Kuliah? Haruskah aku menjadi cepat dewasa, menemukan pasangan lalu menikah? Tunggu, aku harus meraih gelar sarjanaku lebih dulu. Tapi, bagaimana kalau bisa meraih keduanya?
Oh, Tidak ...! Ini benar-benar membingungkan.
Ini kisah Adinda Dewi Anjani, gadis desa yang terpaksa merantau ke kota untuk kuliah, demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa yang ketampanannya telah menjadi sorotan berita.
Lika-liku kisah Anjani mengejar gelar sarjana, tak luput dari godaan cinta masa kuliah. Apalagi, tren slogan "Yang Tampan Jangan Sampai Dilewatkan" di antara geng kampusnya, membuat Anjani tak luput dari sorotan kisah cinta. Lalu, akankah Anjani lebih memilih cinta sesama daripada gelar yang pernah dimimpikan olehnya? Atau justru pembelajaran selama masa kuliah membuatnya sadar dan memilih hijrah? Yuk, kepo-in ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indri Hapsari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CS1 OSPEK Hari Ketiga
OSPEK hari pertama, Anjani terlambat karena kehilangan pasangan sepatunya. OSPEK hari kedua, Anjani terlambat karena motor yang dinaiki bersama Meli kehabisan bensin dan mengalami bocor ban dalam selepas terkena paku. Bagaimana dengan OSPEK hari ketiga?
Pagi itu Anjani dan Meli berangkat bersama lagi mengendarai motor milik teman Meli. Takut mengalami kejadian tidak terduga, Anjani dan Meli memutuskan berangkat satu jam lebih awal.
Sebelum berangkat, Anjani dan Meli telah memeriksa bensin, dan cukup hingga pulang nanti. Kali ini Anjani yang mengemudi, sedangkan Meli duduk di boncengan motor. Anjani mengemudi dengan kecepatan sedang, sama seperti Meli kemarin. Anjani pun terlihat hati-hati mengemudikan motornya.
Melewati perempatan jalan, Anjani melihat seorang nenek sedang kebingungan. Mulanya Anjani mencoba acuh dan tetap melajukan motornya. Namun, melakukan hal itu benar-benar membuat beban di hati Anjani, juga pikirannya seakan dihantui. Tanpa meminta persetujuan Meli, Anjani pun memutar balik motornya menuju nenek yang tadi dilihatnya.
"Loh, loh, Anjani. Kenapa berputar?" tanya Meli kaget.
"Ikut aku sebentar, Mel!" ajak Anjani.
Sampailah Anjani dan Meli di tempat nenek yang dilihatnya tadi. Benar, nenek itu kebingungan. Nenek itu mengaku kehilangan uang dua puluh ribu rupiah miliknya. Padahal, uang tersebut akan digunakan untuk membeli beras di toko seberang jalan. Mendengar hal itu tentu saja Anjani dan Meli tidak tega. Mereka berdua pun memutuskan patungan untuk membelikan nenek tersebut beras.
Sukses, nenek pun bahagia karena ada anak muda yang peduli dan menolongnya. Berulang kali nenek itu mengucapkan terima kasih kepada Anjani dan Meli. Diam-diam adegan itu pun ditangkap dalam potret kamera oleh seseorang dari seberang jalan.
"Terima kasih banyak," tutur nenek.
Kebaikan memang seharusnya tidak dilakukan setengah-setengah. Begitulah yang ada di pikiran Anjani. Tidak hanya dibelikan beras, tapi Anjani dan Meli juga mengantar nenek tadi pulang ke rumahnya.
"Ayo, ke kampus sekarang, Mel!" ajak Anjani dengan lebih bersemangat setelah berhasil membantu nenek tadi.
"Sekarang aku yang nyetir, ya. Kamu duduk manis saja. Berangkat!" seru Meli.
Meli mengemudikan motornya dengan sedikit cepat, karena takut terlambat. Sesampainya di parkiran motor, Meli pun bergegas. Begitu motor telah terparkir rapi, Anjani dan Meli berlarian kecil menuju gedung yang di depan sana sudah terlihat komisi kedisiplinan. Akan tetapi ....
Teeeeet!
"Terlambat!" teriak salah satu komisi kedisiplinan.
Kurang beberapa langkah lagi menuju pintu utama gedung, tapi tanda masuk telah dibunyikan. Anjani dan Meli tetap terhitung terlambat karena belum melewati penjagaan komisi kedisiplinan. Saat mendengar teriakan 'terlambat' dari salah satu komisi kedisiplinan, langkah kaki Anjani dan Meli kompak berhenti.
"Adinda Dewi Anjani .... Meli Syahrani .... Silakan menghadap komisi kedisiplinan. Se-ka-rang!" tegas salah satu komisi kedisiplinan.
"Anjani, siapkan dirimu!" ujar Meli pelan seolah sedang berbisik.
"Sudah mulai terbiasa," sahut Anjani.
Anjani dan Meli maju perlahan. Mereka berdua sama sekali tidak takut, karena keterlambatan mereka berdua memiliki alasan.
"Sepatumu hilang lagi?" tanya salah satu komisi kedisiplinan.
"Tidak, Kak!" ujar Anjani menjawab lantang.
"Kehabisan bensin lagi? Atau motor kena paku?" tanya komisi kedisiplinan lagi.
"Ya nggak mungkin lagi dong, Kak. Kita sebagai mahasiswa baru harus belajar dari kesalahan masa lalu. So, hari ini motor kita aman." Nah, Meli justru menjawab dengan nada riang gembira. Lagi-lagi sukses membuat kelima komisi kedisiplinan tepuk jidat.
"Meli, nggak perlu pakai nada happy gitu. Tuh, lihat!" tunjuk Anjani ke arah komisi kedisiplinan yang kompak balik badan seolah sedang berdiskusi tentang konsekuensi yang akan diberikan.
"Emang salah, ya?" tanya Meli dengan sedikit berbisik sambil menyikut lengan Anjani.
Tidak lama berselang, salah satu komisi kedisiplinan mulai mencatat nama Anjani dan Meli dalam daftar pelanggar kedisiplinan. Melihat itu, Anjani dan Meli tidak membantah sama sekali. Mereka menurut, asal konsekuensi yang akan diberikan masih berada di dalam batas wajar.
"Baik, konsekuensi yang akan kalian terima adalah ...."
"Tunggu!"
Drama dimulai. Ya, bisa dikatakan seperti itu. Apalagi kalau bukan mirip adegan drama. Di saat hukuman siap dijatuhkan, mendadak pahlawan muncul memberi pembelaan. Pahlawan? Tepat sekali!
Di mata Anjani, senior yang tiba-tiba datang dan memotong perkataan komisi kedisiplinan benar-benar sosok pahlawan. Anjani terkagum. Ekspresi yang ditunjukkan Meli bahkan lebih dari itu. Senior yang saat itu datang benar-benar membuat matanya berbinar. Cukup menunjukkan foto di ponselnya, pahlawan tadi sukses menyelamatkan Anjani dan Meli.
"Silakan masuk. Maaf telah berburuk sangka pada kalian. Dan ... perbuatan kalian pagi ini patut mendapat penghargaan," jelas salah satu komisi kedisiplinan sambil tersenyum ramah. Senyum yang belum pernah dilihat oleh Anjani.
"Loh, loh, loh. Kenapa jadi aneh begini? Kita senang kok kalau disuruh mencari tanda tangan," sahut Meli tiba-tiba. Namun, cepat-cepat diluruskan oleh Anjani.
"Tidak-tidak. Baik kami akan segera masuk. Terima kasih banyak, Kak Ken. Permisi!" ujar Anjani kemudian bergegas menarik lengan Meli untuk ikut masuk bersamanya.
***
Di balik pot besar yang tidak jauh dari tempat komisi kedisiplinan berjaga, Ken menemui Mario. Ken menepuk-nepuk bahu Mario, kemudian tersenyum penuh arti.
"Wahai sahabatku, Mario. Lain kali, kaulah pahlawannya," tegas Ken.
"Bukankah aku memang pahlawan yang sebenarnya?" tanya Mario.
"Nah, itu dia. Kamu pahlawan yang kehabisan stok rasa PD. Harus belajar pada ahlinya." Ken menepuk-nepuk dadanya, lalu menunjuk dirinya dengan penuh rasa percaya diri.
"Aku selalu percaya diri, Ken. Kau tahu itu dengan pasti," sangkal Mario.
"Ah! Terserah kau sajalah. Yuk, gabung sama yang lain. Jangan coba-coba menghilang lagi." Ken memperingatkan Mario, kemudian mendorongnya agar segera bergabung dengan panitia lainnya.
***
Hingga tengah hari, Anjani begitu menikmati acara OSPEK hari ketiga. Panitia yang keanggotaannya terdiri dari para mahasiswa senior tahun kedua benar-benar mengemas acara dengan menarik, tidak ada penindasan, ataupun hal-hal lain yang bisa merugikan fisik. Saat terjadi suatu kesalahan yang dilakukan mahasiswa baru pun konsekuensi yang diberikan telah terukur. Semua senang, semua menikmati.
Sejak pagi tadi acara diisi dengan informasi-informasi seputar perkuliahan, jumlah dosen yang mengajar, istilah-istilah perkuliahan, IPK, SKS, Dosen PA, hingga budaya di jurusan. Tidak ketinggalan game berhadiah yang sejak hari pertama menjadi andalan. Sayangnya, Anjani tidak pernah mendapatkan hadiah tersebut karena selalu kalah cepat dari Berlian, teman sekelompoknya.
"Baik, sebelum kita melakukan vote dan pembacaan pemenang dalam beberapa kategori, kita simak pidato penyemangat dari salah satu senior yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua pelaksana."
Senior yang bertugas membacakan acara menyebut wakil ketua pelaksana. Seketika, deg! Anjani mendadak berdebar. Nama yang tiga hari ini dia nantikan, akhirnya disebut juga. Namun, harapan Anjani harus tertahan. Ken, dialah yang ada di depan sana saat itu.
Tepuk riuh terdengar dari segala penjuru saat Ken baru saja memegang microphone. Histeria itu muncul akibat banyak mahasiswi yang berteriak-teriak karena melihat sosok Ken yang menurut mereka keren sekaligus tampan dengan gaya kaca matanya.
"Perkenalkan, namaku Ken. Senior tahun kedua. Hei, apakah menurut kalian aku adalah wakil ketua pelaksana? Tentu saja bukan. Aku akan memberi kalian sebuah pantun, lalu kita beri tepukan meriah untuk senior yang akan berpidato di sana. Ada semut, ada ulat sutra. Mari kita sambut, Mario Dana Putra."
Ken berlagak seperti seorang MC yang menyulut emosi penonton untuk bertepuk tangan menyambut bintang tamu. Ken berhasil, banyak yang bertepuk tangan, termasuk di antaranya adalah Juno dan Meli. Namun, saat Mario benar-benar keluar menampakkan dirinya, tepuk riuh di ruangan itu semakin menjadi. Teriakan-teriakan mahasiswi memenuhi ruangan. Sebagian lagi sampai beranjak dari tempat duduknya, berdiri dan heboh sendiri.
Kemunculan Mario memang memberi arti tersendiri. Tiba-tiba saja banyak yang menyebut-nyebut namanya. Padahal Mario belum berbicara sepatah kata pun, dia hanya berdiri sambil tersenyum di depan sana. Ya, ketampanan Mario tengah menjadi sorotan baru. Mungkin Mario sudah menduga hal itu, makanya dia hampir tidak pernah menampakkan diri di depan mahasiswa baru. Hanya karena hari itu Mario sudah diingatkan ketua untuk mengisi acara, juga Ken telah melarangnya untuk kabur, akhirnya Mario tidak memiliki pilihan lain selain tampil di depan para mahasiswa baru. Mario hanya tidak ingin mengecewakan teman-temannya.
"Seperti halnya alat tukar yang begitu kita kenal. Uang ... desain dan bahannya telah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Belajar dari hal itu, mari kita ubah pemikiran primitif diri kita menjadi sebuah langkah maju yang bisa membuat kehidupan kita menjadi bernilai melebihi nilai mata uang. Saya Mario, bersama mari gapai mimpi-mimpi kita."
Penutup pidato dari Mario sukses mengundang tepukan dan teriakan kagum. Kekaguman itu bukan hanya berasal dari mahasiswa baru, tapi juga teman-teman seangkatan Mario. Tidak ketinggalan dengan Anjani, dia pun terkagum-kagum. Bukan dengan sosoknya, tapi kagum dengan pidatonya.
"Selanjutnya, akan dibagikan kertas kecil. Isi dengan nama senior yang kalian jagokan. Setelah ini, akan ada pembagian hadiah untuk beberapa kategori."
Tidak butuh waktu lama untuk mengisi. Setiap mahasiswa baru telah mengantongi nama jagoannya masing-masing. Akan tetapi, tidak bagi Anjani. Dia bingung menuliskan satu nama di kertasnya. Di satu sisi, dia kagum dengan Ken karena sering membantunya, di sisi lain nama Mario menjadi saingan bagi Ken karena pidatonya yang mengagumkan.
"Anjani, sudah belum? Kumpulin, yuk!" Dika, ketua kelompoknya mengingatkan. Menyadari hal itu, Anjani pun bergegas menuliskan satu nama di kertasnya.
***
"Ken, kamu yang mengumumkan pemenangnya," pinta ketua pelaksana OSPEK.
"What? Aku?" Ken kaget karena itu di luar susunan acara, jelas bukan dirinya yang bertugas.
"Iya, kamu. Biar lebih heboh lagi suasananya. Jangan lupa pakai pantun lagi seperti tadi, ya." Ketua Pelaksana OSPEK menepuk-nepuk bahu Ken.
Ken tidak bisa mengelak lagi, karena komisi acara sudah setuju dengan hal itu. Pada akhirnya, Ken setuju. Saat itu pun dia terlihat berkacak pinggang, sambil mendongak ke atas. Sekilas, dia pun memiliki bahan untuk pantunnya.
Semua itu mendadak bagi Ken. Tadi pun saat Mario hendak berpidato juga dia lakukan secara mendadak ketika gemas melihat Mario yang enggan untuk maju dan berusaha menyusun strategi baru. Sebelum strategi Mario jadi, Ken buru-buru muncul di depan, berpantun, dan memanggil nama Mario keras-keras.
Ken mendapat secarik kertas dari komisi acara. Ada nama-nama pemenang kategori di sana. Wajah Ken terlihat dipenuhi keceriaan saat membaca beberapa nama di sana.
"Iyeeah. Hai semua, jumpa lagi bersama Ken. Ada ikan, ada pula umpannya. Mari kawan, kita bacakan pemenangnya. Yuhuu!" Ken merasa sedikit aneh dengan pantunnya. Akan tetapi, tetap saja banyak yang bersorak saat dia membacakannya. Mungkin, itulah yang dinamakan tingkat ke-PD-an menyamarkan kekurangan.
"Pemenang kreasi tas kardus adalah .... Selamat kepada Berlian dari kelompok pita biru. Silakan mengambil tempat di depan."
Berlian maju dengan pesona kreasi tas kardus miliknya. Berlian pantas menjadi juara, dan Anjani mengakui itu. Meski terbuat dari kardus, tapi kreasi tas kardus milik Berlian terlihat bergaya, sama seperti dirinya. Dia pun menambahkan hiasan tali sepatu warna-warni yang justru menambah unsur kekinian. Tali tas juga dibuat sedikit kendor dan panjang, jadi saat dipakai tidak menimbulkan kesan cupu bagi penggunanya.
Selanjutnya, kelompok terkompak dimenangkan oleh kelompoknya Meli dari kelompok pita merah jambu. Begitu nama kelompoknya disebut, Meli terlihat paling heboh dibanding anggota kelompok lainnya. Kehebohan Meli itu justru mengundang anggota kelompoknya untuk ikut-ikutan heboh dan bereuforia.
Mahasiswa terdisiplin diraih oleh Dika, ketua kelompok pita biru. Anjani sudah mengira itu, dan mahasiswa lainnya juga setuju. Dika memang patut menjadi pemenangnya. Penghargaan itu tidak mungkin didapatkan Anjani yang selalu datang terlambat dan menjadi mahasiswa baru paling dikenal oleh komisi kedisiplinan.
Mahasiswa terfavorit diraih oleh Juno. Wajar, sejak awal Juno sudah terlihat paling menonjol. Bukan hanya dari segi pesona, tapi juga gaya bicaranya memang khas. Tidak diragukan lagi, dan Anjani semakin bangga dengan Juno.
"Terakhir, peraih vote terbanyak senior terfavorit adalah .... Mario Dana Putra. Selamat!"
Begitu nama Mario disebut, suasana ruangan kembali riuh seperti saat Mario berpidato. Respon mahasiswa baru terhadap pidato Mario benar-benar menentukan hasil vote pada mahasiswa terfavorit, 98℅ memilih Mario.
"Dan ... yang paling terakhir ada satu kategori tambahan. Paling terkenal di mata komisi kedisiplinan, tiga hari OSPEK dan tiga kali pula terlambat."
Deg!
Mendengar itu membuat Anjani khawatir. Ada apa dengan kategori tambahan? Kenapa hal yang disebutkan seolah menjurus kepada dirinya?
"Gelar ratu terlambat melekat pada dirinya sejak tiga hari terakhir. Tapi, hei ... kita tidak sedang mengomentari itu. Hari ini, alasan dia terlambat sungguh mulia, menolong seorang nenek dan mengabaikan hukuman yang mungkin siap menantinya. Untuk itu, tanpa basa-basi lagi, kita beri penghargaan untuk .... Adinda Dewi Anjani."
Benar, firasat Anjani benar. Dia sempat khawatir akan ada penghargaan bagi siswa yang selalu terlambat. Ternyata, tambahan kategori itu adalah rasa manis dari buah kebaikan yang tadi pagi dia tanam bersama Meli.
Teman kelompok pita biru memberi tepukan semangat bagi Anjani, diikuti tepukan dari teman lainnya. Namun, yang paling kencang tepukannya adalah lima mahasiswa senior dari komisi kedisiplinan.
"Kak, Kak Ken, tadi pagi aku juga bantuin. Kok aku nggak disebut?" tanya Meli sambil berbisik pada Ken.
"Meli, kamu kan sudah dapat hadiah." Ken menjelaskan dengan berbisik pula.
Meli manyun, tapi tidak lama. Setelahnya dia ikut senang saat Anjani menerima buket bunga. Itu buket bunga mawar putih. Meli pun ikut penasaran, sama seperti Anjani. Siapa sebenarnya yang mengusulkan kategori tambahan itu? Dan ... di antara banyak bunga, kenapa harus mawar putih?
***
Tunggu lanjutannya, ya. Dukung author dengan cara like, vote, dan tinggalkan jejak komentar di bawah. See You, Readers. 💖
FB : Bintang Aeri
IG : bintang_aeri
Dukung karya author di sana ya 💙
Eh, aku juga punya cerita nih guys.
Nggak usah penasaran ya, karena bikin nagih cerita nya🥺
jgn lupa mampir juga di novelku dg judul "My Annoying wife" 🔥🔥🔥
kisah cewe bar bar yang jatuh cinta sama cowo polos 🌸🌸🌸
tinggalkan like and comment ya 🙏🙏
salam dari Junio Sandreas, jangan lupa mampir ya
salam hangat juga dari "Aster Veren". 😊