"Aku bukan orang baik buat kamu."
Diputuskan dengan sebuah sms dan dengan alasan superklasik, membuat Andara marah.
Buana Semesta, lelaki yang sudah membagi rasa dengannya selama hampir setahun belakangan tiba-tiba mengiriminya sms itu. Andara sebenarnya sudah tahu kalau peristiwa itu akan terjadi. Dia sudah prediksi kalau Buana akan mencampakkannya, tetapi bukan Andara jika bisa dibuang begitu saja.
Lelaki itu harus tahu siapa sebenarnya Andara Ratrie. Andara akan pastikan lelaki itu menyesal seumur hidup telah berurusan dengannya. Karena Andara akan menjadi mimpi buruk bagi Buana, meskipun cowok itu tidak sedang tertidur.
Banyak cara disusunnya agar Buana menyesal, termasuk pura-pura memiliki pacar baru dan terlihat bahagia.
Tetapi bagaimana jika akhirnya Buana malah terlihat cemburu dan tidak suka dengan pacar barunya?
Juga bagaimana jika Andara bermain hati dengan pacar pura-puranya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadyasiaulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
About Move On
"Move on tidak semudah membalikkan telapak tangan, Kamerad!"
🔥🔥🔥
"Hai, guys. Tebak ini di mana?" tanya Natha dari balik kamera. Cewek itu melambaikan tangan dengan gembira ke udara, mengabaikan tatapan beberapa mata yang melirik ke arahnya. "Gue sekarang ada di ... Green Canyon!"
"Nggak nanya!" balas Andara dan Kin kompak.
Mereka baru saja sampai setelah menempuh perjalanan berlapis-lapis, naik mobil selama sekitar delapan jam dari Jakarta, lalu menyusuri sungai dengan ketinting* selama empat puluh lima menit. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan tetapi sepanjang perjalanan pula Natha tidak berhenti merekam video. Padahal baik Kin atau Andara suka mengganggu dan melemparkan celetukan konyol agar cewek itu tidak sibuk dengan rekamannya saja.
"Woy, jangan ganggu kenapa? Jadi banyak yang mau gue edit nanti!" decak Natha sembari memberengut. Cewek itu lantas beranjak menuju tempat lain yang lebih sepi untuk mengabadikan momennya.
Andara dan Kin akhirnya diam. Kin sendiri mulai menyibukkan diri dengan membidik objek-objek yang indah di sekitar mereka. Sungai di depan mereka berair hijau kebiruan, diapit tebing tinggi di kanan kiri. Andara dapat melihat lumut memenuhi tebing-tebing gagah yang lembap. Suasana terasa sejuk dan jauh dari kebisingan. Di air, ada beberapa orang yang membentuk barisan panjang lewat dengan lincah seakan merelakan diri hanyut ditarik arus hanya bermodalkan jaket pelampung dan helm pelindung. Kelompok itu tampak gembira dengan body rafting, sesekali seruannya terdengar sampai ke tempat Andara.
"Caving, yuk?" ajak Kin dari balik kamera. Mata sipitnya masih sibuk dengan kamera, saat Andara menoleh.
"Lo ngomong sama gue apa sama kamera?!"
"Sama lo-lah, kan lo di samping gue." Kin akhirnya menoleh.
"Kalau ngomong sama orang itu, lihat mukanya."
Kin hanya mencibir, karena tanpa Andara sadari dirinya juga sering seperti itu, berbicara tanpa melihat muka lawan bicara. "Mau nggak?"
"Boleh. Atur aja."
"Natha?"
"Mau itu pasti, buat ngisi Youtube-nya. Lo daftarin aja kita bertiga," ujarnya saat Kin akan beranjak menghampiri seorang pemandu.
"Udah gue daftarin sebenarnya, berempat malah sama Putra. Gue cuma make sure aja," sahut Kin yang makin menjauh.
Tadi malam pukul sepuluh, mereka berangkat bertiga dari rumah Andara. Putra tidak bisa ikut. Kabar itu tentu saja disambut sukacita oleh Andara. Saking sukacitanya dia sampai menawarkan diri untuk bergantian membawa mobil jika Kin lelah. Natha? Nggak usah ditanya, sibuk dengan kamera atau tidur di kursi tengah. Kadang Andara jadi berpikir, apa mungkin Putra tidak ikut karena tahu akan terabaikan? Pacarnya lebih peduli konten daripada sang kekasih. Alih-alih menikmati pemandangan atau suasana, Natha pasti akan merekam apa yang akan dibaginya. Memikirkan itu membuat Andara jadi tersenyum sendiri. Generasi zaman sekarang.
Tidak tahu kapan dan bagaimana bisa, Kin sudah ada di tebing lumayan tinggi sekarang. Cowok itu melompat dari atas batu besar yang ketinggiannya kurang lebih lima meter. Tantangan yang memacu adrenalin itu terlihat disukai Kin. Cowok yang menyembulkan kepala dari sungai itu lantas membiarkan tubuhnya terapung-apung, tersenyum sambil menatap tebing-tebing. Sadar sedang dipandangi, Kin menoleh ke arahnya. "Sini, turun. Ngapain lo di atas melulu?"
Andara melengos sebentar lalu mengulas senyum. "Enakan di atas lah," ujarnya penuh makna.
Tawa Kin terdengar menggema. "Ambigu!"
"Lo yang piktor berarti," dengkusnya sembari menuruni tebing. Sampai di batu yang tidak begitu tinggi, Andara menerjunkan dirinya ke sungai, berenang-renang menikmati sungai yang sangat jernih tersebut. Diikutinya gaya Kin, mengapung sambil memandang langit. Rasanya menyenangkan juga menenangkan. Dia tidak memikirkan apa-apa, selain menikmati sekitar. "Enak ya di sini."
"Makanya kalau refreshing jangan tahunya Splash aja," sambat Kin. Mereka berdua mengapung sembari sesekali menggerakkan tangan supaya tidak ikut terhanyut.
"Ini nih yang namanya pengin ngehujat tapi sadar kalau dosa gue banyak," balas Andara pelan sambil memercikkan air ke arah Kin. Bukannya dia tidak mau pergi ke tempat-tempat seperti ini, tetapi tidak ada temannya yang suka berpetualang. Natha? Cewek itu lebih sibuk dengan segala konten. Rossa diajak turun ke alam? Bisa gatal-gatal nanti badannya.
Merasa tidak terima oleh gangguan Andara, tangan Kin menarik dan menjejalkannya ke dalam sungai. Lantas tertawa-tawa setelah Andara muncul.
"Resek, ya!" balas Andara dengan menyipratkan air secara membabi buta.
"Halo!" panggil Natha dari atas tebing ke arah mereka sembari mengarahkan kamera. "Put your hands up!"
Kin melambai ke udara dan Andara mulai memercikkan air lagi kemudian tertawa sambil menjauh agar tidak dibalas.
"Buat kalian yang belum tahu. Ini gue kasih tahu, yang cowok itu namanya Kin. Pacar barunya sahabat gue yang maha-rebel, Andara. Mesra kan mereka berdua? Kayak Tom dan Jerry," jelas Natha sambil menghadap ke kameranya. "Ayo teruskan keributan kalian. Nitizen menunggu. Gelut, gelut!"
***
Masyarakat awam selalu berpikir jadi artis pasti menyenangkan, dikagumi banyak orang, dikejar-kejar wartawan, memiliki popularitas, juga uang yang banyak. Tidak banyak yang berpikir kerasnya jadi mereka, apalagi aktor atau aktris. Mereka mesti menghafal skrip, dialog dan take scene di jam berapa pun. Mereka harus menjalani peran sesuai dengan keinginan Sutradara apa pun yang sedang terjadi di diri mereka, entah itu marah, kesal, lapar, malas, nggak mood. Itu mengapa artis yang hebat selalu disebut artis profesional.
Sayangnya Andara bukan artis. Meski di awal dia setuju dengan ide Rossa, ada yang memberontak dalam dirinya saat berhadapan dengan Buana. Ternyata bermanis muka itu sangatlah susah dan dia bahkan tidak tahu kata-kata apa yang harus diucapkan ke cowok itu —selain hanya ingin mengumpat saja. Untuk sekadar tersenyum manis dan membalas kecupan Buana saja dia jijik apalagi untuk yang lain. Kalau seperti ini bagaimana caranya untuk menjebak Buana dan membuat kartu tambahan lagi?
Ah, sial! Saat itu, Andara bangun sangat pagi sekali. Setelah dia menolak permintaan cowok itu dan pura-pura tidur kemudian, membiarkan Buana meringis-ringis atas syahwatnya sendiri. Andara sudah berkonsultasi dengan Rossa mengenai hal ini dan jawaban cewek itu dapat ditebak. Rossa menyuruh Andara profesional dalam peran yang dijalankan.
Profesional taik kucing!
Kalau dipikir-pikir, betapa hebatnya seorang wanita tuna susila, ya? Jangan hakimi salahnya dahulu, tetapi coba bayangkan. Wanita tuna susila bisa melayani semua pelanggannya bagaimanapun bentuk sang pelanggan. Ya, kalau dapat yang tampan dan berpenampilan seperti CEO sih beruntung, tapi bayangkan jika pelanggan itu adalah lelaki tua botak, dengan perut membuncit, bau asam dan muka nggak ada manis-manisnya. Bagaimana bisa mereka tetap profesional dan bersikap konsisten? Beda sekali dengan Andara, semenjak diputuskan Buana, dia selalu terpancing amarah saat melihat cowok itu. Darah-darahnya memanas antara kepengin menendang sambil menyumpahi atau menonjok muka cowok itu, yang jelas melakukan tindakan vandalisme-lah. Dengan kebencian yang tebal sekali bagaimana bisa Andara harus melakukan yang lain-lain —pakai tanda kutip— dengan Buana?
Benar-benar amatir!
Andara menjambak rambutnya dengan kedua tangan, memandang ke depan dengan tatapan kosong. Di sana, ombak-ombak Pantai Batu Karas tidak terlihat namun terdengar berderu, menentang malam.
"Belum tidur?" Kin menghampiri dan duduk di sampingnya. Cowok itu membawa dua cangkir kertas berisi kopi dan memberikan satu kepadanya. "Natha mana?"
"Tepar." Andara menerima cangkir dari Kin. Seharusnya setelah kemarin menempuh perjalanan panjang dan seharian bermain air juga menyusuri gua, dia akan merasa lelah seperti Natha dan langsung tertidur ketika menyentuh bantal, tetapi kenyataannya Andara tidak bisa tidur. Pikirannya terasa penuh. "Ada rokok nggak?"
Kin merogoh kantong dan mengeluarkan kotak, mengambil sebatang sambil menyalakan untuk dirinya sendiri kemudian menyerahkan kotak itu ke Andara. Mata cowok itu menatap sekitar. Mereka ada di lantai 2 hotel, di sebelah kolam renang. Letak hotel tersebut berhadapan langsung dengan Pantai Batu Karas, pantai di Pangandaran yang ombaknya tinggi dan sering digunakan untuk berselancar. Suasana sekitar kolam renang tidak ramai, hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi kayu yang ada untuk menikmati malam, ditemani lampu kekuningan yang redup. Andara sendiri memilih diam sambil merokok dan menyeruput kopi.
"Mikirin apa?" tanya Kin setelah lama mereka diam memandang ke arah pantai yang bahkan tidak terlihat apa pun karena gelap.
"Mikirin kemungkinan kalau seandainya Cultuurstelsel nggak pernah ada di Indonesia. Mungkin sampai sekarang nggak ada budaya ngopi dan ngeteh di sini," jawabnya asal.
"Halah, gaya lo." Kin mengembus asap rokoknya. "Ada gitu mikirin Cultuurstelsel sambil jambak rambut? Memangnya lo siapa? Van Den Bosch yang lagi diserang gagasan Politik Etis?"
Seketika Andara menelan ludahnya. Dia pasti lupa kalau sedang berbicara dengan Kin. Dengan kembali diam, dia isap pelan-pelan rokok putihnya. Terserah Kin saja mau menebaknya apa, yang jelas dirinya memang sedang memikirkan apa yang harus diperbuatnya jika bertemu Buana lagi.
"Palingan mikirin Buana." Tanpa melihat ke arahnya, Kin menyahut lagi.
"Tolong ya, tolong. Nggak usah ngajak ngeghibah malam-malam."
Kin tersungging menahan tawa. "Walaupun mata gue sipit, gue bisa lihat. Kelihatan kali, Ra. Jangankan mata sipit ini, mata kaki gue juga bisa ngelihat."
"Nggak sekalian lo bilang mata batin?"
Tawa Kin melebar, kekehannya bahkan mengalahkan suara ombak. "Emosian aja nih bawaan warga."
"Lo kalau ngeselin jangan komplet-komplet amat, pengin nyekek aja gue jadinya."
Dengan tidak berhenti tertawa, Kin menghadap ke arahnya. "Kenapa kalau ngebahas Buana bawaan lo nyolot aja? Segitunya nggak bisa move on. Ra, move on itu bisa asal niat. Jadi pilihan lo adalah belum mau move on atau berencana move on. Dua hal yang beda itu."
"Mav an, move on, mav an, move on. Move on nggak segampang itu, Kamerad." Andara meraih sebatang rokok lagi setelah rokok pertamanya habis. Orang lain selalu menyarankan move on kepada mereka yang baru saja patah hati, seolah move on itu semudah membalikkan telapak tangan. Mereka mungkin lupa kalau move on dengan pelarian itu berbeda, terlalu mudah berpindah hati menandakan bahwa rasa yang ada selama ini hanyalah main-main belaka. Masalahnya kan Andara ini tidak main-main saat berhubungan dengan Buana. "You'll never understand 'till it happens to you."
Kin berdiri dan menyandarkan tubuhnya di dinding setinggi pinggang. Cowok itu bersedekap sambil menerawang seolah sedang dibebani masalah berat. Andara jadi ingin tertawa, kenapa Kin jadi terlihat ikut susah ya? "Ya, memang sih gue nggak pernah di posisi lo, tapi menurut gue move on itu tergantung niat."
"Yang bilang gue nggak mau move on siapa, sih? Gue bakal move on, kali." Ditatapnya Kin dengan pandangan tegas, memastikan bahwa kalimatnya kali ini tidak main-main. Tentu saja Andara mau move on, hanya saja ada yang perlu dikerjakan sedikit sebelum move on. "Besok sore, kalau nggak hujan," tambahnya mulai tersenyum.
Kin kembali mendorong kepalanya sebagai reaksi atas jawaban Andara. "Lo kerjaannya dorong kepala aja!" protes Andara sembari memukul lengan Kin.
Cowok itu meringis. "Namanya gue manusia, kalau dorong lo ke neraka itu tugasnya setan."
"Ih, Kin udah bisa lucu sekarang. Jadi gemas, pengin pelihara satu."
Tahu kalau Andara akan menepis dorongan di kepala, Kin lalu mencubit pipi tirus cewek itu. "Lo pikir gue anak kucing?!"
Andara mulai tertawa. Dia lalu bercerita tentang beberapa anak kucing di sekitar rumah yang sering bertamu di teras. Karena kasihan, Andara dan Natha menyiapkan makanan kucing instan di depan teras setiap pagi dan sore.
"Kucing lo sayangin, hati sendiri enggak," timpal Kin atas ceritanya. Andara membalas dengan meninju-ninju lengan Kin, sementara cowok itu berkelit. "Gue tahu sekarang kenapa lo diputusin Buana!" Bola mata Kin yang kecil itu membulat. Ucapannya benar-benar serius. "Pasti itu anak nyerah karena selalu lo jadiin samsak. Retak tempurung kepalanya mungkin."
"Biarin. Gue pecahin kepalanya sekalian!"
"Sadis! Berapa lama lo pacaran sama dia? Ada satu tahun?" Andara mengangguk atas pertanyaan Kin. "Kasihan amat anak orang satu tahun dijajah lo."
Kin kembali berkelit dari serangan Andara, sampai akhirnya cowok itu pasrah juga untuk dijambak. Napasnya ngos-ngosan, berusaha menarik napas di antara tawa. Andara juga ikut tertawa, ulah Kin yang selalu saja mengganggu malah jadi hiburan lain. "Lo kenapa bisa kepikiran ke sini, sih?" tanyanya. Kin bisa saja memilih destinasi liburan yang lebih menarik, sekadar ke Bali, ke Krabi atau ke Maldives mudah saja untuk dia.
"Percaya nggak kalau gue itu menilai cewek dari selera musiknya dan sepatu yang dipakainya?" Muka Kin berubah jadi serius, tidak ada segaris tawa pun di sana.
"Absurd!" tandas Andara. Setiap orang memang punya tolok ukur dari menilai seseorang. Itu sah-sah saja dan tidak salah, tetapi baru ini Andara mendengar ada cowok yang menilai seorang cewek dari selera musik dan sepatu. Biasanya, cowok akan menilai cewek dari muka, kecantikan fisik atau paling tidak, apakah si cewek nyambung saat berkomunikasi. "Terus hubungan selera musik dan sepatu sama Green Canyon, apa ya?"
Tanpa menjawab, Kin malah bertanya balik. "Gue tanya, deh. Lo happy, nggak?"
Meski agak ragu, Andara mengiakan juga. "Happy, sih."
"That's the point," pungkas Kin tanpa menjelaskan lagi. Menutup obrolan dengan cengiran dan meminta Andara kembali ke kamar karena mereka besok pagi akan kembali ke Jakarta.
Cowok itu melenggang kangkung ke kamarnya tanpa dosa sedangkan benak Andara semakin penuh dengan pertanyaan yang tidak dimengerti.
🔥🔥🔥
*Ketinting adalah sejenis perahu kayu modern.
keep on writing yaaa.. pasti bisa jadi one of the best Indonesian author deh, yaqiinn.. thank you for sharing this roller coaster story of Andara, Buana dan Kin :)