NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9. Tatapan Yang Retak

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Pagi itu, kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Ada presentasi besar untuk proyek baru, dan ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen serta aroma kopi.

Ardan duduk di ujung meja, jas hitamnya rapi, pandangannya fokus pada layar proyektor.

Namun begitu pintu terbuka dan suara langkah sepatu berhak tinggi terdengar, fokusnya buyar.

Mira masuk dengan senyum profesional — rambut hitamnya terurai, dan aura percaya dirinya memenuhi ruangan seketika.

“Selamat pagi semuanya,” ucapnya ringan.

Tatapan Ardan tanpa sadar mengikuti Mira, seolah matanya tahu ke mana harus berhenti.

 

Presentasi berjalan lancar.

Mira berbicara dengan penuh percaya diri, sesekali menatap ke arah Ardan untuk memastikan perhatiannya.

Dan setiap kali itu terjadi, sesuatu di dada Ardan bergetar—perasaan yang tak seharusnya muncul di ruang kerja.

Selesai rapat, rekan-rekan lain beranjak keluar. Tinggal mereka berdua.

“Kerja bagus,” ucap Ardan singkat, berusaha menjaga jarak.

“Terima kasih,” jawab Mira pelan. Ia tersenyum, lalu meletakkan beberapa berkas di meja Ardan. “Oh ya, aku nemuin ini waktu beberes lemari lama di rumah. Lucu, deh.”

Ia menyodorkan sebuah amplop berwarna krem.

Ardan mengerutkan dahi. “Apa ini?”

Mira membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa foto yang sudah agak pudar warnanya.

Foto mereka berdua.

Di depan gerbang SMA.

Di kafe tempat mereka dulu sering belajar bareng. Dan satu foto — Mira tersenyum ke arah kamera, sementara Ardan di sebelahnya sedang menatapnya, seolah waktu berhenti di sana.

Ardan menatap foto-foto itu lama.

Sesuatu yang ia kira sudah lama mati, tiba-tiba bergerak pelan di dadanya.

“Nggak nyangka kamu masih simpan ini,” katanya akhirnya, suaranya pelan.

Mira tertawa kecil. “Aku bukan tipe orang yang mudah lupa, Dan. Apalagi sama hal-hal yang... manis.”

Ardan menghela napas, berusaha tetap tenang. “Itu dulu, Mira. Udah lama.”

“Dulu?” Mira menatapnya lurus. “Kamu yakin cuma dulu?”

Pertanyaan itu menggantung lama di udara.

Ardan tak menjawab.

Ia hanya menatap foto itu sekali lagi, lalu memasukkannya ke dalam amplop dan mengembalikannya.

“Mira, aku udah menikah. Kamu juga tahu itu.”

Mira tersenyum tipis, tapi matanya tajam. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kamu nggak bahagia.”

Ardan menatapnya tajam. “Kamu nggak tahu apa-apa soal aku dan Nayara.”

Mira mendekat sedikit, menunduk agar suaranya hanya terdengar olehnya.

“Aku tahu cukup banyak untuk lihat... kalau matamu sekarang nggak lagi sama kayak dulu waktu kamu lihat dia.”

Ardan memejamkan mata sesaat.

Ia tahu seharusnya ia pergi. Tapi kakinya seolah terpaku di tempat.

 

Sementara itu di rumah

Di rumah, Nayara sedang menata vas bunga di meja tamu.

Tangannya sibuk, tapi pikirannya jauh.

Ponselnya tergeletak di meja, masih tanpa kabar dari Ardan sejak pagi.

Suara notifikasi membuatnya menoleh cepat.

Pesan dari Alia.

Alia: “Aku lihat postingan di story salah satu pegawai kantormu. Kayaknya Ardan lagi meeting bareng Mira Adelia, ya? Itu yang dulu teman SMA kita, kan?”

Nayara terdiam.

Dadanya langsung terasa sesak, tapi ia mencoba tersenyum walau hanya pada udara kosong.

Nayara: “Iya. Dia kerja sama Ardan sekarang.”

Alia: “Kamu nggak takut, Nay?”

Nayara: “Takut? Aku cuma capek, Li. Takutnya udah lama lewat.”

Alia mengetik cepat.

Alia: “Kamu masih cinta, ya?”

Nayara: “Aku masih terikat pernikahan, Li. Itu aja cukup buat aku bertahan.”

Setelah pesan terakhir itu terkirim, Nayara meletakkan ponsel dan duduk di sofa.

Ia menatap keluar jendela, ke arah pohon mangga di halaman yang daun-daunnya berguguran oleh angin sore.

Ia masih berusaha percaya — bahwa badai ini hanya lewat.

 

Kembali ke kantor

“Kenapa kamu simpan foto-foto itu, Mir?”

Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulut Ardan.

Mira tersenyum lembut. “Mungkin karena aku masih pengen inget siapa kamu sebelum kamu berubah.”

Ardan mengerutkan kening. “Berubah?”

“Dulu kamu hidup, Dan. Kamu ketawa lepas, ambisius, berani. Sekarang... kamu keliatan capek. Kayak seseorang yang lupa kenapa dia kerja keras dari awal.”

Kata-kata itu menancap dalam.

Karena entah kenapa, ada sedikit kebenaran di sana.

Mira melangkah lebih dekat, suaranya turun menjadi lembut tapi menggoda.

“Aku cuma pengen liat kamu bahagia lagi. Kayak dulu.”

Ardan menatapnya lama.

Ada jarak yang menipis, tapi juga dosa yang terasa nyata di antara mereka.

“Mira,” suaranya serak. “Jangan bikin aku lupa siapa diriku.”

Mira tersenyum samar. “Aku cuma

pengingat, Dan. Kamu yang milih mau inget apa enggak.”

 

Sore itu, saat Ardan menyetir pulang, wajah Nayara tiba-tiba terlintas di pikirannya.

Senyumnya. Kesabarannya. Tatapannya setiap kali ia pulang terlambat.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, tatapan itu membuatnya merasa bersalah.

Ketika ia sampai di rumah, Nayara sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah lelah tapi tetap ramah.

“Capek, ya?” tanyanya lembut.

Ardan mengangguk, menaruh jasnya.

“Aku masakin makanan kesukaan kamu,” ujar Nayara lagi. “Kamu mau mandi dulu atau makan dulu?”

Ardan menatapnya lama.

Wajah itu begitu familiar… tapi sekarang terasa asing. Dan untuk alasan yang ia benci, ia tidak tahu harus berkata apa.

Hanya diam.

Tatapan mereka bertemu sejenak, tapi cepat pecah. Seolah ada retakan di antara pandangan itu — kecil, tapi cukup untuk membuat cinta perlahan mengalir keluar.

 

Malam itu, saat Nayara sudah tidur, Ardan membuka amplop di dalam tas kerjanya.

Satu foto jatuh ke lantai.

Ia memungutnya, menatap wajah Mira muda di sana, lalu menatap dirinya sendiri di foto itu — tertawa lepas, sesuatu yang kini tak lagi bisa ia lakukan dengan Nayara.

Dan di seberang kamar, dalam kegelapan, Nayara membuka matanya diam-diam.

Ia melihat cahaya dari layar ponsel suaminya yang masih menyala.

Ardan tersenyum kecil — senyum yang bukan lagi miliknya.

 

Bersambung...

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!