NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:549
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Hilangnya Sinyal Telepon

Kirana menyadari bahwa cahaya merah itu adalah satu satunya petunjuk yang ia miliki, dan meskipun ia diperingatkan untuk tidak keluar, ia tahu malam itu ia harus masuk ke dalam hutan.

Sebelum Kirana berbalik menuju pagar belakang, ia sadar satu hal lagi: ponsel Dimas yang ia bawa. Walaupun ponsel tua itu tidak memiliki sinyal seluler di desa ini, mungkin ada jaringan lain. Atau setidaknya, ia bisa mencoba mencari titik sinyal tertinggi di halaman depan.

Ia kembali menyusuri jalan berbatu, melewati rumah Pak Kades yang lampunya kini benar benar padam. Ia bersembunyi di balik pohon jambu besar di pinggir jalan.

Kirana menyalakan ponsel lipat itu lagi. Ia mencoba mengakses fungsi Wi-Fi, berharap ada sinyal yang bisa ia curi. Tidak ada. Bahkan ikon sinyal darurat pun hilang.

Ia mencoba menghubungi Dimas, berbohong akan mengirim pesan. Tiba tiba, ia ingat ponselnya hanya bisa digunakan untuk melihat foto.

Seketika, ia merasa sangat bodoh. Ia kembali ke rumah Joglo. Dimas masih tertidur pulas di kursi dengan botol di dekatnya. Kirana masuk ke kamar, dan ia mengambil ponselnya yang sebenarnya, ponsel modern yang ia simpan di dalam tas selempangnya.

Ia harus mencobanya. Ia tahu Dimas dan Nyi Laras pasti sudah mengantisipasi ini, tetapi Kirana tetap harus memastikan.

Ia melihat ke layar ponselnya. Tidak ada sinyal. Sama sekali.

Kirana membuka aplikasi pesan, mencoba mengirimkan pesan darurat ke kontak teratasnya—sahabatnya di Jakarta.

“Tolong aku. Di desa ibuku. Aku diculik. Mereka mau ambil bayi…”

Pesan itu tetap berstatus sending tanpa henti.

Ia mencoba lagi. Kali ini ia mencoba menelepon 911 (Nomor darurat). Panggilan itu bahkan tidak tersambung. Ia seperti terputus dari jaringan listrik dan jaringan komunikasi.

Kepanikan hebat melanda Kirana. Ia mulai merangkak di lantai kamar, mengangkat ponselnya ke langit-langit, ke jendela yang terkunci, berharap menemukan satu bar sinyal.

Ia merangkak ke sudut tempat bisikan tadi malam datang.

"Kakak! Kakak! Tolong aku! Apa yang harus kulakukan?" Kirana berbisik ke dinding kayu, putus asa.

Keheningan. Tidak ada bisikan. Hanya desahan angin malam.

Kirana bersandar ke dinding, air mata menetes. "Kenapa kau memberiku petunjuk jika kau tidak bisa membantuku?"

Tiba tiba, layar ponselnya berkedip. Bukan sinyal, tetapi sebuah notifikasi. Itu adalah notifikasi dari aplikasi Kalender.

2 Hari Lagi: Jumat Kliwon.

Kirana menatap tanggal itu dengan mata melebar. Ia tahu, dari cerita cerita masa kecilnya, Jumat Kliwon adalah malam terkuat untuk ritual Jawa, terutama yang berhubungan dengan kekebalan atau pesugihan.

Waktunya terbatas. Ia hanya punya dua malam lagi sebelum sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Ia memasukkan ponselnya ke saku. Ia tidak bisa lari ke desa karena warga takut. Ia tidak bisa menelepon. Ia harus menghadapi Nyi Laras dengan mengumpulkan bukti. Dan bukti itu pasti ada di tempat Dimas dan Nyi Laras sering menghilang: hutan belakang.

Ia kembali ke pintu yang tadi ia buka dengan jepit rambut. Ia membuka kunci itu lagi dan keluar dari kamar.

Saat ia melewati pendopo, ia melihat Dimas terbangun. Dimas sedang mengikatkan sesuatu ke pinggangnya, sesuatu yang gelap dan kaku.

"Mau kemana kau?" Dimas bertanya, suaranya serak. Ia tidak terlihat mabuk, melainkan waspada.

"Aku... aku haus, Mas. Mau ke dapur," bohong Kirana.

Dimas menggeleng. "Di kamar sudah ada air," katanya, menunjuk ke baskom kotor di kamar Kirana. "Aku yang akan ambilkan. Kau duduk saja."

"Aku mau ke belakang. Mau buang air," jawab Kirana, menahan rasa mual.

Dimas menatapnya dengan curiga. Ia kemudian berjalan ke dapur, mengambil teko besar dari meja, dan menuangkan isinya ke dalam baskom. Air itu kini jernih.

"Minum ini. Dan jangan coba coba keluar rumah lagi," perintah Dimas. "Tadi malam Ibu membiarkanmu. Malam ini aku tidak akan membiarkannya."

Dimas berjalan ke kamar Kirana, dan Kirana mengikutinya. Di ambang pintu kamar, Dimas berhenti.

"Kau tahu, semua orang di sini tahu tentang hutang kita," kata Dimas pelan, tetapi kata katanya menusuk. "Dan semua orang tahu, hanya ada satu cara untuk melunasi hutang itu. Jangan merusak rencana kita, Kirana."

"Kau menjualku, Mas?" tanya Kirana, suaranya bergetar.

Dimas tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan kosong, lalu ia berkata

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!