan kepala batu. "Sama puing-puing ini?"

"Mereka nggak bakal gigit. Kecuali lo tempelin lagi pake lem. Udah, diem di sini. Jadi saksi kalau gue gagal."

Aditya mengecek sisa gadget-nya. Gel peledak habis. Flashbang habis. Tombaknya retak sedikit. Stamina tinggal 40%.

Tapi dia Senja Garda. Dia tidak butuh kondisi 100% untuk menang. Dia cuma butuh lebih keras kepala daripada musuhnya.

Aditya berlari menaiki tangga batu menuju pelataran utama Candi Prambanan. Menuju pusat badai. Menuju Bayangga.

Di belakangnya, Fajar mengangkat kameranya yang rusak, membidik punggung sahabatnya yang menghilang ke dalam kabut ungu.

"Jangan mati, Bodoh," bisik Fajar. "Beritanya belum selesai.

———————————————————

Berikut gambar Dwarapala :

Sumber : https://www.netralnews.com/menarik\-dan\-terlihat\-ramah\-beginilah\-gambaran\-arca\-dwarapala\-di\-candi\-sewu/blFEd2pSMUFUVlBBL3BXNmhPeGdVZz09

1
Kustri
💪💪💪
👉👉👉
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!