Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Rahasia
Sebuah kilasan muncul di benaknya:
aroma kerak hitam yang pernah ia cium di lorong, dan bubur yang tiba-tiba terasa seperti sebuah kisah, bukan hanya bubur. Sebuah ingatan tentang Xiao Lu, pelayan dapur yang entah mengapa selalu tampak berbeda dari yang lain.
Kecurigaan mencengkeramnya. Ini bisa jadi jebakan. Sebuah skema dari Gao untuk menguji kesetiaannya, atau bahkan lebih buruk, untuk meracuninya. Gao telah berulang kali memperingatkannya tentang bahaya "makanan rakyat" yang tidak murni.
Namun, di tengah ketakutan itu, ada percikan kecil yang menyala. Percikan rasa ingin tahu yang haus. Rasa ingin tahu akan kehangatan yang dijanjikan, akan kejujuran yang langka di istana ini. Apa yang bisa lebih buruk daripada hidup dalam kehampaan ini?
Kaisar memejamkan mata. Dia lelah dengan segala kepura-puraan. Dia merindukan sesuatu yang nyata.
Ia mengambil sapu tangan sutra dari lengan bajunya, yang dibordir dengan naga emas—simbol kekuasaannya. Dia memikirkannya sejenak. Jika ini jebakan, setidaknya ia akan mati karena rasa ingin tahu, bukan karena kelaparan yang hampa.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Kaisar melipat sapu tangan itu menjadi tiga bagian yang rapi dan presisi. Lalu, ia berjalan ke tempat tidurnya, mengangkat bantalnya, dan menyelipkan sapu tangan itu di bawahnya.
*
Pagi berikutnya, Li memasuki kamar Kaisar untuk membersihkan dan merapikan. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengamati tempat tidur dengan gugup. Bantalnya masih ada di tempatnya. Ia mengangkatnya.
Di bawahnya, terlipat rapi menjadi tiga, adalah sapu tangan sutra Kaisar.
Li hampir berteriak kegirangan, tetapi ia berhasil menahan diri. Ia mengambil sapu tangan itu dengan hati-hati, menyembunyikannya di balik lengan bajunya, dan bergegas keluar dari kamar.
Ia berlari secepat mungkin ke gudang bawah tanah, di mana Han Qiu sudah menunggu dengan ekspresi cemas.
"Bagaimana?" Han Qiu bertanya, suaranya tegang.
Li tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengeluarkan sapu tangan itu dan menunjukkannya pada Han Qiu. Lipatan yang rapi itu berbicara seribu kata.
Mata Han Qiu melebar, senyum tipis, tetapi penuh kemenangan, merekah di bibirnya.
"Dia setuju."
"Dia setuju!" Li mengulang, kelegaan membanjiri dirinya.
"Kaisar setuju! Kita akan menyajikan sate besok malam!"
Han Qiu mengangguk, menatap sapu tangan itu, lalu ke guci bumbu kacang.
"Ya. Besok malam."
Namun, di tengah euforia itu, sebuah pikiran menyeruak di benak Han Qiu. Kaisar telah setuju. Itu bagus. Tapi, bagaimana jika Gao juga mengetahui tentang surat itu? Atau lebih buruk, bagaimana jika ada mata-mata Gao yang melihat Li menyelipkan surat itu?
Meskipun Li berhasil, dan Kaisar telah memberi lampu hijau, ini hanya permulaan. Malam esok akan menjadi puncak dari semua risiko yang telah mereka ambil. Mereka akan menyalakan api. Mereka akan menciptakan aroma. Dan kali ini, tidak ada lagi alasan "obat bisul busuk" yang bisa menyelamatkan mereka.
Han Qiu menatap Li, ekspresinya kembali serius.
"Baiklah, Li. Malam ini, kita pastikan semua sate dan bumbu sudah siap. Kita harus mempersiapkan diri untuk malam yang paling berbahaya di hidup kita."
Li mengangguk, tetapi di matanya, Han Qiu bisa melihat secercah ketakutan yang tak terpadamkan. Malam berikutnya, mereka akan membawa revolusi rasa langsung ke hadapan Kaisar. Dan jika mereka gagal, bukan hanya kepala mereka yang akan menggelinding. Mungkin seluruh dapur, bahkan Kaisar sendiri, akan menanggung akibatnya.
"Besok malam, Xiao Lu," bisik Li, suaranya serak.
"Besok malam, kita akan memasak untuk Kaisar. Untuk terakhir kalinya."
Han Qiu merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini bukan tentang memasak lagi. Ini adalah tentang nasib. Dan nasib itu akan ditentukan oleh sebatang sate, seberkas api, dan sepiring bumbu kacang yang mungkin akan membawa mereka semua ke tiang gantungan, atau sebaliknya, menyelamatkan sebuah dinasti dari kehampaan rasa.
Ia harus memastikan semuanya sempurna. Tidak ada celah. Tidak ada kesalahan.
"Kita akan melakukannya," kata Han Qiu, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Li.
"Kita akan mengubah nasib. Dengan sate ini."
Han Qiu melipat sapu tangan itu lagi, merapikannya dengan hati-hati. Ia tahu, di baliknya tersembunyi sebuah janji. Sebuah janji yang kini ada di tangan mereka.
Tiba-tiba, dari atas, terdengar suara gedoran keras di pintu gudang kayu bakar.
GEDEBRAK!
Han Qiu dan Li tersentak, membeku di tempat. Aroma sate yang baru saja mereka panggang tercium samar di udara, seolah-olah hantu dari masa depan telah datang untuk menghantui mereka.
"Siapa di sana?!" sebuah suara berat membentak dari atas.
"Ada apa ini? Aku mencium bau… bau aneh!"
Mata Li membelalak, ia menatap Han Qiu dengan panik. Mereka terlalu ceroboh. Aroma itu… aroma sate yang masih menempel di kain, di udara, di rambut mereka…
Langkah kaki terdengar turun ke anak tangga, semakin mendekat. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Mereka terjebak.
"Xiao Lu… itu… itu Chef Gao!" bisik Li, suaranya nyaris tak terdengar.
Han Qiu merasa darahnya berdesir dingin. Chef Gao.
Sekarang? Di sini?
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di atas mereka. Sebuah bayangan gelap jatuh di celah papan lantai.
"Keluar! Siapa pun kalian!" bentak suara itu.
"Atau aku akan membakar seluruh gudang ini sampai ke akarnya!"
Han Qiu menatap tumpukan sate di sampingnya, lalu ke guci bumbu. Mereka telah ditemukan. Semua yang mereka perjuangkan… semua risiko… kini tergantung di ujung pisau Chef Gao.
Ia harus bertindak cepat.
Tapi apa? Apa yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan sate ini… dan nyawa mereka berdua?
Han Qiu meraih pisau kecil yang selalu ia sembunyikan di balik pinggangnya, jantungnya berdebar kencang. Ini adalah akhir, atau sebuah awal yang lebih brutal.
Bayangan itu mulai bergerak, mencari celah untuk melihat ke dalam. Sebuah suara berderit. Seseorang sedang mencoba membuka pintu jebakan yang menuju ke ruang bawah tanah.
Tidak ada waktu.
Han Qiu mencengkeram pisau itu dengan erat, matanya menatap ke arah celah, bersiap untuk menghadapi takdirnya, apa pun itu.
"Siap-siap, Li," desisnya, suaranya penuh tekad yang dingin.
"Apa pun yang terjadi, jangan pernah biarkan dia menyentuh sate ini."
Pintu jebakan itu berderit lebih keras. Sebuah cahaya obor mulai menembus kegelapan, menerangi sebagian wajah Chef Gao yang tampak geram.
"Kalian di sana! Aku tahu kalian ada di sana!" raungnya.
"Aku mencium bau busuk… bau pengkhianatan!"
Han Qiu menatap Li, yang kini memegang sebuah tusuk sate dengan tangan gemetar, seolah itu adalah senjata terakhir mereka. Mereka berdua tahu. Tidak ada jalan kembali.
Cahaya obor itu semakin terang, menerangi mata Chef Gao yang menyala-nyala karena amarah.
Ia akan segera melihat mereka. Ia akan segera melihat sate mereka.
Maka, pertempuran rasa yang sesungguhnya akan dimulai. Sekarang.