NOVEL DEWASA
Fase kedua dalam kehidupan percintaan.
Seberapa mampu kita bertahan dan mempertahankan cinta dan rumah tangga?
Bukankah badai pasti berlalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juliana S Hadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kita
Sesuatu.
Hanya itu yang dikatakan Reza waktu itu. Dia akan mengatakan permintaannya itu pada hari ulang tahunnya, bertepatan dengan hari kepulangan kami ke Jakarta. Katanya, begitu kami sudah sampai di rumah, barulah ia akan memberitahuku apa yang harus kuberikan padanya sebagai hadiah ulang tahun untuknya.
"Jangan coba-coba menolak, dan jangan tanyakan lagi. Tunggu saja sampai aku mengatakannya nanti. Oke?"
Eh?
"Tapi, Mas. Aku--"
"Jangan mengecewakan aku."
"Baiklah. Oke."
Singkatnya: mau, tidak mau, harus mau.
Ulang tahun Reza dan ulang tahunku beda tujuh belas hari. Kami sama-sama berbintang Leo. Hanya saja aku lahir di bulan Juli, sedangkan Reza lahir pada bulan Agustus. Plus dia lebih tua empat tahun dariku. Tahun ini adalah ulang tahunnya ke dua puluh sembilan.
Dan saat hari itu tiba, aku berusaha menjadi sosok istri yang sangat penurut untuknya. Dia mengajakku pulang ke Jakarta dengan penerbangan malam. Selepas take off, kedatangan kami langsung disambut oleh Erik. Dia memberikan kunci mobil kepada Reza sekalian membantu Reza menyusun barang-barang kami ke mobil. Setelah itu Reza menutup mataku dan memintaku rileks. Aku tidak tahu dia akan membawaku ke mana.
Sekitar setengah jam kemudian, dia bilang kalau kami sudah sampai. Dia membimbingku keluar, melangkahkan kaki, dan ia pun membuka penutup mataku.
"Kita di mana, Mas? Rumah siapa ini?" tanyaku.
Dia tersenyum. "Rumah ini milikmu. Rumah kita."
"Rumah kita?" Aku bingung sekaligus senang, lebih tepatnya merasa waw karena aku tidak pernah menyangka tentang hal ini. Sebelumnya kukira kami akan pulang ke rumah Ihsan. "Ini sungguhan atau...."
Reza mencium keningku. "Rumah kita, surga kita. Kita akan tinggal di sini," tuturnya. Ia memegangi pundakku dan menggiringku ke pintu. "Mana kuncinya?"
Aku melongo. "Kunci?" tanyaku.
"Ya, kuncinya. Jangan bilang kalau kuncinya tertinggal."
Aku masih tidak mengerti. Keningku mengerut, tapi detik itu juga aku langsung tersadar dan langsung paham. "Oh, kunci yang waktu itu kamu berikan padaku? Ya ampun, kukira itu kunci rumah di Bogor," kataku. Aku pun membuka tasku dengan gemetar, mengambil dompetku dan mengeluarkan kunci itu. "Tolong, kamu saja yang buka."
Reza pun membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk.
Aku tercengang, rumah itu persis desainku, setidaknya hanya sedikit sekali bedanya. Mimpi. Ini pasti mimpi.
"Auwww! Sakit, tahu!" Reza memekik karena kucubit.
Hah!
"Sakit, ya? Berarti aku sedang tidak bermimpi."
Aku langsung nyengir dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Rumah itu terdiri dari tiga lantai plus roof top di lantai empat. Untuk lantai pertama, bayangkan saja ada empat bentuk persegi panjang yang menempel dan disekat-sekat dengan dinding.
Pada persegi pertama -- dihitung dari kanan, bagian paling depan difungsikan sebagai garasi. Sisi kanan dan kirinya berupa dinding beton, sedangkan sisi depan dan belakangnya berupa pintu besi harmonika, sehingga kalau kedua pintunya dibuka -- maka garasi itu akan menghubungkan pekarangan depan dengan kolam renang. Dan di ujung kolam itu ada sebuah ruangan kecil yang berfungsi sebagai panggung band, lengkap dengan alat-alat band-nya.
Lalu pada persegi kedua -- disekat menjadi lima bagian yang sama besar. Bagian pertama merupakan teras depan. Lalu bagian kedua dan ketiga digunakan sebagai kamar tidur. Dan bagian keempat dan kelima difungsikan sebagai ruang makan dan dapur yang hanya disekat dengan meja ala bar.
Selanjutnya pada persegi ketiga -- ruangan pertama difungsikan sebagai ruang tamu, besarnya sama seperti ukuran teras. Ruangan berikutnya merupakan ruang santai sekaligus ruang keluarga, yang sebenarnya hanya berupa ruangan seperti koridor yang menembus langsung ke teras belakang. Di sana ada beberapa sofabed minimalis yang ditaruh menempel di setiap sisi dinding luar kamar, dan lengkap dengan beberapa meja kecil dan sebuah televisi.
Kemudian pada persegi keempat, di sekat pertama ada sebuah ruangan yang difungsikan sebagai musala rumah, lengkap dengan toilet dan tempat berwudu yang disekat dinding kaca yang tidak tembus pandang, seperti toilet di mall-mall besar. Letak musalanya bersebelahan dengan ruang tamu. Pun ukurannya juga sama persis dengan ruang tamu itu. Sekat selanjutnya-- sekat kedua dan ketiga, difungsikan sebagai kamar tidur juga. Dan sekat keempatnya difungsikan sebagai gudang. Ruangan itu berisi lemari-lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang seperti selimut, seprai, sajadah, atau jenis kain-kain lainnya. Pun barang-barang seperti koper, tikar, matras, ambal, dan lain-lain, semua disimpan di sana. Sementara sekat paling ujung difungsikan sebagai tempat basah-basahan, mulai dari toilet hingga tempat cuci-mencuci.
Setelah selesai melihat-lihat lantai pertama, Reza mengajakku naik ke atas, ke lantai dua. Kami naik melalui tangga yang letaknya di depan ruang gudang, di mana pintu gudang dan toilet ada di belakang tangga itu.
Di lantai dua itu ada enam kamar yang posisinya saling berhadapan. Tiga kamar di sisi kanan, tiga kamar lagi di sisi kiri. Sementara di tengah-tengahnya -- antara barisan kamar di sebelah kanan dan barisan kamar di sebelah kiri -- difungsikan sebagai ruang santai dan ruang keluarga juga, yang juga dilengkapi dengan sebuah televisi dan beberapa sofabed minimalis dan meja kecilnya. Dan di luarnya -- ada beranda yang luas, letaknya memanjang, mulai dari atas garasi, teras depan, sampai ke bagian atas ruang tamu dan musala.
Kamar utama -- kamar kami, letaknya paling belakang, persis di atas teras belakang dan di atas dapur. Kami juga memiliki kamar mandi impian yang letaknya persis di atas toilet lantai satu. Juga dilengkapi dengan sebuah beranda pribadi yang letaknya di atas panggung band. Dengan begitu kami bisa terjun bebas dari balkon kamar kami ke kolam renang.
Tapi sebenarnya waktu itu aku tidak bisa langsung melihat kamar kami. "Kita naik dulu ke atas," kata Reza sewaktu aku hendak membuka pintu kamar itu. Aku pun mengiyakan dan kami pun naik ke lantai tiga.
Lantai ketiga itu berupa ruang galeri, luasnya seluas bangunan lantai di bawahnya. Sebuah ruangan segiempat yang dikelilingi tembok beton berhiaskan foto-foto kami berdua, foto pertama kami di Pantai Kenjeran, semua foto-foto prewedding kami, foto kami di Bandung dan di Cianjur, foto-foto pernikahan kami, foto kami dalam balutan tuksedo dan gaun pengantinku, juga foto-foto bulan madu kami. Ruang galeri itu juga berfungsi sebagai home theater dan ruang karaoke. Ada rak-rak buku yang masih kosong dan beberapa etalase kosong juga di sana. Dan dilengkapi juga dengan beberapa sofabed.
Selanjutnya, Reza mengajakku ke roof top. "Kamu mau bercinta di bawah bintang-bintang?" tanyaku.
"Apa?" tanyanya.
"Hadiah yang kamu inginkan?"
"Bukan," katanya seraya menggeleng. "Itu keinginanmu, dan aku sudah pernah memenuhinya. Tapi itu gagasan yang bagus. Kapan-kapan kita akan bercinta di atas sana."
Wew! Kilatan nakal terpancar dari matanya.
"Hmm... lalu apa?"
Dia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, meraih tanganku dan memapahku ke atas. Begitu pintu roof top terbuka, mataku langsung tertuju pada stage yang ada di tengah-tengah roof top itu, ada tiang pole dance, kain-kain yang berjuntai dari atap stage, dan sebuah kursi.
"Aku tahu kamu mengerti maksudku," Reza berkata lirih di telinga, membuatku langsung meremang.
Aku mengangguk. Jelas aku paham, Reza ingin aku menari untuknya.
"Bisa, kan?"
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Rasa-rasanya aku tidak bisa berkutik, cara-cara Reza yang mendramatisir suasana membuatku mematung. Dia melepaskan kancing-kancingku -- satu persatu -- hingga ia berhasil menanggalkan dress-ku. Dia ingin aku menari bak seorang dancer sungguhan -- maksudku seperti dancer yang mengikuti kompetisi menari. Seorang dancer profesional.
Sebentar, aku ragu. "Mas, aku sudah lama tidak melakukan ini. Mungkin--"
"Do your best. Jangan menolak!"
Ya Tuhan... ada-ada saja permintaannya.