NovelToon NovelToon
DEWA SAHAM

DEWA SAHAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TINGGAL BERSAMA

Pagi itu Bekasi bernafas perlahan. Langit lembut berwarna perak, matahari menembus kabut yang menggantung rendah di atas deretan gedung apartemen. Dari lantai delapan, Retno membuka jendela, membiarkan udara lembap masuk bersama aroma kopi dari kedai di bawah. Ia menatap ke luar — dunia masih sama, tapi hatinya tidak lagi sama.

Sudah tiga minggu sejak pernikahan sederhana mereka di Bandung. Semua berlangsung diam-diam, hanya keluarga inti dan sahabat dekat. Kini, kehidupan baru itu dimulai di sini, di sebuah apartemen menengah di jantung Bekasi, jauh dari sorot media dan pandangan keluarga besar Dirgantara yang selalu penuh perhitungan.

Arif masih terlelap di kamar ketika Retno menyiapkan sarapan. Suara penggorengan kecil berpadu dengan dengung lalu lintas yang mulai hidup. Ketika Arif keluar dari kamar, mengenakan kemeja putih dan dasi abu-abu, Retno menoleh sambil tersenyum.

“Mas sarapan dulu,” katanya pelan.

Arif mendekat, mengecup keningnya singkat. “Kamu sudah bangun sepagi ini lagi?”

“Sudah biasa. Kalau nggak, nanti kamu telat.”

Arif tersenyum samar. “Kamu istri yang terlalu rajin.”

Mereka makan berdua, sederhana — roti panggang, telur mata sapi, dan kopi hitam. Tapi suasananya hangat, penuh ketenangan. Tidak ada formalitas, tidak ada perintah. Hanya dua manusia yang berusaha membangun rumah tangga di antara kesibukan dan tekanan dunia luar.

Setiap pagi, Arif berangkat ke Dirgantara Tower di Jakarta. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi cukup membuat ia berangkat sebelum matahari naik tinggi. Retno berdiri di balkon, melambaikan tangan saat mobil hitam Arif keluar dari parkiran. Setelah itu, ia bergegas bersiap ke kantor cabang tempatnya bekerja — gedung administrasi kecil yang hanya berjarak beberapa blok.

Hari-hari pertama terasa indah. Retno mulai terbiasa dengan rutinitas baru sebagai istri, walau tetap bekerja. Ia menata hidup dengan ritme yang tenang, menyiapkan makan malam sebelum Arif pulang, dan menunggu di balkon setiap senja datang. Kadang mereka makan bersama di ruang tamu, kadang hanya duduk berdua menatap langit Bekasi yang berwarna jingga, bercerita tentang hari masing-masing.

Suatu malam, Retno duduk di sofa, membuka laptop sambil menatap laporan proyeknya. Arif baru pulang, menaruh jas di gantungan. “Kamu masih kerja jam segini?” tanyanya.

“Hari ini banyak revisi, Mas. Tapi bentar lagi selesai.”

Arif duduk di sampingnya, meraih laptop pelan. “Nanti kamu capek. Udah malam.”

Retno tertawa kecil. “Mas juga sering lembur. Sekali-sekali gantian.”

Arif menghela napas, lalu membelai rambut istrinya. “Aku senang kamu tetap semangat. Tapi jangan lupa, kamu nggak sendirian lagi.”

Malam itu mereka tertidur lebih cepat. Hujan turun pelan, suara air di luar menjadi lagu pengantar yang damai. Dalam keheningan, Retno merasakan sesuatu di dadanya: rasa tenang yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Hari berganti minggu. Retno mulai menyadari tubuhnya berubah. Pagi-pagi sering mual, mudah lelah, dan emosinya cepat berubah. Awalnya ia mengira stres karena pekerjaan, tapi ketika Arif memperhatikannya semakin sering, mereka memutuskan memeriksakan diri ke dokter.

Di klinik kecil dekat apartemen, dokter muda itu tersenyum setelah memeriksa hasil tes.

“Selamat, Bu Retno. Anda positif hamil.”

Dunia seakan berhenti sesaat. Retno menatap Arif dengan mata basah. Arif memegang tangannya erat, senyumnya lembut tapi penuh getar.

“Ini benar, Dok?” tanyanya pelan, seolah masih tak percaya.

“Sangat benar,” jawab dokter. “Kandungan Ibu masih muda, tapi sehat.”

Begitu keluar dari klinik, Arif langsung memeluk istrinya. “Kamu dengar itu? Kita bakal punya anak.”

Retno tersenyum dengan air mata mengalir. “Aku bahagia, Mas…”

Arif mengangguk, menatap perut istrinya yang masih datar. “Mulai sekarang, kamu jangan terlalu lelah. Aku yang urus semuanya.”

Sejak hari itu, kehidupan mereka berubah pelan-pelan. Retno mulai menjaga pola makan, mengurangi aktivitas berat, dan lebih sering beristirahat. Arif semakin protektif — memastikan ia sarapan, menjemput pulang, bahkan menolak lembur jika Retno sedang tidak enak badan.

Namun, di balik semua itu, bayangan keluarga besar Dirgantara masih mengikuti langkah mereka.

Diah Ningrum dan Hartono Dirgantara tahu kabar kehamilan itu dari Rendra, orang kepercayaan keluarga yang sesekali datang memberi laporan ke Jakarta. Restu dingin yang dulu diberikan kini berganti dengan perhitungan.

“Anak itu,” kata Hartono suatu malam, “mungkin akan jadi penerus Dirgantara juga.”

Diah Ningrum hanya tersenyum tipis. “Atau… jadi celah. Tergantung siapa yang memegang kendali.”

Hari-hari berlalu dalam kehangatan yang sederhana. Arif pulang lebih cepat, sering membawa bunga atau makanan kesukaan Retno. Setiap kali melihatnya tersenyum, semua kelelahan seolah hilang. Kadang ia hanya duduk di samping Retno yang sedang membaca buku, menatap diam tapi dengan hati penuh rasa syukur.

“Mas,” ujar Retno suatu sore, “kamu nggak pernah bosan sama rutinitas begini?”

Arif menggeleng, menatap istrinya lembut. “Rumahku bukan tempat, tapi kamu. Selama kamu di sini, aku nggak pernah bosan.”

Retno menunduk malu. “Kamu suka bilang gitu biar aku tenang, ya?”

“Enggak,” jawab Arif pelan. “Aku serius.”

Malam itu Retno duduk di balkon, memandangi langit Bekasi yang mulai gelap. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelap-kelip. Ia memegang perutnya pelan, berbisik lirih, “Kamu dengar, Nak? Ayahmu orang baik.”

Waktu berjalan cepat. Usia kandungan Retno memasuki bulan ketiga. Setiap minggu mereka pergi ke dokter, dan setiap kali mendengar detak jantung kecil itu, Arif selalu terlihat seperti orang yang baru menemukan makna hidup.

Suatu hari, setelah pemeriksaan, Arif berkata di dalam mobil, “Aku ingin kamu berhenti kerja sementara.”

Retno terdiam. “Kenapa, Mas? Aku masih kuat kok.”

“Bukan soal kuat,” jawab Arif tenang. “Aku cuma nggak mau kamu stres. Dunia kerja kadang kejam. Aku ingin kamu fokus istirahat dulu.”

“Tapi aku suka pekerjaanku…”

Arif menggenggam tangannya. “Aku tahu. Aku cuma minta kamu jaga diri. Aku bisa urus sisanya.”

Retno akhirnya mengangguk. Ada sedikit rasa kehilangan, tapi juga lega. Ia tahu Arif tulus. Malamnya, ia membereskan berkas-berkas kantor sambil menatap foto pernikahan mereka yang dipajang di rak kecil. “Musim baru,” gumamnya pelan. “Musim jadi istri, jadi ibu.”

Suatu malam, angin Bekasi bertiup lembut membawa aroma hujan. Arif duduk di ruang tamu, laptop di pangkuan, sambil sesekali menatap Retno yang sedang membaca buku di sofa.

“Mas,” kata Retno tiba-tiba, “kalau nanti anak kita lahir… kamu pengin dia kayak siapa?”

Arif tertawa kecil. “Kalau perempuan, semoga seperti kamu: lembut tapi kuat. Kalau laki-laki, semoga lebih bijak dari aku.”

Retno tersenyum. “Aku cuma mau anak kita tumbuh dengan cinta, bukan ambisi.”

Arif menatapnya dalam, lalu berkata lirih, “Itu tugas kita, Retno. Bukan cuma punya anak, tapi membesarkannya jadi manusia yang tahu arti kasih.”

Hujan turun perlahan di luar. Lampu kota berpendar di kaca jendela, menciptakan pantulan seperti bintang-bintang yang menetes ke bumi. Dalam diam, mereka berdua tahu — kebahagiaan ini sementara, dunia luar tidak akan diam. Tapi malam itu, mereka memilih untuk tidak memikirkannya.

Retno bersandar di bahu Arif. “Aku bahagia, Mas.”

Arif mengelus rambutnya. “Aku juga. Tapi janji, kalau nanti ada hal sulit, kita hadapi sama-sama.”

“Selalu,” jawab Retno pelan.

Musim baru benar-benar dimulai di Bekasi.

Hidup mereka tidak glamor, tapi penuh arti. Tidak ramai pesta, tapi hangat dalam setiap detik sederhana. Di balik tirai putih apartemen kecil itu, cinta tumbuh perlahan — bukan dari kemewahan, tapi dari keberanian untuk tetap bersama, meski dunia di luar menunggu untuk menguji.

Arif menatap langit malam, memeluk Retno dari belakang. “Kamu tahu,” bisiknya, “aku ingin waktu berhenti di sini.”

Retno menoleh, tersenyum dengan mata berkaca. “Kalau waktu berhenti, kita nggak akan bisa lihat anak kita lahir.”

Arif tertawa kecil. “Benar juga.”

Mereka tertawa pelan, membiarkan malam menutup hari dengan lembut.

Di bawah langit Bekasi, cinta mereka bersemi dengan tenang, seolah dunia di luar tak pernah ada. Tapi di Jakarta, di ruang rapat berlampu dingin, nama Retno mulai kembali dibicarakan — dan arah hidup mereka perlahan akan berubah tanpa mereka sadari.

1
Retno indriyawati
trus nanti bakalan ktemu dimana.. apa si arif bakalan nusulin dan mncari informasi
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ biat selalu semangat dalam berkarya💪💪💪
Retno indriyawati
wahh mantapp nih. . sudah aroma2 wangiiiii
Retno indriyawati
😍😍😍😍😍
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ untuk tetqp semangat 💪💪💪💪💪
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
tetap semangat dalam berkarya
Retno indriyawati
wah. kapan nih bisa ktemuunya. 😍😍😍
Retno indriyawati
wah seru bgt. lanjut thor
Retno indriyawati
aku suka2
Retno indriyawati
makin sukses thor ..
Retno indriyawati
tambah seru aja nih
Rendy Budiyanto
semangat min
menarik
Rendy Budiyanto
💪💪💪
Junot Slengean Scd: terimakasih
total 1 replies
Retno indriyawati
lanjut
Junot Slengean Scd: siap👍
total 1 replies
Retno indriyawati
keren si ini
Retno indriyawati
🤣🤣🤣🤣
Junot Slengean Scd: dukung terus
total 1 replies
Kevin Leonardus
up lagi thor ga sabar💪💪
Junot Slengean Scd: wkwkwkwkkwkw💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!