NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tarian di Antara Bara

Musik itu bagaikan racun manis yang merayap masuk melalui ujung jari Rian, menjalar ke lengan, lalu membajak sistem saraf pusatnya.

Rian bisa melihat tangan-tangannya sendiri menari di atas tuts piano hitam-putih itu dengan kecepatan yang mustahil. Itu bukan tangannya. Otot-ototnya bergerak sendiri, dikendalikan oleh memori otot orang mati. Setiap nada yang ditekan mengirimkan sengatan rasa sakit yang tajam ke dadanya, seolah-olah setiap ketukan piano sedang memalu paku ke jantungnya.

"Legato... lebih lembut..." bisik sosok Adrian yang berdiri membungkuk di belakangnya.

Hawa dingin dari tubuh makhluk itu membekukan keringat di tengkuk Rian. Tangan Adrian yang panjang dan hitam terdiri dari asap pekat dan daging busuk bertengger di bahu Rian. Rasanya berat, seperti memikul batu nisan.

Rian ingin berteriak, ingin berhenti, tapi mulutnya terkunci rapat. Matanya hanya bisa menatap partitur di depannya. Not-not balok itu seakan hidup, menggeliat seperti cacing hitam di atas kertas tua, memaksanya untuk terus bermain.

Sementara itu, tiga meter di belakang punggung Adrian, tiga sosok manusia sedang merayap di atas karpet tebal.

Elara memimpin. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut suaranya akan menyaingi denting piano. Sarah di belakangnya memegang korek api yang sudah dibuka tutupnya, siap memantik api. Bobi di posisi paling belakang, mencengkeram tongkat besi perapian dengan tangan berkeringat.

Mereka berlindung di balik bayangan sofa besar dan kursi-kursi yang ditutupi kain. Cahaya lilin hijau di atas piano menciptakan area terang di sekitar Rian, membuat area lain menjadi remang-remang yang menguntungkan.

"Dikit lagi..." desis Sarah tanpa suara.

Jarak mereka ke piano tinggal dua meter. Namun, untuk mengambil partitur itu, seseorang harus berdiri, menjangkau melewati bahu Rian (dan bahu monster itu), menyambar kertasnya, lalu lari ke perapian yang menyala di sisi kiri ruangan.

Masalahnya, Adrian berdiri tepat di jalur itu.

Rian, yang matanya terpaku ke depan, menangkap gerakan samar dari sudut matanya. Dia melihat pantulan Elara di bodi piano yang mengkilap.

Jangan sekarang, El, batin Rian panik. Dia sedang waspada.

Tempo musik semakin cepat. Bagian Allegro yang gila dimulai. Jari-jari Rian menghantam tuts dengan agresif.

TENG! TENG! TENG!

Hentakan keras itu membuat Adrian mendongak sedikit, menikmati kekerasan musiknya. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar, seolah sedang memimpin orkestra gaib.

"Rasakan amarahnya! Rasakan keputusasaannya!" raung Adrian, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Ini kesempatannya. Saat monster itu sedang ekstase.

Rian mencoba memberi kode. Dia sengaja menekan satu nada yang salah.

TRENG!

Bunyi sumbang itu merusak harmoni sempurna lagu. Adrian tersentak kaget, menunduk menatap tangan Rian dengan marah.

"JANGAN RUSAK LAGUKU!" bentak Adrian, tangannya mencengkeram bahu Rian hingga Rian meringis kesakitan. Tulang selangkanya terasa mau remuk.

"SEKARANG!" teriak Elara.

Elara tidak mengendap-endap lagi. Dia melompat keluar dari persembunyiannya, berlari menerjang ke arah piano.

Adrian menoleh. Lehernya berputar seratus delapan puluh derajat dengan bunyi tulang patah yang mengerikan. Mata merahnya menyala menatap Elara.

"PENCURI!"

Satu tangan hitam Adrian melesat memanjang seperti karet, hendak menampar tubuh Elara hingga terpental.

Tapi Bobi lebih cepat.

"MAKAN NIH, SETAN!" teriak Bobi.

Dengan ayunan home run sekuat tenaga, Bobi menghantamkan tongkat besi perapian itu ke lengan Adrian yang terulur.

BUK!

Besi dingin bertemu dengan energi jahat. Terdengar suara mendesis seperti daging yang terkena setrika panas. Adrian meraung kesakitan, menarik tangannya kembali. Ternyata besi itu—mungkin karena sudah tua dan menjadi bagian dari villa ini—bisa melukai wujud fisiknya.

"Ambil kertasnya, El!" jerit Sarah yang sudah berlari menuju perapian untuk membesarkan api dengan melempar kayu tambahan.

Elara melompat ke atas bangku piano, tepat di samping Rian yang masih berjuang melawan kelumpuhan tangannya. Tangan Elara menyambar partitur musik tua itu.

Kertas itu terasa panas, seolah dialiri listrik.

"Rian, bangun!" teriak Elara setelah kertas itu ada di tangannya.

Rian terengah-engah. Begitu partitur itu lepas dari music stand, mantra yang mengikat ototnya putus. Dia langsung menjatuhkan diri ke lantai, menjauh dari jangkauan Adrian.

"KEMBALIKAN!"

Adrian tidak lagi berbentuk manusia. Tubuhnya meledak menjadi gumpalan asap hitam pekat dengan puluhan tangan yang menjulur-julur. Dia mengabaikan Rian dan Bobi, fokus sepenuhnya pada Elara yang memegang "nyawa"-nya.

Elara melompat turun dari bangku piano dan berlari sekencang-kencangnya menuju perapian.

Jaraknya hanya lima meter. Tapi lantai kayu di bawah kaki Elara tiba-tiba bergelombang. Papannya mencuat naik, mencoba menjegal kakinya.

Elara tersandung, jatuh tersungkur. Partitur itu terlepas dari tangannya, meluncur di lantai beberapa jengkal ke depan.

"Sarah! Bakar!" teriak Elara putus asa.

Sarah, yang sudah berdiri di depan perapian, melihat kertas itu meluncur ke arahnya. Dia menyambarnya.

Tapi sebelum Sarah sempat melempar kertas itu ke api, hembusan angin dingin yang sangat kuat—seperti ledakan—keluar dari perapian.

WUSH!

Api di perapian padam seketika.

Kayu-kayu yang tadi membara kini menjadi hitam dan dingin dalam sekejap mata. Asap hitam mengepul keluar, membentuk dinding tebal yang menghalangi akses ke perapian.

Sarah terbatuk-batuk, mundur menjauh sambil mendekap kertas itu di dadanya. Korek api di tangannya mati tertiup angin.

"Apinya mati!" teriak Sarah panik.

Adrian tertawa. Tawa yang membuat kaca-kaca jendela villa bergetar.

"Kalian pikir api biasa bisa menghancurkan karya abadi?"

Gumpalan hitam Adrian melayang mendekati Sarah. Bobi mencoba memukulnya lagi dengan tongkat besi, tapi kali ini Adrian siap. Satu kibasan tangan bayangan, dan Bobi terpental terbang menabrak dinding, jatuh pingsan.

"Bobi!" seru Rian.

Rian memungut kursi kayu yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah Adrian. Kursi itu hancur berkeping-keping di udara sebelum menyentuh monster itu.

Adrian kini berdiri menjulang di hadapan Sarah yang terpojok di dinding dekat perapian mati. Elara merangkak bangun, kakinya sakit karena tersandung tadi.

"Jangan sakiti dia!" teriak Elara.

Adrian menoleh ke Elara.

"Kau..." desisnya. "Kau yang mirip Elena... Kau yang harus menyelesaikannya."

Kekuatan tak kasat mata mengangkat tubuh Sarah ke udara. Sarah meronta, kakinya menendang-nendang, lehernya dicekik oleh tangan hantu. Kertas partitur itu jatuh dari tangan Sarah.

Kertas itu melayang pelan, kembali ke arah piano, dan mendarat rapi di tempatnya semula.

Adrian menjatuhkan Sarah dengan kasar ke lantai. Gadis itu terbatuk-batuk, memegangi lehernya, terengah-engah mencari udara.

"Duduk," perintah Adrian pada Elara. "Atau temanmu mati."

Tangan bayangan Adrian mencengkeram leher Sarah lagi, kali ini kukunya menancap. Sarah menjerit tertahan.

Rian mencoba bangkit, tapi kakinya dipukul oleh papan lantai yang mencuat sendiri. Tulang keringnya serasa retak.

Elara berdiri gemetar. Dia menatap Sarah yang kesakitan, menatap Bobi yang pingsan, dan Rian yang terluka.

Dia tidak punya pilihan.

"Lepaskan dia," kata Elara dingin. "Aku akan mainkan."

Adrian menyeringai. "Gadis pintar."

Cengkeraman di leher Sarah melonggar, tapi bayangan tangan itu tetap melayang di dekatnya, siap membunuh kapan saja.

Elara berjalan perlahan menuju piano. Langkahnya gontai. Dia duduk di bangku yang masih hangat bekas tubuh Rian.

Dia menatap tuts piano itu. Elara bisa bermain piano—sedikit. Pelajaran masa kecil yang sudah lama dia lupakan. Tapi dia tahu, begitu dia menyentuh tuts ini, bukan kemampuannya yang akan bermain, melainkan kutukan itu.

"Mulai dari Coda," perintah Adrian, berdiri di samping piano, mengawasi dengan lapar. "Bagian terakhir. Bagian kematian."

Elara mengangkat tangannya. Air mata menetes jatuh ke atas tuts putih.

Dia melirik Rian. Rian menatapnya dengan pandangan 'Jangan lakukan'. Tapi Elara menggeleng lemah. Dia harus menyelamatkan mereka.

Jari Elara menekan tuts.

Musik mulai mengalun lagi. Sendu. Menyakitkan.

Tapi saat Elara bermain, dia tidak membiarkan pikirannya kosong. Dia memikirkan Elena. Dia memikirkan mayat wanita di loteng yang kedinginan dan kesepian. Dia memanggil rasa sakit itu, bukan rasa sakit Adrian, tapi rasa sakit Elena.

Dan tiba-tiba, nada yang keluar dari piano itu berubah.

Bukan nada marah dan agresif yang diinginkan Adrian. Melainkan nada lembut, melankolis, dan penuh pengampunan.

Adrian tersentak. "Apa ini?! Ini bukan laguku!"

Elara tidak berhenti. Tangannya bergerak sendiri, tapi kali ini bukan dikendalikan Adrian.

Ada tangan lain yang dingin dan halus menumpuk di atas tangan Elara. Tangan transparan.

Arwah Elena muncul duduk di samping Elara di bangku piano itu. Dia ikut bermain. Duet antara yang hidup dan yang mati.

"Hentikan!" raung Adrian. Tubuh asapnya bergejolak, kesakitan mendengar nada yang penuh cinta dan kesedihan itu, bukan kebencian.

"Rian!" teriak Elara di sela-sela permainannya. "Bakar kertasnya sekarang! Dia lemah!"

Musik yang dimainkan Elara dan Elena melemahkan Adrian. Tubuh monster itu menyusut, asapnya memudar. Dia meraung-raung menutup telinganya, tidak bisa menyerang.

Rian melihat kesempatan itu. Dia menyeret kakinya yang sakit, menyambar korek api Sarah yang jatuh di lantai.

Perapian mati. Tapi lilin hijau di atas piano masih menyala.

Rian menerjang ke arah piano, bukan untuk memukul Adrian, tapi untuk menyambar partitur itu sekali lagi.

Kali ini Adrian terlalu lemah untuk mencegahnya.

Rian menyambar kertas itu, meremasnya, dan langsung menyulutnya dengan api dari lilin hijau yang ada di atas piano.

Kertas tua itu kering kerontang. Api langsung menyambar besar.

WUUUSH!

Api itu bukan kuning, tapi biru menyala.

Adrian menjerit. Jeritan panjang yang memecahkan semua kaca jendela yang tersisa di villa itu.

"TIDAAAAK!"

Tubuh Adrian terbakar dari dalam. Dia menggelepar, mencoba memadamkan api yang tidak nyata di tubuhnya.

Sementara itu, kertas di tangan Rian terbakar habis menjadi abu.

Begitu abu terakhir jatuh ke lantai, piano itu berdentum keras satu kali—nada terakhir yang sangat rendah dan final—lalu tuts-tutsnya meledak berantakan.

Elara terlempar ke belakang, ditangkap oleh tangan Rian yang sigap.

Hening.

Monster itu lenyap. Asap hitam menghilang.

Cahaya lilin hijau padam, digantikan oleh kegelapan total.

Hanya ada suara napas mereka berempat, dan suara badai di luar yang tiba-tiba mereda, menyisakan gerimis salju yang tenang.

Di tengah kegelapan itu, Elara melihat samar-samar. Sosok Elena berdiri di dekat puing piano. Dia tersenyum. Senyum yang sangat manis dan melegakan. Dia membungkuk memberi hormat, lalu memudar perlahan, naik ke atas seperti uap, bebas.

"Selesai..." bisik Rian, memeluk Elara erat-erat di lantai yang dingin. "Musiknya berhenti."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!