Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: KELAHIRAN KEMBALI NAGA BUAS
Keheningan.
Keheningan mutlak yang hanya dipecah oleh suara tetesan darah yang jatuh dari langit-langit lubang ke genangan di bawahnya.
Tip. Tip. Tip.
Baskara duduk bersila di tengah medan perang yang telah menjadi kuburan massal.
Di sekelilingnya, terhampar pemandangan neraka. Tumpukan mayat lima belas Blood Ape yang sudah mengering seperti mumi. Kulit mereka yang tadinya merah pekat kini menghitam dan keriput, melekat erat pada tulang. Mata yang tadinya menyala penuh amarah kini hanyalah rongga kosong yang gelap.
Semua energi kehidupan mereka telah diserap habis.
Tidak ada yang tersisa selain cangkang hampa.
Dan di tengah tumpukan kematian itu—Baskara adalah satu-satunya nyawa yang tersisa. Masih bernapas. Masih berdetak. Masih menang.
Tubuhnya hancur-hancuran—tulang yang baru menyambung paksa, kulit yang melepuh merah akibat lava—tapi matanya...
Matanya menyala dengan cahaya yang berbeda dari sebelumnya.
Lebih tajam. Lebih dingin. Lebih... bukan manusia.
Di tangan kirinya, ia memegang trofi utamanya—Inti Roh (Core) King Blood Ape. Sebuah kristal merah seukuran kepalan tangan yang berpendar dengan ritme seperti detak jantung lambat di kegelapan.
Baskara melemparnya ke udara.
Whoosh.
Menangkapnya.
Tap.
Melemparnya lagi.
Whoosh.
Menangkapnya lagi.
Tap.
Gerakan santai itu kontras dengan aura pembunuh yang menguar darinya. Ia seperti iblis yang sedang bermain dengan jiwa korbannya.
Senyum tipis terukir di wajahnya—senyum yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun, sedingin es kutub.
"Hidangan pembuka sudah selesai..." gumamnya pelan, menatap Core yang berpendar merah darah. "Sekarang waktunya menyantap hidangan utama."
[Tuan... Anda terasa... berbeda.]
"Berbeda?"
[Lebih dingin. Lebih... kosong. Seperti ada sesuatu yang manusiawi telah hilang dari sorot mata Anda.]
Baskara terkekeh—suara tawa rendah yang bergema memantul di dinding lubang gelap.
Ia teringat sesuatu. Wajah-wajah kecil anak Gagak Petir yang ia bantai tanpa ragu beberapa saat lalu. Mata biru mereka yang membelalak ketakutan. Rengekan lemah mereka sebelum leher mungil itu terpenggal oleh cakarnya.
Tapi anehnya...
Ia tidak merasakan apa-apa.
Tidak ada penyesalan. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada empati.
Hanya... kekosongan.
Dan dari kekosongan itu, muncul suara samar di bagian paling dalam kepalanya—suara yang bukan miliknya, tapi juga bukan suara Sistem.
Suara yang lebih... purba.
"Bunuh... bunuh... bunuh..."
Bisikan halus seperti angin yang membawa racun mematikan.
"Lebih banyak... lebih kuat... lahap semuanya..."
Baskara menggelengkan kepala, mengusir bisikan itu—tapi jejak suaranya tetap menempel, seperti noda minyak yang tidak bisa dihapus total.
[Tuan...] Suara Sistem terdengar lebih serius dari biasanya. [Ini adalah bagian dari kontrak.]
"Apa maksudmu?"
[Sistem Naga Penelan bukan hanya tentang kekuatan. Ini tentang transformasi jiwa. Perlahan... sangat perlahan... sisi manusiawi Anda akan terkikis. Empati akan menguap. Belas kasihan akan dianggap kelemahan. Yang tersisa hanyalah... kekosongan dan rasa haus darah abadi.]
[Jika Anda tidak hati-hati, Tuan... Anda akan terjerumus ke dalam kegilaan. Anda akan menjadi seperti Raja Naga terdahulu—monster yang membantai seluruh benua hanya karena ia bosan.]
Keheningan sesaat.
Lalu Baskara menyeringai lebar—seringai yang membuat bayangan di wajahnya terlihat seperti topeng iblis yang hidup.
"Itulah yang aku inginkan."
[...Apa?]
"Sejak awal, dunia tidak pernah adil padaku." Suara Baskara datar, tapi ada api dingin yang membara di balik kata-katanya. "Aku lahir dengan Sukma hancur. Aku dihina setiap hari. Aku dipukuli seperti anjing kudisan. Aku dijual seperti budak."
Ia menatap Core di tangannya—cahaya merah memantul di pupil matanya yang hitam legam.
"Tidak ada alasan bagiku untuk mempertahankan 'kemanusiaan' yang tidak pernah menyelamatkanku. Kebaikan hanya membuatku lemah. Kebaikan membuatku diinjak."
Ia mengangkat Core itu sejajar dengan matanya. Tatapannya kosong, namun penuh determinasi yang mengerikan.
"Tujuanku hanya dua. Balas dendam... dan wanita itu."
[...Larasati.]
"Ya. Larasati."
Untuk pertama kalinya sejak pertarungan berakhir, ada emosi di mata Baskara. Bukan kehangatan cinta biasa. Tapi obsesi.
Obsesi untuk melindungi. Obsesi untuk memiliki. Obsesi yang membara seperti api neraka.
[Saya mengerti, Tuan.] Sistem berbicara dengan nada yang berbeda—nada yang lebih... tunduk. [Saya akan terus berada di sisi Anda hingga Anda menghadapi para Dewa. Hingga Anda merobek langit. Hingga Anda membalas semua yang pernah menyakiti Anda.]
[Itu adalah kontrak kita.]
Baskara tidak merespons.
Ia hanya mengingat.
Mengingat senyum Larasati. Senyum lembut yang selalu ia rindukan di tengah siksaan. Satu-satunya cahaya lilin di dunia gelapnya yang tanpa matahari.
'Tunggu aku, Larasati... Aku akan kembali. Lebih kuat dari siapa pun. Tidak ada yang akan bisa menyentuhmu lagi tanpa izin dariku.'
Lalu ia meremas Core di tangannya.
"Absorb."
ENERGI MELEDAK—DUNIA MENJADI PUTIH
Energi Core meledak seperti bendungan raksasa yang jebol seketika.
WHOOOOSH!!!
Kekuatan besar mengalir deras—jauh lebih masif, lebih padat, dan lebih liar dari apa pun yang pernah Baskara serap sebelumnya. Ini seperti mencoba memasukkan samudra ke dalam botol kaca!
"ARGH!"
Baskara berteriak, tangannya mencengkeram kepalanya sendiri.
Kepalanya serasa mau pecah! Jalur Prana di tubuhnya terbakar hebat! Sukma di dadanya berputar dengan kecepatan gila, berdecit seperti mesin yang dipaksa melampaui batas! Setiap sel di tubuhnya menjerit kesakitan!
[TUAN! TERLALU BANYAK! OVERLOAD! ANDA HARUS—]
Terlambat.
Energi itu melahap kesadarannya.
Pandangan Baskara perlahan menjadi putih.
Putih menyilaukan.
Seperti tenggelam dalam cahaya matahari.
Lalu—
Kegelapan total.
MEMORI: LUKA YANG TAK TERHAPUS
Gelap itu perlahan menghilang.
Pandangannya menjadi putih.
Putih.
Semuanya putih menyilaukan.
Baskara perlahan membuka mata.
Silau. Hangat.
Bukan panas api neraka, melainkan cahaya matahari pagi yang lembut.
"Hei! Bangunlah! Kamu dapat ikan!"
Suara itu.
Suara lembut bagaikan lonceng perak. Suara yang selalu ia rindukan dalam mimpi buruknya.
Baskara berkedip—pandangannya memfokus.
Ia berada di tepi sungai jernih.
Siang hari. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan ilalang. Pohon-pohon rindang menaungi mereka.
Di tangannya—sebatang pancing sederhana dari bambu.
Dan di sampingnya—
Larasati.
Wanita itu... begitu cantik. Rambut hitam panjangnya tergerai bebas, tidak diikat aturan keluarga. Kulit putih bersihnya bersinar di bawah matahari. Mata beningnya memancarkan kebahagiaan murni. Senyum manis dengan lesung pipi yang dalam menghiasi wajahnya.
Ia tersenyum ke arah Baskara—senyum yang membuat dunia terasa sempurna.
"Kamu melamun lagi! Lihat, pancingmu!"
Baskara menoleh—jorannya melengkung tajam! Ikan besar menarik!
Refleks, ia menarik dengan sekuat tenaga!
"Tarik! Tarik! Kamu bisa!" Larasati berseru semangat, tangannya ikut memegang joran bambu, jari-jarinya yang halus bersentuhan dengan tangan kasar Baskara.
Mereka tertawa bersama saat ikan besar itu akhirnya terangkat—ikan mas sebesar lengan orang dewasa!
"Ikan yang besar!" Larasati bertepuk tangan riang. "Dengan ini kita bisa makan enak malam ini! Tidak ada bubur hambar lagi!"
Baskara menatap wajah Larasati—wajah yang bersinar bebas dari tekanan—
Dan sesuatu di dadanya terasa hangat.
Hangat yang sudah lama mati di dalam dirinya.
Senja turun.
Mereka duduk bersebelahan di depan api unggun kecil.
Ikan tangkapan mereka sedang dipanggang, aroma sedap memenuhi udara hutan.
Larasati menatap api dengan pandangan yang sedikit cemas. Senyumnya memudar.
"Apa mereka... akan berhasil menemukan kita?"
Baskara—dengan pakaian rakyat jelata—menatap ke arah hutan gelap di kejauhan dengan tatapan tajam.
"Tidak akan." Suaranya terdengar yakin, mencoba menenangkan. "Kang Joko sudah menyembunyikan jejak pelarian kita. Jalur yang kita tempuh juga sulit dilacak. Saat kita sampai di Kota Perbatasan, kita akan mulai hidup baru. Tidak ada Keluarga Cakrawala. Tidak ada 'Menantu Sampah'. Hanya kita."
Larasati diam sesaat.
Lalu tersenyum—senyum lega yang penuh harapan.
Ia menyandarkan kepalanya di bahu Baskara.
"Asal bersamamu... aku tidak takut miskin, Baskara."
Baskara merasakan kehangatan itu. Momen itu adalah surga kecil mereka.
Mereka tidak tahu... bahwa itu adalah malam terakhir mereka tersenyum.
Esok harinya.
HUJAN LEBAT.
Badai turun tanpa ampun, mengubah tanah menjadi lumpur hidup.
"CEPAT! MEREKA DI SANA!"
"JANGAN BIARKAN ANJING-ANJING ITU KABUR!"
Teriakan-teriakan kasar memecah suara hujan.
Baskara dan Larasati berlari sekuat tenaga—basah kuyup, menggigil, lumpur memberatkan kaki—napas terengah-engah seperti diburu setan.
SRET! SRET! SRET!
Panah-panah yang dilapisi Prana melesat melewati telinga mereka—menancap di batang pohon di depan!
"Ayo cepat! Sebentar lagi kita sampai perbatasan! Kita bisa bersembunyi di sana!"
Baskara memegang tangan Larasati erat—setengah menyeret—memaksa kaki istrinya yang lelah untuk terus bergerak.
"Baskara... aku... tidak kuat..." Larasati terengah, wajahnya pucat pasi.
"Berhenti!"
"Itu mereka!"
"KEPUNG!"
Teriakan semakin jelas. Semakin dekat.
Lalu—
"AH!"
Larasati terjatuh—kakinya tersangkut akar pohon licin!
Mereka terhenti.
Baskara berbalik, menunduk hendak menggendong Larasati—
Tiba-tiba—
SRET!!!
Benang baja tipis yang berkilau dialiri Prana melayang dari semak-semak—melilit pergelangan tangan Baskara!
"Egh!"
Ikatan itu erat! Tajam! Mengiris kulit hingga ke daging!
SRET! SRET!
Benang baja lain—hampir tak kasat mata di tengah hujan—melayang cepat bagai ular—melilit kedua kaki Baskara!
Semakin erat! Semakin dalam mengiris!
Darah segar mengalir dari pergelangan tangan dan kaki, bercampur dengan air hujan yang dingin.
"BASKARA!"
Larasati berteriak histeris—mencoba melepaskan tali baja itu dengan pisau kecilnya—tapi sia-sia! Benang itu terlalu kuat!
Suara berat dengan nada mengejek terdengar dari balik tirai hujan.
"Mau ke mana, tikus-tikus kecil?"
Sosok tinggi besar muncul dari kegelapan hutan.
Aditya.
Mercenary bayaran Keluarga Cakrawala. Tubuh kekar penuh bekas luka, mata tajam seperti elang pemangsa, dan senyum sadis yang menikmati perburuan.
Benang-benang baja itu terhubung ke sepuluh jari tangannya—seperti dalang yang mengendalikan boneka rusak.
Ia menarik jari-jarinya—
SRET!!!
Baskara terseret brutal di atas lumpur—wajahnya menghantam tanah!
"Ukh!"
Beberapa prajurit Keluarga Cakrawala muncul dari berbagai arah, senjata terhunus, mengepung mereka total.
"Dapat. Bawa mereka! Patriark sudah tidak sabar!" teriak Komandan prajurit.
Aditya menatap Baskara yang terikat tak berdaya di tanah dengan pandangan penuh hinaan.
"Apakah sampah ini tidak dibunuh saja sekalian?" tanyanya santai, seolah membicarakan hama tikus.
Komandan menggeleng. "Tidak. Perintah Patriark: bawa hidup-hidup. Dia ingin 'memberi pelajaran'."
Aditya mendecih kecewa. "Sayang sekali..."
Ia berjongkok di depan Baskara, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Baskara yang penuh lumpur.
"Aku sebenarnya ingin mencincangmu dengan benangku perlahan-lahan... dagingmu pasti enak untuk anjing-anjingku." Ia tertawa—tawa yang dingin dan kejam.
"Yah... mungkin lain kali kau bisa coba kabur lagi. Biar aku bisa memburumu lagi. Itu menyenangkan."
Napas busuk Aditya tercium. Senyum sadisnya membakar ingatan Baskara.
Baskara hanya bisa menatap dengan mata yang dipenuhi ketidakberdayaan. Dan amarah yang tak bisa dilampiaskan.
Kemudian...
Kediaman Keluarga Cakrawala.
Ruang Bawah Tanah.
Remang. Bau lembap, jamur, dan darah tua.
Baskara dan Larasati diikat berhadapan.
Tangan mereka dicancang ke atas—terikat rantai besi yang digantung di langit-langit. Kaki mereka melayang satu jengkal dari lantai—seluruh berat tubuh ditopang oleh pergelangan tangan yang terkilir.
Tapi rasa sakit fisik itu belum seberapa. Hukuman yang sebenarnya baru akan dimulai.
Di depan mereka—Patriark Dharma berdiri dengan gulungan kertas di tangan. Wajahnya dingin, tanpa emosi, seperti patung batu.
Di sampingnya—Nyonya Ratih—ibu kandung Larasati—menatap dengan wajah keras dan mata yang penuh kekecewaan bercampur jijik.
Patriark Dharma membaca vonis dengan suara lantang:
"Baskara Atmaja Dirgantara dan Larasati Dewangga Cakrawala. Atas tindakan melarikan diri tanpa izin, membawa aib bagi nama besar keluarga, dan melibatkan pelayan dalam konspirasi busuk—"
"Hukuman dijatuhkan sebagai berikut:"
"Larasati: 33 kali cambukan disiplin."
"Baskara: 333 kali cambukan hukuman."
"Setelah hukuman, Larasati akan dikurung isolasi selama 3 bulan. Baskara akan dipasung dengan pemberat besi di kaki selama 6 bulan di gudang."
Keheningan mencekam.
Lalu—
"TIDAK!" Baskara berteriak parau, rantainya bergemerincing. "JANGAN HUKUM DIA! AKU YANG MENGAJAKNYA! HUKUM AKU SAJA! AKU SANGGUP MENERIMA SEMUANYA! JANGAN SAKITI LARASATI!"
PLAK!!!
Nyonya Ratih maju dan menampar wajah Baskara dengan keras! Cincin di jarinya merobek pipi Baskara.
"DIAM KAU, SAMPAH!" teriaknya, topeng keanggunannya runtuh oleh amarah.
"Harusnya kalau kau punya otak, kau tidak mengajaknya kabur! Kau tahu dia akan dijodohkan dengan Tuan Muda Adipati yang terhormat! Kau hampir merusak masa depannya!"
"BUKAN!" Larasati menggeleng kuat di tengah isaknya. "Bukan Baskara! Aku yang memohon! Aku yang memaksa! Aku muak dengan keluarga ini! Aku tidak mau dijual pada pria tua kejam itu! Aku—"
PLAK!!!
Tamparan keras mendarat di pipi Larasati. Dari ibunya sendiri.
Pipi putih itu memerah seketika. Sudut bibirnya pecah berdarah.
Nyonya Ratih berteriak dengan suara bergetar:
"BASKARA ITU TIDAK ADA GUNANYA! Hutang keluarga kita sudah lunas! Orang tuanya sudah MATI! Dia tidak punya masa depan! Dia hanya parasit!"
"Tapi Adipati Wira memiliki kekayaan! Koneksi! Kekuatan! Dia bisa mengangkat derajat kita! Kenapa kau begitu bodoh memilih sampah ini?!"
Larasati menatap ibunya dengan mata basah.
"Karena aku mencintainya, Ibu. Dia punya hati. Sesuatu yang tidak Ibu miliki."
Nyonya Ratih tertegun. Lalu wajahnya mengeras menjadi batu.
"Cinta tidak bisa dimakan. Cinta tidak memberi kekuasaan."
BRAK!!!
Patriark Dharma menghentakkan tongkatnya. "CUKUP DRAMANYA!"
Ia menatap Wibawa dan Jarwo yang berdiri di sudut ruangan, memegang cambuk kulit yang diperkuat serpihan logam.
"Wibawa. Didik sepupumu. Jarwo. Urus sampahnya."
Patriark dan Nyonya Ratih berbalik pergi.
Sebelum pintu tertutup, Patriark berkata datar tanpa menoleh:
"Jangan sampai hal ini terulang. Atau nyawa kalian taruhannya."
BLAM.
Hukuman dimulai.
Wibawa mengangkat cambuk, menatap punggung Larasati yang hanya tertutup kain tipis. Senyum tipis muncul di wajahnya.
CTAR!!!
Cambuk mendarat.
"AH!" Larasati menahan jerit. Darah merembes.
"BRENGSEK! LEPASKAN DIA!" Baskara meronta gila-gilaan, mengabaikan pergelangan tangannya yang terkelupas kulitnya oleh rantai.
Jarwo tertawa di sampingnya. "Tenang, Pahlawan. Giliranmu lebih panjang."
CTAR!!!
Punggung Baskara robek.
Rasa sakit membakar. Tapi ia tidak bersuara. Matanya hanya tertuju pada Larasati.
Di tengah suara cambukan, Wibawa dan Jarwo mengobrol santai, seolah sedang memotong daging di pasar.
"Eh, Jarwo. Kau dengar tentang si tua bangka Joko?" Wibawa tertawa kecil sambil menyeka darah di cambuknya.
"Yang ketahuan memberi peta pada mereka, Tuan?" Jarwo menyahut sambil menghantam punggung Baskara lagi. "Tentu saja. Aku yang menyeretnya ke halaman depan."
Baskara membeku.
'Kang Joko... ketahuan?'
"Kasihan dia," Wibawa menggeleng pura-pura sedih. "Digantung mati kemarin pagi di alun-alun kota. Mayatnya dibiarkan di sana untuk tontonan burung gagak."
Dunia Baskara runtuh.
Kang Joko... mati?
Orang tua yang memberinya roti saat lapar? Yang tersenyum padanya?
Mati... karena membantunya?
CTAR! CTAR! CTAR!
Cambukan terus berjatuhan.
30 untuk Larasati.
100 untuk Baskara.
200.
300.
Punggung Baskara sudah hancur. Dagingnya tercabik hingga tulang terlihat.
Tapi rasa sakit fisik itu tidak ada artinya.
Yang membunuhnya adalah rasa tidak berdaya.
Melihat wanita yang dicintainya disiksa. Mendengar kabar kematian orang yang menolongnya.
Wibawa mendekat, berbisik di telinga Baskara yang sudah hampir pingsan:
"Jika kau ketahuan menemui Larasati lagi... aku akan menyiksanya lebih parah. Aku punya banyak pil penyembuh. Aku bisa membuatnya memohon kematian, lalu menyembuhkannya, dan menyiksanya lagi. Ingat itu, Sampah."
Tawa Wibawa. Tatapan dingin Jarwo. Wajah angkuh Patriark.
Semuanya terekam. Terbakar dalam ingatan. Menjadi bahan bakar dendam yang abadi.
KEMBALI DARI NERAKA
"Tuan... Tuan..."
Suara itu menariknya kembali.
Baskara tersentak. Napasnya terengah-engah seolah baru saja tenggelam. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang baru.
Ia kembali ke gua gelap.
Masih duduk di tengah tumpukan mayat monster.
Tapi ada yang berbeda.
Sangat berbeda.
Tubuhnya terasa seringan bulu. Gravitasi seolah kehilangan cengkeramannya.
Energi mengalir di jalur Prana barunya dengan lancar sempurna—deras, kuat, dan tak terbendung.
Dan yang paling penting—
Kekuatan.
Kekuatan absolut yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.
[TUAN! ANDA SADAR! AKHIRNYA!]
Sistem berteriak lega.
[Proses penyerapan Core selesai! Anda berhasil menampung energi itu! Tubuh naga Anda telah berevolusi!]
Baskara berdiri perlahan.
Setiap gerakan terasa sangat ringan. Tulang-tulangnya tidak lagi berderit. Otot-ototnya padat berisi kekuatan ledak.
[SELAMAT, TUAN! ANDA TELAH MENCAPAI:]
[RANAH PENGUMPULAN PRANA BINTANG 8!]
[TITLE BARU DIBUKA: "NAGA BUAS YANG LAHIR KEMBALI"]
Di depan mata Baskara, jendela status muncul—transparan, elegan, dan berpendar biru keemasan:
---------------------------------------------------------------
STATUS LENGKAP PENGGUNA
Nama : Baskara Atmaja Dirgantara
Tingkat : Ranah Pengumpulan Prana Bintang 8
Title : "NAGA BUAS YANG LAHIR KEMBALI"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
STATISTIK INTI
• Strength : 85/100 ▰▰▰▰▰▰▰▰▱▱
• Agility : 88/100 ▰▰▰▰▰▰▰▰▰▱
• Defense : 82/100 ▰▰▰▰▰▰▰▰▱▱
• Prana Reserve : 90/100 ▰▰▰▰▰▰▰▰▰▱
• Killing Intent: 95/100 ▰▰▰▰▰▰▰▰▰▰ (MAX)
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
KEMAMPUAN BARU (NEW UNLOCK!)
[1.] SILENT FLASH (Kilat Sunyi)
Kecepatan 300% selama 5 detik. Tanpa suara.
(Gabungan Shadow Panther + Thunder Crow)
[2.] BATTLE REGENERATION (Regenerasi Tempur)
Luka sembuh 500% lebih cepat saat bertarung.
(Diperoleh dari Core King Blood Ape)
[3.] THOUSAND POISONS IMMUNITY (Kebal Racun) \
Imunitas terhadap sebagian besar racun mematikan.
---------------------------------------------------------------
Baskara mengepalkan tangannya. Udara di sekitarnya bergetar karena tekanan Prana yang bocor dari sela jarinya.
Ia menyeringai.
Seringai dingin penuh janji kematian.
Wajah-wajah mereka berputar di kepalanya.
Patriark Dharma.
Nyonya Ratih.
Wibawa.
Jarwo.
Aditya.
Mereka masih hidup. Masih tertawa. Masih berpikir dia sudah mati membusuk di dasar jurang.
"Tapi tidak lama lagi," bisik Baskara, suaranya mengandung getaran yang bisa membekukan darah.
Ia menatap ke atas, ke arah lubang cahaya yang sangat jauh di ketinggian.
Tanpa ancang-ancang, ia melompat.
WHOOSH!
Tubuhnya melesat ringan 20 meter vertikal ke atas, mendarat mulus di bibir tebing tanpa suara.
Begitu mudah. Begitu kuat.
'Ini... kekuatan Bintang 8...'
Baskara menatap lorong gua yang mengarah keluar.
Dunia luar menunggunya.
Dan orang-orang yang harus membayar hutang darah juga menunggunya.
Ia berbicara pada Sistem, matanya menyala merah di kegelapan:
"Ayo, Sistem. Ada banyak orang yang sedang menungguku."
[Menunggu Anda untuk apa, Tuan?]
Baskara melangkah maju, jubahnya berkibar ditiup angin gua.
"Menunggu giliran mereka untuk mati."
Dan dengan itu, sang Naga Buas melangkah keluar dari kegelapan abadi, siap membakar dunia yang pernah membuangnya.
[BERSAMBUNG KE BAB 13]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe