follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14
Mikha mendongak, memperhatikan dengan lekat nama yang tertera di handphonenya, yang kini sedang meneleponnya.
Helaan napas panjang terhembus dari hidungnya saat melihat mamanya yang menelepon dia sepagi ini.
"Hallo, Ma." Dengan malas Mikha mengangkatnya. Matanya masih mengantuk. Semalam dia tidak bisa tidur karena kepalanya yang mendadak pusing dan demam.
"Di mana kamu, Mikha? Pulang! Kamu pikir baik buat perempuan bersuami menginap sendiri di luar sana?"
Kening Mikha berkerut, dari mana mamanya tau kalau Mikha tidak tidur di rumah?
Mikha sudah bisa menebak tersangka utamanya. Sudah pasti Gilang yang mengatakan. Dia terlalu nekat. Mikha merutuki Gilang dan akan membalasnya jika benar Gilang yang memberitahu Feni.
"Aku di rumah temen, Ma. Nanti pulang agak siangan."
"Nggak ada nanti-nanti, Mikha. Ternyata begini, ya, kebiasaan kamu. Untung Mama datang ke rumah kamu, jadi Mama tau bagaimana kelakuan kamu. Nggak ada hormatnya sama suami. Suami kamu cuma makan roti doang nggak kamu urusin."
"Lagian waktu Mama berasa luang banget, ya, sampai datang ke rumah?"
"Maksud kamu apa, Mikha? Jangan mengalihkan pembicaraan. Pulang sekarang! Mama nggak mau tau."
Mikha melempar ponselnya dengan asal. Kepala yang pusingnya saja belum reda kini semakin bertambah pusing mendengar Omelan mamanya. Demamnya belum turun juga sejak semalam.
Rasanya ingin terus tiduran saja karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak bersahabat. Tapi Mikha harus tetap bangun dari tidurnya, mengumpulkan tenaga yang dia miliki.
Bersamaan dengan itu, Gavin membuka pintu kamar dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Mikha.
"Udah bangun?"
Mikha mengangguk lesu. "Mau pulang. Ada Mamaku di sana."
"Kamu masih sakit. Aku nggak ngijinin kamu pulang dalam keadaan begini."
Setelah meletakkan nampan ke atas meja, Gavin naik ke ranjang, mendekati Mikha dan mengecek suhu tubuh Mikha. "Kamu masih demam."
"Tapi aku harus pulang, Kak."
"Oke. Tapi aku antar."
"No!" Mikha menggeleng kuat. "Mama pasti mikir yang aneh-aneh kalau tau kakak yang ngantar aku. Kakak pesankan taksi online aja buat aku."
Meskipun tidak rela Mikha pulang ke rumah itu lagi, apalagi dalam keadaan sakit begini, Gavin terpaksa mengangguk mengiyakan. "Tapi makan dulu terus minum obat, ya? Hubungi aku kalau ada apa-apa."
Mikha mengangguk dan tersenyum. "Iya, Kak."
Gavin segera menyuapi Mikha dengan semangkuk bubur ayam yang dia beli di warung dekat apartemennya.
Semalam, meskipun keduanya saling mencintai, tapi Gavin membiarkan Mikha tidur sendiri di dalam kamarnya. Sedangkan Gavin sendiri memilih untuk tidur di sofa ruang tamu.
Seandainya mau, Gavin bisa saja mengambil kesempatan atas Mikha. Tapi hal itu tidak dia lakukan demi menjaga kehormatan Mikha sendiri. Dia istri orang yang bahkan suaminya sendiri pun belum menyentuhnya. Gavin tidak ingin merusak Mikha meskipun dia harus setengah mati menahan gejolaknya.
***
Hal yang Mikha lihat saat pertama kali masuk rumah adalah, Gilang yang sedang duduk santai di samping Mama Feni. Sedangkan Feni sendiri menatap Mikha dengan tatapan tajam penuh kekesalan dan amarah.
"Begini kelakuan kamu, Mikha? Kalau ada masalah itu dihadapi, bukan malah ditinggal lari. Ninggalin suami, nggak ngurusin suami. Kamu pikir seperti itu baik?"
Mikha menghembuskan napas dengan kasar. Bahkan mamanya sendiri pun tidak bisa memperhatikan wajah anaknya yang pucat karena sakit.
Apa itu mengurus suami? Yang bahkan selama ini Mikha belum pernah melihat hal itu dilakukan oleh mamanya kepada papanya semenjak mamanya memutuskan untuk kembali bekerja dan membangun bisnis.
"Udah, Ma, nggak apa-apa." Gilang bersuara. "Aku yang salah, kok. Mungkin kemarin aku yang terlalu kasar sama Mikha," lanjutnya yang membuat Mikha muak.
Mikha memalingkan wajah. Entah apa yang sudah Gilang ceritakan pada Feni. Saat ini Gilang sedang bermain peran. Mikha terlihat salah di hadapan Feni. Entah apa yang membuat Feni menganggap Mikha lari dari masalah.
"Nggak apa-apa, Gilang. Sekali-kali memang harus keras sama istri yang nggak mau nurut sama suaminya begini."
Dada Mikha terasa sesak saat Feni terang-terangan membela Gilang. Padahal, Mikha adalah anak kandungnya. Tapi dia tetap bersalah di mata Feni. Di mata Wira pun sama halnya. Mikha tidak pernah benar di mata kedua orangtuanya.
"Mama pulang dulu. Tadinya ke sini mau ajak kamu jalan-jalan sebentar. Tapi ternyata Mama malah dibuat kecewa dengan kelakuan kamu. Gilang, Mama titip Mikha. Kamu bisa bilang ke Mama atau Papa kalau Mikha macam-macam lagi."
Gilang mengangguk dan tersenyum. "Baik, Ma. Hati-hati di jalan."
Mikha tak mengantar mamanya hingga ke depan rumah. Mikha lebih memilih pergi ke kamarnya. Kepalanya semakin pusing saja setelah mendengar omelan Feni.
"Kasian, ya, nggak dibela sama mamanya sendiri," sindir Gilang. Dia baru saja kembali masuk rumah setelah mengantar Feni sampai ke mobil Feni.
Mikha urung menaiki tangga. Tanpa menatap Gilang, Mikha berucap, "gue nggak peduli."
Mikha melanjutkan langkahnya.
Sampai di pertengahan tangga, Mikha terhuyung hampir terjatuh kalau saja tidak berpegangan pada besi di pinggiran tangga. Apa yang dia lihat seperti berputar, membuat kepalanya semakin sakit. "Awh." Mikha merintih pelan.
"Nggak usah drama Lo, Mikha!"
Mikha tak peduli dengan ocehan Gilang. Sebisa mungkin dia melangkahkan kakinya lagi agar bisa masuk ke kamarnya.
Tapi sampai di tangga paling atas, Mikha benar-benar tersungkur. Pusing yang dia rasakan semakin hebat. Dadanya semakin sesak dan pandangan matanya semakin gelap.
"Lo akting, ya?" Gilang berlari menaiki tangga untuk menghampiri Mikha.
Tangan Gilang sudah menyentuh lengan Mikha namun Mikha masih kuat untuk menepisnya. "Jangan sentuh gue."
"Lo demam, Kha. Kepala Lo pusing apa gimana? Gue bantu ke kamar." Sejahat-jahatnya Gilang pada Mikha, Gilang tetap manusia yang punya rasa kasian.
Dia tidak mungkin membiarkan Mikha yang sakit begitu saja. Kalau semakin parah, Gilang sendiri yang akan repot. Begitu pemikiran Gilang.
"Gue bisa sendiri. Lo nggak usah sok peduli sama gue," ujar Mikha pelan. Berusaha untuk berdiri dan masuk ke kamar meskipun dengan langkah tertatih.
🌹🌹🌹
"Siapa?" Gilang menatap gadis seusia Mikha, yang berdiri di depan rumahnya.
"Sena. Sahabatnya Mikha. Dia di kamar, kan? Katanya lagi sakit. Saya bawain dia makanan sama obat."
Tadinya, Sena ragu untuk datang ke rumah Mikha. Sena belum pernah bertemu Gilang secara langsung selain di hari pernikahan Mikha. Sena khawatir Gilang akan mengusirnya dan akhirnya Mikha pun kelaparan di dalam kamarnya.
"Saya bisa ngasih makan dan obat untuk Mikha. Jadi kamu nggak perlu datang ke sini," ujar Gilang dengan ketus.
Sena mengangguk membenarkan. "Iya. Saya tau. Tapi saya hanya ingin menjenguk teman saya yang sedang sakit."
"Tidak perlu_"
"Woy, Gilang!" Ucapannya terpotong karena teriakan Mikha dari lantai dua. "Nggak usah sok ngelarang temen gue buat masuk. Lo nggak berhak. Naik, Sen. Lewatin aja tuh manusia."
Sena menahan tawanya agar tak sampai keluar. Bisa bahaya kalau sampai tawanya pecah di hadapan Gilang.
Sesuai dengan perintah Mikha, Sena melewati Gilang begitu saja dan segera naik ke lantai dua dimana kamar Mikha berada.
"Katanya sakit? Kok, bisa teriak-teriak begitu?"
"Yang sakit kepala gue, Sena. Mulut gue masih bisa teriak."
Sena tertawa. Lantas mengeluarkan rice bowl dari dalam kantong plastik. "Nih, makan. Terus minum obatnya biar cepet sehat."
"Thanks, ya, Sen. Tadinya gue mau minta tolong kak Gavin aja buat ke sini. Tapi nggak mungkin juga. Yang ada malah perang dunia yang kesekian kalinya."
"Udah sejauh mana hubungan Lo sama kakak ipar Lo itu?" Sena menatap Mikha penuh tanya.
Mikha seperti menjilat ludahnya sendiri. Dulu dia mengatakan kalau tidak mungkin Mikha dan Gavin akan saling jatuh cinta.
Tapi seiring berjalannya waktu, cinta itu benar-benar muncul di hati mereka.
"Kita nggak menjalin hubungan. Dia bilang cinta ke gue, tapi gue belum balas apa-apa."
"Lo nyaman sama dia?"
Mikha mengangguk pasti. "Dia buat gue nyaman, Sen. Gue bahagia ada di dekat dia. Dia melindungi gue, membahagiakan gue, menjadikan gue ratu. Dia memberikan kasih sayang yang nggak pernah gue dapatkan dari orang yang berstatus suami gue. Bahkan orangtua gue pun sekarang gue rasa juga udah nggak sayang lagi sama gue."
"Kenapa Lo ngomong kayak gitu? Mana ada orangtua yang nggak sayang anaknya?"
"Ada!" ujar Mikha dengan cepat. "Buktinya orangtua gue kayak gitu."
"Terus hubungan kalian gimana jadinya?"
Mikha menggelengkan kepalanya. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan meskipun rasanya sedikit hambar di mulutnya. "Gue masih belum tau. Yang jelas, gue harus bisa kumpulkan bukti-bukti buat menuntut cerai dari Gilang."
"Jadi janda, dong?" canda Sena.
"Nggak masalah. Yang penting hidup gue bisa bahagia."
Mikha tak pernah peduli dengan statusnya. Mau jadi janda atau tidak, orang juga banyak yang membicarakan tentang hidupnya.
Yang terpenting baginya adalah dia bisa bahagia dengan caranya sendiri. Dan jika bahagianya dengan melepas status pernikahannya, Mikha rasa itu bukanlah masalah yang besar.
🌹🌹🌹