Hafidz tak pernah menyangka jika dirinya ternyata tak terlahir dari rahim ibu yang selama ini mengasuhnya. Dia hanya bayi yang ditemukan di semak dan di selamatkan oleh sepasang suami istri yang dia kira orang tua kandungnya, membuatnya syok dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tak ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya, karena dia merasa sudah bahagia hidup bersama orang tua angkatnya saat ini, tapi desakan sang Ibu membuatnya mencari keberadaan keluarga kandungnya.
Mampukah dia menemukan keluarganya?
Bagaimana saat dia tahu jika ternyata keluarganya adalah orang terkaya di ibu kota? Apakah dia berbangga hati atau justru menghindari keluarga tersebut?
"Perbedaan kita terlalu jauh bagikan langit dan bumi," Muhammad Hafidz.
"Maafin gue, gue sebenarnya juga sakit mengatakan itu. Tapi enggak ada pilihan lain, supaya Lo jauhin gue dan enggak peduli sama gue lagi," Sagita Atmawijaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abil Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Hafidz dikejutkan dengan bergetarnya ponsel dalam saku, tanpa menunggu lama dia menerima panggilan tersebut yang tak lain dari sang ibu di kampung. Terpaksa menjauh dari kedua orang itu, tapi masih bisa mengawasi gerak gerik mereka.
"Maaf Buk, Hafidz lagi dalam misi rahasia, nanti aku kabari lagi setelah selesai misinya," ucap Hafidz setelah sang ibu memberi kabar jika mereka baik-baik saja di kampung.
"Nanti aku ceritain Buk," tambahnya.
"Yaudah, kamu hati-hati ya Nak," setelah mengucapkan salah mereka pun mengakhiri percakapan singkat itu.
Hafidz ingin mendekat seperti tadi tapi dia ragu, takut mengganggu mereka karena sepertinya salah satu dari mereka sedang berbicara, tapi entah bicara apa. Hanya sebentar, setelah itu orang yang dia ikuti tadi yang tak lain adalah Papanya Gita, Bapak Renaldi Atmawijaya berdiri, mengusap puncak kepala wanita itu, lalu meninggalkannya.
Setelah melihat Pak Renaldi sudah cukup jauh, dengan hati berdebar Hafidz mendekat ke arah wanita itu. Jujur dia sangat penasaran dengan wanita itu. Ada hubungan apa dengan Bapak Renaldi, lalu kenapa bisa masuk ke rumah sakit jiwa. Ya, rumah sakit yang dia datangi ini adalah salah satu rumah sakit jiwa yang ada di daerah sini, kenapa dia mengikuti Bapak Renaldi, ya karena penasaran sekaligus ingin tahu.
Deg
Hafidz berdiri mematung setelah mengetahui wajah wanita itu, lututnya terasa lemas seakan tak bisa digerakkan sama sekali, padahal dia ingin lari secepatnya dan memeluk wanita dihadapannya ini. Tapi entah kenapa rasanya sulit sekali berjalan. Dengan perlahan, sambil memegang dadanya yang tiba-tiba sesak, dia berjalan mendekati wanita itu, bersimpuh dihadapannya, sambil terisak.
Meskipun baru pertama kali bertemu, dia yakin jika wanita dihadapannya ini adalah wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Ada perasaan sakit saat melihat wanita yang dia cari selama ini dalam keadaan seperti ini, tapi dia juga bahagia sudah menemukannya meski dalam kondisi berbeda.
"Mama, beneran ini Mama? Instingku mengatakan iya, lalu kenapa Mama di sini? Terus siapa wanita itu? Kenapa kalian mirip sekali?" banyak pertanyaan yang tak dimengerti oleh Hafidz.
Setelah puas menatap wajah Mamanya yang tetap bergeming, Hafidz ikut duduk di samping wanita itu, memeluk tubuh kurus yang seakan tak bernyawa itu dengan sayang. Hatinya hancur melihat wanita yang telah melahirkannya seperti ini, bernyawa tapi sekam mati. Entah penderitaan apa yang Mamanya rasakan selama ini. Dia tak menyangka ternyata Mamanya menderita, tak seperti bayangannya yang mengira Mamanya hidup bahagia selama ini.
"Maaf Mas, Anda siapa ya?" suster datang dengan membawa nampan berisi makanan, heran melihat pemuda yang tak pernah dilihatnya selama ini.
"Em, saya anaknya Sus," jawab Hafidz sedikit ragu.
Suster tersebut mengernyitkan dahinya, "Saya tidak tahu kalau Bu Sinta punya anak? Selama ini hanya suaminya saja yang selalu datang ke sini," ucap suster tersebut, merasa heran karena selama bekerja di rumah sakit ini, dia tak pernah melihat orang lain yang menjenguk Bu Sinta selain suaminya.
"Papa selama ini merahasiakan keberadaan Mama, Sus. Jadi saya baru tahu hari ini, saat mengikuti Papa tadi. Saya mohon suster jangan pernah bilang sama Papa kalau saya datang ke sini, ya," mohon Hafidz. Dia memberikan alasan yang menurutnya masuk akal, meskipun harus berbohong, karena tak mungkin dia mengatakan yang sesungguhnya.
"Baiklah Mas, semoga dengan kehadiran Masnya Bu Sinta lekas membaik, karena menurut dokter Bu Sinta tak memiliki alasan untuk sembuh, jadi dia malas berusaha, akhirnya keadaanya sama saja sejak pertama kali masuk RS ini," jelas suster tersebut.
Hafidz terkejut mendengar penjelasan suster, tapi dia tak ingin memperlihatkan keterkejutannya, takut suster curiga dengan dirinya.
"Makasih sus, biar saya saja yang menyuapi Mama, suster boleh kembali." Hafidz meraih nampan yang dari tangan suster. Dan suster itu pun pergi meninggalkan mereka berdua.
"Mama makan ya, terus minum obat, biar cepet sembuh. Aku ingin Mama sembuh, nanti kita bisa tinggal bersama," ucap Hafidz dengan mata berembun.
Mama menerima suap pertama, tapi makanan itu sama sekali tak dikunyah dan masih setia berada di dalam mulut selama beberapa menit, tapi akhirnya di kunyah juga, dan itu terjadi berulang kali.
Hafidz dengan telaten menyuapi Mama yang enggan untuk makan, dan pada akhirnya makanan itu habis setelah hampir satu jam. Mama juga mau minum obat, membuatnya bersyukur. Meski hati kecilnya terluka melihat Mama seperti saat ini.
Hafidz membuka dompetnya, mengeluarkan liontin yang sama dengan yang dipakai oleh Mama.
"Ma, kenapa aku yakin sekali kalau ini Mama ku, karena liontin yang Mama pakai sama dengan yang ku punya. Lihatlah Ma, sama, kan?" Hafidz meletakkan liontin itu ditangan Mama.
Tanpa Hafidz sadari, Mama terkejut melihat liontin itu, dia menggenggam liontin itu erat, seakan menumpahkan kemarahannya pada liontin tersebut.
"Akan aku ceritakan kenapa liontin itu ada di tempatku, Ma," Hafidz terus berbicara meski Mam tak merespon sedikit pun.
"Kata Bapak dan Ibu, mereka dulu menemukanku di semak pinggir jalan, dan liontin ini ada di dekat ku membuat mereka yakin jika pemilik liontin ini ada hubungannya dengan ku dan merek menyimpan liontin ini sebelum akhirnya memberikan pada ku," Hafidz diam sejenak, mengingat masa-masa bersama Bapak dan Ibu.
"Mereka memberiku nama Muhammad Hafidz, seperti anak mereka yang sudah tiada, mereka menyayangi ku seperti anak kandung mereka sendiri, bahkan aku tak menyangka jika bukan anak mereka, meski dari postur tubuh, bentuk wajah tak ada kemiripan sama sekali,"
Hafidz menatap sang Mama, "Aku yakin bukan Mama yang sengaja membuang ku, pasti ada orang jahat di balik semua ini, dan aku akan mencari siapa mereka. Aku juga akan mencari siapa yang sudah membuat Mama seperti ini, doakan aku ya Ma," ucapnya.
Hafidz terkejut saat melihat mata Mama memerah, bahkan air matanya runtuh meski tak terlalu banyak. Dia yakin Mamanya benar-benar mendengarkan ceritanya. Dia semakin yakin jika sang Mama bisa sembuh.
"Mama jangan sedih, aku selama ini hidup bahagia. Kedua orang tua angkat ku, meski bukan orang kaya, mereka membesarkan ku dengan penuh kasih sayang, mereka orang baik, bahkan sangat baik." Hafidz menghapus air mata di pipi sang Mama.
"Sekarang Mama istirahat ya," ucap Hafidz saat melihat suster mendekat.
"Biar sama saya saja Sus, tolong kasih tahu dimana kamar Mama," ucap Hafidz.
Suster tersebut mengangguk, "Mari ikut saya Mas," ucapnya.
Hafidz menuntun sang Mama mengikuti suster, masuk ke dalam kamar yang letaknya tak jauh dari taman tadi. Setelah sampai di dalam, Hafidz membaringkan Mama di tempat tidur, lalu menyelimuti tubuh wanita itu.
"Sus, boleh kita bicara sebentar," ucap Hafidz.
"Bisa Mas, kita bicara di depan saja," ucap suster itu.
Hafidz mengangguk, "Baiklah, tunggu sebentar," ucapnya.
"Ma, kapan-kapan aku akan ajak Gita ke sini, dia juga pasti merindukan Mama, baik-baik ya Ma, aku tinggal dulu," ucap Hafidz, dia memeluk sang Mama sebelum meninggalkan kamar tersebut.
Sinta kembali menitikan air mata setelah melihat Hafidz ke luar dari kamarnya. Bahkan kini, dia menangis, entah itu tangisan kesedihan atau kebahagiaan.
karena di bab awal seingatku nama sopirnya Tio, dan setelah itu disuruh kerja ke Padang.