Apa yang terjadi jika lelaki yang menjadi calon suami melarikan diri bersama sahabatmu sendiri tepat di hari pernikahan ?
Setelah terlambat satu setengah jam dari jadwal akad nikah, akhirnya seseorang menjemput Sabina dari kamar hotelnya untuk menemui lelaki yang baru saja membacakan ijab kabulnya.
Sabina terkejut luar biasa ketika yang berada disana bukanlah Andre yang menjadi kekasihnya selama ini. Melainkan Gibran yang merupakan sahabat dari calon suaminya dan juga kekasih Amanda sahabatnya. Bahkan Minggu lalu Sabina membantu Gibran untuk memilihkan cincin yang akan digunakan Gibran untuk melamar Amanda.
Tapi sekarang cincin pilihannya itu melingkar indah di jari manisnya sendiri, tak ada nama Gibran dalam lingkarannya. Mungkin memang sudah takdir ia terikat dengan lelaki yang tidak mencintainya.
Bagaimana nasib pernikahan yang tak diinginkan keduanya ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MeeGorjes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memperhatikan
Happy reading ❤️
Kini hati Gibran terasa lega. Sabina mau bertemu dengan ibunya. Meskipun Gibran merasa resah tapi ia yakin Sabina bisa menyesuaikan diri dengan ibunya nanti.
Ini malam kedua ia tidur sendiri di kamarnya, di seberang sana Sabina pun terbaring sendirian.
"Ah bagaimana jika ibu tahu kami tidur terpisah dan pernikahan ini hanya pura-pura ?" Gibran kembali mendudukkan tubuhnya karena merasa cemas.
Gibran sangat tahu bagaimana sifat ibunya itu, bila menyangkut hubungan dengan Tuhan ia akan lebih tegas lagi. Dan pernikahan ini, meskipun bukan keinginan ia dan Sabina tapi tetap sah dimata Tuhan. Gibran juga yakin jika ibunya tahu ia takkan suka bila anaknya mempermainkan sebuah pernikahan.
Ibunya mendidik Gibran untuk tidak menyakiti hati wanita yang menjadi istrinya nanti. ibunya tak mau Gibran berperilaku seperti ayahnya yang meninggalkan mereka begitu saja.
Gibran pun kembali teringat. Di hari ia menikahi Sabina, ingin rasanya Gibran melarikan diri karena ia tak mencintai Sabina dan tak mungkin bisa hidup bersama tapi ia ingat bagaimana pesan ibunya yang membuat Gibran mengurungkan niatnya untuk pergi dan ternyata hidup bersama Sabina tak seburuk yang ia pikir. malah Gibran merasa nyaman berada di dekatnya.
"Sabina memang teman yang baik, sahabat yang luar biasa. Tentu saja akan mudah menerima kehadirannya." Gumam Gibran seraya kembali membaringkan tubuhnya. Sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Gibran terlelap dalam tidurnya.
***
"Selamat pagi," ucap Sabina ketika Gibran mulai membuka matanya.
"Sudah pukul 5, ayo bangun. Aku turun ya mau siapin sarapan." Lanjutnya lagi, dan Gibran menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
Sabina sudah duduk di ruang makan ketika Gibran datang untuk menikmati sarapannya. Setiap pagi mereka akan menikmati sarapan bersama namun sekarang ditambah dengan Sabina mengantarkan Gibran hingga pintu sebelum suaminya itu pergi untuk bekerja.
"Bina, hari ini aku akan menghubungi ibu agar ia datang kemari," ucap Gibran sebelum mereka berpisah.
"Iya, kapan ibu mau datang ? biar nanti aku jemput ke bandara," jawab Sabina.
"Kamu ke bandara sama siapa nanti ?"
"Sama Pak Anwar supirnya ayah."
Dapat Sabina lihat raut wajah Gibran berubah dingin, "apa Gibran merasa khawatir ?" Tanya Sabina dalam hatinya.
"Jangan khawatir, pak Anwar adalah supir kepercayaan ayah. Ia yang selalu mengantarkan aku kalau Andre gak ada." Jawab Sabina tanpa ia sadar telah menyebutkan satu nama yang kini menjadi tabu untuk diucapkan.
"Oh... Syukurlah kalau begitu. Nanti aku kabari lagi." Jawab Gibran yang kemudian berlalu. Tanpa Sabina ketahui Gibran merasa kesal ketika nama Andre disebutkan. Gibran masih merasa sakit hati karena wanita yang paling ia cintai telah direbut temannya itu.
Seperti yang Gibran lakukan di hari sebelumnya, ia melihat pantulan Sabina di kaca spionnya. Gadis itu melambaikan tangan dan Gibran tersenyum melihat itu. Entah mengapa hal sederhana itu menghangatkan hatinya.
Gibran pun tiba di rumah sakit dan seperti yang ia alami kemarin, kini semua memperlakukan Gibran penuh hormat. Ia pun merasa terheran karena hal seperti ini belum pernah terjadi.
Gibran segera memasuki ruangan praktiknya namun sebelum memulai pekerjaan, Gibran terlebih dulu mengirimkan pesan untuk ibunya.
***
Andre terbangun dengan panik, sinar matahari yang terang sudah memasuki celah kamar tidurnya.
"Manda, bangun ! Aku kesiangan. Mana ada meeting penting. Manda bangun !! Tolong siapkan segala keperluan aku !" Ucap Andre sembari mengguncangkan tubuh Amanda dengan kencang agar kekasihnya itu terbangun. Setelah itu Andre pun segera melarikan diri ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dengan malasnya Amanda terbangun sembari berdecak sebal. Ia pun berjalan menuju dapur dan mendapatkan wanita yang kemarin bertugas membersihkan apartemen berada di sana.
"Buatin sarapan 2 !!" Titah Amanda dengan nada meninggi dan pergi begitu saja tanpa mendengarkan pertanyaan wanita itu.
Amanda kembali ke kamar dan menyiapkan pakaian untuk Andre kenakan di hari ini. Tepat setelah menyelesaikan itu Andre pun keluar dari kamar mandi dan segera bersiap.
Amanda memasang wajah manisnya dan membantu kekasihnya itu untuk bersiap.
"Setelah ini sarapan dulu ya, aku sudah menyiapkannya untukmu," ucap Amanda lembut sembari memasangkan dasi.
"Hmm, iya. Terimakasih."
"Kamu yang menyiapkan semua ?" Tanya Andre ketika mereka telah duduk berdua di meja makan.
"Tentu saja, apapun akan kulakukan untukmu." Jawab Amanda yang disambut senyuman di wajah Andre.
"Sayang terimakasih mobilnya... Tapi hari ini aku akan mulai mencari keberadaan ibuku yang tentunya...," Amanda menghentikan ucapannya sembari memasang wajah sendu.
"Kenapa ?" Tanya Andre.
Amanda menggelengkan kepalanya seolah tak mau berkata lebih jauh lagi
"Katakan padaku, Sayang. Ada apa ? Apa yang harus aku lakukan ?" Tanya Andre lagi
"Gotcha !" ( Kena kamu ) batin Amanda dalam hatinya sembari tertawa.
"Sebenarnya aku malu, tapi kan pergi mencari ibu pasti memerlukan biaya." Jawab Amanda masih dengan wajah memelasnya.
Andre mengerti apa yang Amanda inginkan. Ia pun segera mengeluarkan sebuah kartu kredit dari dalam dompetnya.
"Ini." Andre menyodorkan kartu itu diatas meja makan.
"Kartu ini unlimited, tapi kumohon bijaklah dalam menggunakannya. Seperti yang aku ceritakan kemarin, aku dalam masa sulit sekarang." Jelas Andre.
"Iya tentu saja, Sayang. Si cacat Sabina dan keluarganya emang kurang ajar bikin kamu susah sampai begini." Amanda terbakar emosi.
"Tapi kita juga bersalah bukan ? Kita yang menyakiti mereka lebih dulu."
"Si cacat yang sok baik itu hanya tak bisa terima kalau kamu lebih cinta aku daripada dia. Padahal dia gak sebaik itu Andre. Lihat bagaimana liciknya dia mempengaruhi ayahnya untuk menghancurkanmu dan merayu Gibran untuk menikahinya." Geram Amanda dengan suara meninggi.
"Gibranku... Gibranku... Jadi miliknya," lirih Amanda hampir tak terdengar.
"Sudahlah Manda, aku harus pergi. Kamu baik-baik ya... Semoga ibumu segera diketemukan." Andre pun meninggalkan Amanda yang kini termenung di atas meja makan.
Andre segera mengambil tas kantornya dan kemudian pergi.
Sesampainya di kantor, Andre kembali berkutat dengan segala kesulitan yang masih ia hadapi. Ada satu hal yang aneh, Andre yakin keluarganya sudah tau ia ada di Jakarta namun tak seorangpun dari mereka yang datang menemuinya.
Andre pun tenggelam dalam lamunannya.
Dendi sang asisten datang menemui Andre yang masih asik dengan pikirannya sendiri. Butuh waktu beberapa saat bagi Andre untuk menyadari kehadiran asistennya itu.
"Pak," Dendi kembali mencoba menyadarkan Andre.
"Ah sorry, kenapa ?" Tanya Andre.
"Ada supplier bahan baku lain yang bersedia bekerja sama namun mereka memberikan harga yang lebih tinggi dari supplier sebelumnya." Jelas Dendi.
"Ya udah terima aja." Jawab Andre dengan mata berbinar.
"Masalahnya dana yang kita miliki tidak cukup dan kita belum menemukan investor pengganti Mulia Groups."
Andre menyandarkan tubuhnya pada kursi dan berpikir untuk sejenak.
"Bagaimana jika mengajukan pinjaman pada pihak bank?" Tanya Andre.
"Dana yang dibutuhkan cukup besar Pak, jaminan yang diberikan pada pihak bank pun harus yang memadai," jelas Dendi.
"Untuk sementara kita bisa menjaminkan rumah kedua orangtuaku," jawab Andre sembari menelan salivanya. Meskipun ia akan semakin dibenci tapi inilah jalan satu-satunya agar bisa mendapatkan dana dalam waktu cepat dan untungnya Andre tahu dimana surat-surat berharga orangtuanya itu disimpan.
***
Tepat pukul 11 siang Gibran keluar dari ruangannya, seperti kemarin prakteknya hari ini masih di banjiri pasien. Meskipun lelah namun Gibran harus segera pergi ke tempat praktek pribadinya.
"Gibran," seseorang menepuk pundak Gibran dan menghentikan langkahnya.
Gibran pun menoleh dan ternyata ayah Sabina yang melakukan itu.
"Bapak, eh Ayah." Ucap Gibran yang masih merasa canggung dan ia pun menyalami bapak mertuanya itu.
Ayah Sabina tidak sendirian, ia ditemani beberapa petinggi rumah sakit.
"Ah ini perkenalkan menantuku." Ucap ayah Sabina pada para petinggi rumah sakit itu.
"Mulai sekarang bila ada keperluan atau ada pertemuan penting, maka anakku ini akan mewakili aku," lanjut ayah Sabina sembari menepuk bahu menantunya itu. Sontak membuat Gibran terkejut tapi tidak dengan beberapa orang yang berada disana. Mereka menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Masih dengan keterkejutan Gibran, mereka meneruskan obrolan hingga akhirnya ayah Sabina undur diri untuk pergi yang kemudian diikuti oleh Gibran.
"Pak, tunggu saya tidak mengerti."
"Apanya ?" Tanya ayah Sabina.
"Saya menjadi wakil anda?"
"Seperti janji saya Gibran, sebagian dari rumah sakit ini sudah saya ganti atas namamu. Jadi kamu bisa mewakili saya di rumah sakit ini."
"Tapi..." Gibran mulai ingin memprotes ketidaksetujuannya.
Tahu Gibran akan menolak, ayah Sabina pun memilih pergi meninggalkan sang menantu.
"Ayah harus pergi, masih banyak yang harus ayah lakukan. Sampai ketemu lagi." Ucap ayah Sabina yang kemudian meninggalkan Gibran sendirian.
Gibran pun berdiri sendiri masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sungguh ia tak setuju dengan apa yang ayah Sabina lakukan. Ia membantu Sabina tanpa pamrih. Malah ia sadar mungkin Sabina lah yang lebih banyak membantu dalam melalui masa sulit ini.
Gibran kembali teringat harus segera pergi, ia pun berjalan dengan tergesa ke tempat mobilnya terparkir. Ponselnya berbunyi tepat sebelum ia memasuki mobil. Gibran pun merogoh saku celananya dan mengambil benda pipih itu.
Ternyata disana tertera pesan dari ibunya yang mengabarkan bahwa ia menunda kedatangannya ke Jakarta karena ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dulu. Masih dengan berdiri di samping pintu mobilnya Gibran membalas pesan itu.
Gibran menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, entah kenapa ia merasa diperhatikan oleh seseorang.
Dan memang itulah yang terjadi, seorang wanita cantik yang kini duduk dibalik setir mobil mewahnya memperhatikan gerak-gerik Gibran dari balik kacamata hitam yang ia kenakan.
"Gibran... Gibranku... Akhirnya aku bisa melihatmu lagi," lirih wanita itu seraya menitikkan air matanya.
berzhembenk...
thank you for reading ❤️
Andre g smp sentuhan fisik intim lho sm Bina
buat pengetahuan untuk diri sendiri banyak pelajaran dalam cerita ini..
tQ Thor idea yang bernas..semoga sentiasa sihat selalu.. tetap menyokong selalu sukses selalu ya Thor..
sebelah aku jg udah bc semua, aku tunggu karya terbarumu thor, semangat berkarya