Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar Dona. Regi masih terjaga, takut bergerak terlalu banyak, karena tidak mau menganggu putri kecilnya itu. Dona masih tidur di lengannya, wajah kecil itu tampak jauh lebih tenang dibanding semalam, meski alisnya kadang masih berkerut pelan seolah mimpi buruk belum sepenuhnya hilang.
Tidak berselang lama Regi mengusap pipi Dona dengan ibu jari, hati-hati, dan beberapa detik kemudian, mata itu ikut terbuka bersamaan dengan hari Regi yang masih menempel diujung matanya.
Dona menatap wajah Regi lama… seolah memastikan semuanya nyata.
“Papa masih ada?” tanyanya pelan.
“Masih,” jawab Regi lembut tanpa ragu. “Papa selalu ada.”
Dona mengangguk kecil. Tangannya kembali mencengkeram ujung kaus Regi lalu berkata sangat pelan, “Aku takut bangun sendirian.”
Kata anak itu sambil menatap nanar, entah kenapa bayangan dua sosok yang selama ini ia takuti hadir di mimpinya, Dona masih belum tahu siapa sebenarnya Regi, dan kenapa dipersidangan kemarin dua orang itu hadir.
"Pa," panggilnya kembali.
"Iya Nak," sahut Regi.
"Apa benar, Ibu Nindi dan Juragan Halik, orang tua Papa?" tanyanya dengan tatapan nanar.
Regi memejamkan mata sejenak, ia tahu jika anak sebesar Dona pasti faham dengan kedatangan orang tuanya kemarin di meja sidang.
"I ... Iya," sahut Regi dengan nada sedikit bergetar.
Dona menundukkan wajahnya, tak ada marah, tak ada dendam hanya sedikit kecewa, seperti perkataan pertamanya dulu ketika baru berjumpa Regi.
Sementara Regi hanya bisa terdiam, ia takut jika setelah pengakuannya ini Dona akan marah dan membencinya.
"Nak Papa minta maaf ya ....," ucapnya menggantung di udara.
Dona hanya bisa menatap wajah pria dewasa dengan sejuta rasa bersalahnya itu. "Pa, Dona tidak membenci, hanya saja Dona ingin bertanya, kenapa Papa tidak pernah datang?"
Pertanyaan itu seolah menghantam dada Regi dari ketakutan apapun, pria itu menelan ludahnya sendiri, lidahnya seolah keluh untuk berbicara.
"Nak ... maafkan atas semua kebodohan Papa selama ini," ucap Regi dengan segala rasa bersalahnya.
Anak itu memejamkan matanya seolah sedang menahan semua luka yang ia rasakan selama ini bersama dengan ibunya. "Papa tahu kan, selama ini Dona berjuang bersama Ibu, benar-benar berdua."
Regi langsung memeluk tubuh kecil itu, mencoba untuk menenangkan hati yang terlanjur sakit, mencoba untuk menyembuhkan meskipun terlambat, namun di saat anak itu terdiam, ia sadar jika luka dan trauma yang dirasa memang sedalam itu.
"Maaf ... Maaf ...," hanya jata itu yang terdengar dari bibirnya.
"Mulai sekarang jangan tinggalkan Dona lagi, Dona benar-benar tidak punya siapa-siapa," ucap gadis kecil itu meskipun hatinya sakit namun ia tahu jika saat ini hanya ayahnya yang bisa melindunginya dari kejamnya dunia.
Dada Regi terasa seperti diremas, mendengar permintaan sang anak. “Papa janji tidak akan ninggalin Dona, dan maafkan Papa, karena sudah datang terlambat," ucap Regi.
"Dona maafkan Papa, tapi tolong jangan pernah tinggalin Dona lagi, karena Dona benar-benar takut," ungkap anak itu. Seketika tangan kekar itu mulai merengkuh tubuh kecil anaknya.
☘️☘️☘️☘️
Di kamar mandi, Regi menunggu di luar pintu. Ia enggan pergi jauh walau hanya beberapa langkah, ia tahu perlakuannya saat ini tidak bisa menghapus luka masa lalu, namun setidaknya ia datang untuk menebus segala dosanya. Dona mandi pakai piyama beruang yang Regi beli mendadak semalam. Dari balik pintu terdengar suara kecil memanggil, “Pa…?” Gadis yang beranjak remaja itu seolah takut untuk ditinggal jauh.
“Iyaaa?” jawab Regi cepat.
“Hanya mau dengar suara Papa.”
Regi tersenyum samar di balik pintu, ternyata hati anaknya setulus itu meskipun sudah ia sakiti berkali-kali namun anak perempuannya itu masih sangat menghargai kehadirannya sebagai seorang ayah.
“Papa di sini.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Satu jam kemudian, di meja makan, Dona duduk dengan kaki yang di ayun-ayunkan. Regi menyajikan roti panggang yang sedikit gosong dan segelas susu hangat.
Dona menatap piringnya lama, anak itu seolah menertawakan hasil masakan yang dibuat oleh ayahnya itu.
“Papa masak itu?” tanyanya ragu.
“Iya.”
“Kok gosong…”
Regi terkekeh kecil. “Papa memang belum jago.”
Dona tak tertawa. Tapi … bibirnya sedikit terangkat. "Papa besok-besok biar Dona saja yang masak, Papa tinggal duduk manis saja ya!"
"Tidak Sayang," tolak Regi.
"Gak apa-apa Dona sudah terbiasa masak sendiri, dan Dona senang jika ada stok makanan banyak dan dapur yang bersih seperti di rumah Papa," ucap anak itu seolah mencabik-cabik hati pria dihadapannya itu.
"Nak ... mungkin dulu kamu boleh melakukan apapun sendiri tapi tidak untuk sekarang," sahut Regi.
"Kenapa memang?"
Karena sekarang kehidupanmu akan Papa jamin," ujar Regi dengan tatapan hangat.
Dona makan perlahan, masih sesekali menatap Regi, seperti takut lelaki itu lenyap kalau tak dilihat.
Regi paham.Ia tetap duduk di hadapannya, tidak melakukan apa-apa selain menemani.
“Papa…” Dona tiba-tiba bicara sambil memeluk bonekanya.
“Hm?”
“Kalau Papa kerja… Dona sendiri lagi?”
Regi langsung menggeleng. “Tidak dulu. Papa ambil cuti. Waktu kita sekarang punya banyak untuk sama-sama.”
Mata Dona membulat kecil.
“Beneran?”
“Beneran.”
Itu jawaban yang membuat bahu kecil Dona mengendur.
☘️☘️☘️☘️
Siangnya Regi menyiapkan satu sudut ruang keluarga dengan kertas gambar dan pensil warna. Dona duduk di lantai beralaskan karpet empuk, ia menggambar.
Awalnya hanya coretan tak berbentuk, lalu perlahan muncul gambar dua sosok stickman, satu tinggi, satu lagi kecil.
Regi yang memperhatikan dari dekat tersentak haru. “Itu siapa?”
Dona ragu sejenak sebelum menjawab, “Papa… sama aku.”
Suaranya kecil, namun nadanya sudah jauh lebih yakin. Regi tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca, mungkin anak itu masih menyimpan luka namun sebisa mungkin ia ingin membuat harinya yang sekarang lebih ceria lagi.
“Boleh Papa simpan gambarnya?”
Dona mengangguk cepat. Namun beberapa detik kemudian, wajahnya berubah murung.
“Kalau Papa capek sama Dona… Papa pergi lagi gak?”
Pertanyaan polos itu menusuk dalam. Regi langsung duduk di lantai berhadapan dengannya, meraih kedua pipi kecil itu lembut.
“Dengar Papa ya,” katanya sungguh-sungguh.
“Papa boleh capek bekerja… tapi Papa gak akan capek jadi ayahnya Dona.”
Air mata Dona menetes pelan, trauma di masa kecilnya membuat ia takut kehilangan oleh sosok laki-laki.
“Itu beda.”
Ia langsung memeluk Regi, tangan kecilnya kembali mencengkeram kuat, namun kini bukan karena panik, melainkan mencari rasa aman.
Rasa aman, yang sejak dulu ia rindukan dari sosok yang benar-benar ia anggap rumah, bukan pelarian semata.
"Janji ya, Papa tidak akan lagi tinggalin Dona," ucapnya seolah menekankan di kata terakhirnya.
Bersambung ....
Selamat Sore semoga suka ya Kak ...
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......