NovelToon NovelToon
Sang Pewaris Tersembunyi

Sang Pewaris Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Identitas Tersembunyi / Elf
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Momoy Dandelion

Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Pangeran Nieville

Malam merangkak pelan di atas Acalopsia, menyapu langit luas dengan sapuan ungu tua dan debur bintang yang berkerlip lembut. Awan-awan tipis melayang diam, seolah tak berani mengganggu keheningan langit yang suci. Di antara gugusan bintang itu, pulau melayang berbentuk bintang menggantung di angkasa seperti mimpi yang diikat doa.

Di tengahnya, berdiri sebuah istana yang tidak dibangun oleh tangan biasa, melainkan dilahirkan dari cahaya dan doa. Dinding-dindingnya terbuat dari kristal putih yang menyerap sinar bulan dan memantulkannya kembali sebagai semburat keemasan. Menara-menara tinggi menyerupai kelopak bunga teratai, melengkung anggun ke arah langit seperti sedang berdoa. Lentera suci berkilau di tiap sudut, mengirimkan cahaya yang membuat istana itu tampak bukan sebagai bangunan, melainkan seperti bintang yang memilih tinggal di bumi.

Di salah satu balkon tertinggi, Pangeran Nieville berdiri diam.

Jubah tidurnya yang ringan berkibar pelan diterpa angin malam. Rambut putihnya, seputih sinar purnama, memantulkan cahaya langit dan tampak seperti nyala api yang tenang. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah bulan purnama yang tergantung sempurna di langit, bundar, terang, seolah menatap balik ke arahnya.

Ia menarik napas panjang.

Yang terdengar hanya desir angin dan bisik lembut dedaunan yang melingkari taman di bawah. Damai, nyaris membius.

Lalu, dari balik awan kelabu, terdengar kepakan sayap—panjang, dalam, dan berat.

Sword.

Griffin suci miliknya, salah satu dari tiga yang tersisa di seluruh Acalopsia, muncul dari langit seperti cahaya hidup. Bulunya putih bersinar, seperti dijahit dari kabut pagi dan salju. Matanya biru terang, menatap dengan keheningan yang hanya bisa dimiliki makhluk agung.

Ia melayang memutar, membentuk lingkaran angin di atas balkon, sebelum menukik pelan dan mendarat di ujung tepi.

Nieville mengangkat tangan. Cakar Sword mendarat tanpa suara di batu kristal, lalu makhluk itu menundukkan kepala. Mereka bertemu pandang.

“Masih berjaga, ya?” bisik Nieville seraya mengusap lembut kepala Griffin itu. Jari-jarinya menyusuri bulu-bulu lembut yang hangat, terasa seperti kapas bercahaya.

Sword mengeluarkan suara halus, bukan auman, tapi seperti desir angin musim semi. Nyaris seperti bernyanyi.

Beberapa detik mereka diam—dua makhluk dari dua dunia berbeda, tapi sama-sama dicipta untuk menjaga.

Lalu, dengan satu gerakan besar, sayap Sword mengepak kembali, mengangkat tubuh raksasanya ke udara. Ia terbang tinggi, menembus awan, lalu menghilang seperti bintang yang menutup matanya.

Nieville tersenyum kecil, lalu menunduk. Arah tatapannya melihat ke taman istana di bawah sana. Di antara bayangan pohon yang diterangi lentera, ia melihat Val—pengawal setianya—berjalan sendirian. Sepertinya hendak menuju ke arah menara tempat ia berdiri.

Rambut merah tembaga Val terlihat jelas dari atas. Kilau warnanya mengingatkan Nieville pada sesuatu.

Atau... seseorang.

Gadis itu. Mestiz di Tallava.

Bayangan Sissel muncul di benaknya. Rambutnya merah seperti bara yang nyaris padam. Pakaian lusuhnya, cara ia berjalan dengan pundak sedikit membungkuk, juga... sorot matanya.

Nieville menghela napas. Ia tidak pernah melihat Mestiz lain di luar Val yang dekat dengannya.

Sissel—begitu gadis itu dipanggil oleh Zenithia.

Ia mengingat dengan jelas bagaimana Zenithia turun ke kolam untuk menolongnya. Langkah demi langkah, tanpa ragu. Gaunnya basah, tapi wajahnya tidak menunjukkan ketidaksukaan sedikit pun. Zenithia... selalu tahu bagaimana memperlakukan sesama dengan martabat.

Ia juga mengingat satu hal lain.

Sion.

Nama itu muncul di benaknya seperti desir kecil yang lambat laun menjadi badai dalam kepala. Sosok itu tidak asing, meski Nieville yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

Pemuda berambut hitam. Tatapannya tenang. Gerak tubuhnya teratur. Ia tidak bicara banyak, tapi bahasa tubuhnya berbicara cukup keras. Saat mereka bertarung melawan orc bersama... Nieville memperhatikan cara Sion menggenggam pedang ganda. Gerakannya terlalu rapi untuk seorang pekerja kebun.

Nieville menatap bulan lagi.

Siapa sebenarnya pemuda itu?

Wajahnya, sorot matanya, bahkan bentuk rahangnya seperti… seperti seseorang yang pernah dilihatnya di lukisan-lukisan tua istana. Tapi siapa? Ia mencoba mengingat, tapi bayangannya kabur.

Angin malam berembus lagi. Kali ini lebih dingin, seperti menyampaikan firasat.

Nieville memejamkan mata sejenak. “Sion dari Tallava...” gumamnya. “Aku rasa… kita akan bertemu lagi.”

Pintu kristal berukir daun zaira berderit pelan, membuka ruang hening yang remang.

Val melangkah masuk. Rambut merah tembaganya sedikit basah oleh embun malam, dan mantel kulit cokelatnya masih menyimpan jejak langkah dari taman. Ia menunduk singkat—tanpa formalitas berlebih, seperti biasa.

“Maaf mengganggu, Yang Mulia,” ucapnya.

Nieville mengangguk ringan. “Kau datang tepat waktu.” Suaranya nyaris tenggelam dalam deru malam yang masuk lewat jendela terbuka.

Ia berjalan perlahan masuk kembali ke kamarnya, di mana cahaya lentera biru menggantung tenang dari langit-langit kristal. Lantai marmer putih berkilau diterangi pantulan sinar bulan.

Val menurunkan tudungnya, berdiri di samping pilar kristal. Ia tidak duduk, hanya menunggu.

“Aku sudah mengirimkan hadiah untuk Nona Zenithia,” katanya pelan. “Sesuai permintaanmu.”

Nieville menatapnya sejenak, lalu meraih gelas anggur dari meja, meneguknya perlahan. “Apa yang kau pilihkan?”

“Lukisan dari pelukis Telvarion,” jawab Val. “Burung merak putih di atas hutan bersalju. Bingkainya disepuh perak, seperti yang diminta keluarga Garya.”

Nieville hanya mengangguk, meletakkan gelasnya kembali.

“Sepertinya bagus.”

Nada suaranya datar—terlalu tenang untuk seseorang yang sedang mempersiapkan hadiah bagi tunangannya. Val menyadari itu.

“Kau tidak terdengar senang,” ujarnya hati-hati.

Nieville menghela napas. “Aku... tidak membenci Zenithia. Ia wanita yang baik. Pintar. Lembut. Tapi semua ini... terasa seperti pagar yang dibangun sebelum aku bisa memilih jalan.”

Val tersenyum kecil, setengah getir. “Jadi... kau masih ingin bebas?”

Nieville tertawa pelan. “Menurutmu bagaimana?”

Diam menggantung di antara mereka. Hanya suara lentera yang bergetar lembut oleh angin malam.

Val menatap ke luar jendela sesaat sebelum menjawab, “Kupikir... kau satu-satunya elf yang cukup berani untuk mengakui bahwa kau belum siap menjadi raja.”

Nieville menoleh, mengangkat alis. “Kau tahu kenapa aku bilang begitu?”

“Karena kalau aku yang mengatakannya... aku pasti sudah diusir dari istana,” jawab Val, separuh serius, separuh bercanda.

Nieville tertawa, kali ini lebih lepas. Tapi tawanya tetap menyimpan beban.

“Seandainya aku punya saudara… aku tidak harus menikah hanya demi melanjutkan keturunan. Tidak harus menanggung semua ini sendirian. Tapi tidak ada. Hanya aku. Dan semua mata tertuju padaku sejak aku bisa berjalan.”

Val menatapnya diam-diam. Ia tahu beban itu—bukan dari pengalaman, tapi dari pengamatan. Ia pernah membayangkan seperti apa rasanya jika dirinya diakui sebagai bagian dari garis kerajaan. Tapi itu bukan takdirnya.

“Aku bahkan bukan siapa-siapa di mata mereka,” gumam Val perlahan. “Hanya... Mestiz yang kebetulan diasuh oleh Panglima.”

Nieville menatapnya. “Kau lebih dari itu. Fardaq tidak mengangkatmu karena kasihan. Ia melihat apa yang orang lain tak lihat pada dirimu.”

Val tersenyum tipis. “Ia rela menghadap Yang Mulia Raja Tigris dan berkata akan melepas jabatan jika tak diizinkan membawaku ke istana. Dulu aku pikir itu lelucon. Tapi dia benar-benar mengatakannya.”

“Dan sekarang kau satu-satunya Mestiz yang tinggal di istana,” balas Nieville.

“Yang selalu dijaga agar tidak terlalu mencolok,” tambah Val sambil tertawa pahit.

Keheningan kembali menguasai ruangan.

Setelah beberapa saat, Nieville melontarkan satu pertanyaan, suaranya ringan tapi menohok:

“Kau ingin menggantikanku?”

Val tertegun. “Apa maksudmu?”

“Menikah,” ujar Nieville sambil tersenyum miring. “Kau ingin menggantikanku menikah?”

Val mengerutkan dahi. “Aku rasa... kau ingin aku dipancung besok pagi.”

Nieville tertawa keras. Untuk sejenak, ruangan terasa lebih hidup.

“Pernikahan. Warisan. Takhta,” gumamnya kemudian. “Terkadang aku merasa semua itu hanya permainan papan yang tidak pernah kutahu cara memenangkannya.”

Val berjalan pelan ke arah jendela. Di luar sana, bintang-bintang menggantung diam, dan bulan purnama masih mengawasi Acalopsia dalam cahaya keemasan.

“Kau adalah cahaya dari garis langit,” ujar Val. “Rakyat percaya padamu. Mereka ingin kau melanjutkan perjuangan kaum elf menjaga negeri ini.”

Nieville memejamkan mata. Suaranya kemudian lirih, tapi penuh ketegasan.

“Aku tak mau menjadi pewaris tahta yang hanya duduk manis di singgasana, menunggu mahkota menimpa kepalaku. Sementara di luar sana, para orc masih bernapas dan membunuh tanpa ampun.”

Val menoleh, menatapnya. “Kita lupakan sejenak tentang ini. Bagaimana kalau kita berburu? Mungkin kita bisa menghabisi satu atau dua gerombolan orc?”

Ajakan Val membuat mata Nieville langsung berbinar. Ia terlihat bersemangat. “Persiapkan waktu untuk kita berburu. Cari tempat yang baru! Kita akan pergi ke istana setelah kunjungan ke tempat Bangsawan Fayye.”

1
vj'z tri
ish ish ish rauk kurang jelas brifing nya 🤭🤭🤭 dah tau yang di bawa orc otak nya cuma 1/2 🤣🤣🤣🤣🤣lagian bawa anak orang gak di kasih makan kan jadi lapar 🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
serangan orc tiba tiba ..pasti ada dalang nya ini 😤😡😤😡😤
vj'z tri
kalian salah matahari yang asli masih bersembunyi dia adalah Sion
vj'z tri
pangeran sadar lah akan hati mu sebelum ia pergi dan menghilang 🥹🥹🥹
vj'z tri
semoga Sion di pinjami kitab nya 🤭😁🥳
vj'z tri
naga kah 🤔🤔🤔
vj'z tri
dasar pemuda kurang kerjaan ,😤😤😤😤
vj'z tri
duarrrrr sekarang terbuka sudah biang Lala nya 😱😱😱😤😤😤😤
vj'z tri
pasti ada mata mata 🤔🤔🤔
vj'z tri
iyeee tar lu yang di masak mimbo 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
terpesonaaaaaa aku terpesonaaaaaa memandang memandang wajah mu yang manissss 💃💃💃
vj'z tri
semangat Thor up nya 🥳🥳🥳
vj'z tri
waktu nya belajar pedang semangat Sion 🎉🎉🎉
vj'z tri
ayo Sion beritahu paman mu 😁😁😁
vj'z tri
aura putra mahkota terlihat cuyyyy 🤩🤩🤩🤩 lanjuttt guysss
vj'z tri
pencuri 😤😤😤😤😤😤
vj'z tri
merindukan paman 😁😁😁
vj'z tri
Sion semoga kau kembali dengan selamat ....petualangan di mulai 🎉🎉🎉
vj'z tri
jangan sampai sissel di tuduh mencuri 🤨🤨🤨🤨🤨
vj'z tri
dukun u gak mempan bro 🤣🤣🤣🤣🤣🤣 nieville gak tertarik 🤣🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!