Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Profesional
Sejak beberapa menit lalu, dua pria tampan sedang berdiri menghadap pantai. Berpengangan pada railing dengan posisi tubuh sedikit membungkuk. Tatapan keduanya tidak pernah teralihkan pada empat wanita yang terlihat bahagia di pinggir pantai.
Tawa mereka sampai terdengar ke vila dan membuat kedua pria itu ikut serta tersenyum.
"Sift mu sudah selesai, sekarang giliranku," ucap Willian ketika jarum jam menunjukkan angka jam 6 sore. Di mana Naren terbabas dari jam kerja, kecuali ada hal darurat yang harus diurus.
"Aku pun ingin menikmati senja," gumam Naren.
Sudut bibirnya membentuk setengah lingkaran, tatapannya tertuju pada wanita yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya. Entah kenapa rasa benci itu tidak bisa hadir di hatinya sebesar apapun Nadira menyakiti dan merendahkan harga dirinya.
"Bilang saja mau cuci mata," tuduh William.
"Mungkin seperti itu," sahut Naren masih dengan perhatian yang sama.
"Oh iya memangnya kamu nggak kangen gitu saja istrimu kalau kita tinggal semingguan?"
"Bagaimana bisa aku merindukannya, jika dia ada di sekitarku?" batin Naren.
"Aku ke dalam dulu ya." Naren berpamitan ketika menyadari jam di ponselnya. Namun, saat akan melangkah dia mendapati teriakan para wanita dan tidak menemukan Leona di antaranya.
Tanpa pikir panjang, Naren melompat dari Rooftop terrace lantai dua. Satu-satunya jalan pintas dibandingkan lewat pintu. Pria itu berlari sekencang mungkin ke arah pantai. Melepas jasnya dan menghampiri Leona yang tampak kesusahan dan berada di luar jalur semestinya.
Naren mengendongan Leona ala bridal style yang kini hampir hilang kesadaran. Meletakkannya perlahan di pasir putih dengan paha sebagai bantalan.
"Nona, nona Leona!" Naren menepuk pipi Leona pelan, tetapi wanita itu tidak merespon apapun.
Naren mulai gelisah, tetesan demi tetesan dari rambutnya mulai mengenai wajah Leona tetapi wanita itu tidak kunjung sadarkan diri.
"Napas buatan," ujar Arina.
"Nona Leona!" Naren terus menyadarkan Leona tanpa peduli saran dari Arina. Tidak mungkin dirinya memberikan napas buatan pada atasannya. Jika ia melakukan hal itu maka ia melanggar perjanjian dengan melakukan kontak fisik.
"Naren nggak ada pilihan lain. Berikan napas buatan atau kita akan mendapatkan masalah!" desak Shanaya yang mulai khawatir melihat wajah pucat Leona.
Naren terdiam, detak jantungnya berpacu tidak semestinya sekarang.
"Naren!" bentak Shanaya.
Pria itu memejamkan matanya, mendekatkan bibirnya pada bibir pucat Leona. Memberikan napas buatan berulang kali sampai akhirnya wanita itu terbatuk.
"Syukurlah." Lutut Naren melemah, ia terduduk di atas pasir putih dengan kepala mendongak. Sedangkan Leona mulai dibantu oleh Arina dan Shanaya.
Saat membuka mata, tatapan Naren tertuju pada Nadira yang dibantu oleh William. Yap, terlalu profesional dalam bekerja, Naren hampir melupakan keberadaan Nadira yang juga tenggelam bersama Leona.
Ia hendak beranjak untuk menghampiri Nadira, tetapi namanya disebut oleh Leona yang masih terlihat lemah.
"Jangan berikan info apapun pada direktur," lirih Leona.
Naren mengangguk pelan, membantu Leona bangun. Melirik Shanaya dan Arina secara bergantian. "Bisa bantu nona Leona ke kamar?"
"Bisa." Shanaya mengangguk.
Kini yang tersisa di pinggir pantai hanya dirinya, Nadira dan William saja.
"Kamu baik- baik saja?" tanya Naren pada Nadira, tetapi wanita itu melewatinya tanpa ada keinginan menjawab pertanyaan Naren.
"Hampir saja kita dalam masalah, untuk kamu gercep Ren. Nona Leona nggak biaa berenang," ujar William merangkul pundak Naren.
Keduanya memutuskan untuk berganti baju terlebih dahulu. Naren yang lebih cepat selesai keluar dari kamar sambil mengosok rambutnya yang basah. Ia berniat untuk mencari ponselnya di pinggir pantai, ia baru ingat ponsel itu ada di jasnya dan tadi jasnya ia lempar sembarang arah.
"Naren."
Naren yang sedang menunduk untuk mengambil ponselnya, segera berbalik dan mendapati Shanaya berdiri sambil memegang gelas yang entah apa isinya.
"Teh jahe biar nggak masuk angin." Memberikan pada Naren.
"Terimakasih, tapi nggak perlu repot-repot." Menerima gelas pemberian Shanaya.
"Aku yang berterimakasih karena kamu menyelamatkan Leona di saat kamu dihadapkan dua pilihan yang pasti sulit untuk kamu putuskan," ujar Shanaya.
Bagaimana tidak, wanita itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Naren berlari seperti orang kesetanan menuju pantai. Awalnya Shanaya mengira Naren akan menyelamatkan Nadira lebih dulu, tetapi siapa mengira Naren langsung mengendong Leona keluar dari air. Beruntungnya tidak lama, William menyusul untuk menyelamatkan Nadira.
"Aku di sini sebagai pengawal nona Leona, sudah seharusnya memprioritaskan," jawab Naren.
Pria itu memilih duduk di sebuah batang kayu yang sengaja di letakkan di sana. Batang kayu sebagai penghias. Shanaya ikut duduk dan memandang langit bertaburkan bintang.
"Aku nggak pernah membayangkan bisa duduk denganmu dan menikmati indahnya bintang di pinggir pantai," gumam Shanaya.
"Mungkin karena sejak dulu kita nggak punya alasan untuk membayangkannya." Naren tersenyum. Dia mengenal Shanaya hanya sebatas teman istrinya sekaligus teman sekelasnya, tidak lebih.
"Sana gih minta maaf sama Nadira tentang apa yang terjadi tadi," ujar Shanya ketika terjadi diam-diaman selama beberapa menit. Terlebih dia melihat Nadira berdiri di Rooftop terracer seolah memperhatikan keduanya.
"Hm." Naren mengangguk, tetapi tidak kunjung beranjak. Berbeda dengan Shanaya yang sudah berlalu masuk ke villa.
Kini Naren sendirian, menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia sigap menerima panggilan yang baru masuk ke ponselnya. Dia berdehem sebentar.
"Bagaimana dengan keadaan di Vila?"
"Terjadi kecelakaan kecil, tapi saya sudah menanganinya Pak."
"Oke."
Sambungan pun terputus begitu saja. Sepertinya kantor keamanan tahu apa yang sedang terjadi di villa, beruntung dia tidak berbohong atau entah apa yang terjadi padanya.
Naren berdiri hendak memasuk ke villa, tetapi ia dikejutkan dengan keberadaan Nadira yang kini sudah berada di hadapannya.
Sulit di pungkiri senyumnya mengembang. Dihatinya masih ada wanita itu, terlebih mereka memiliki buah hati yang mengemaskan.
"Anak-anak sangat baik, kalau kamu merindukannya bisa langsung ke rumah. Aku nggak akan melarangmu untuk bertemu mereka," ucap Naren yang mengira Nadira menghampirinya untuk menanyakan anak-anak.
Sebagai ibu tidak mungkin rasa rindu itu tidak hadir saat terpisah lebih dari seminggu tanpa kabar. Namun, pemahaman Naren salah pada istrinya. Nadira datang bukan untuk itu.
"Kenapa harus jadi pengawal Leona? Dari banyaknya pekerjaan kenapa harus di sekitarku, Mas!" tanya Nadira dengan tatapan kebenciannya.
Naren terhenyak mendapati pertanyaan Nadira. Jadi perempuan itu benar tidak mempertanyakan keadaan anak-anak mereka?
"Karena mas harus mencari nafkah dan mas diterima sebagai pengawal. Lagi pula mas nggak mengganggumu."
"Mas sengaja ingin mempermalukan aku?"
"Bahkan mas nggak berpikir sejauh itu saat menerima pekerjaan ini. Saat mas memutuskan untuk berpisah, saat itu pula mas melepasmu dan nggak akan menganggumu. Jika keberadaan mas membuatmu nggak nyaman. Maaf. Tapi mas nggak akan berhenti karenamu, anak-anak butuh nafkah."
Naren melewati Nadira sembari membawa gelas pemberian Shanaya. Dari banyaknya perjuangan yang Naren lakukan, tidak satupun Nadira menganggapnya.
"Ternyata aku salah menilaimu."
.
.
.
.
.
Geer banget Naren nerima pekerjaan demi Nadira😏
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren