Istri Paksa Tuan Arka

​Rolls-Royce Phantom itu melaju mulus di jalanan ibu kota, tetapi suasana di dalamnya terasa seperti sedang melintasi badai yang dahsyat. Arka duduk di sebelah Alya, diam. Keheningannya jauh lebih menakutkan daripada teriakan kemarahannya di sekolah. Aura kekuasaan dan kemarahan yang dipendam di dalam mobil itu begitu kuat hingga Alya merasa sulit bernapas.

​Alya menatap tangannya yang memerah akibat cengkeraman Arka di pergelangan tangannya. Pikirannya kacau, terbagi antara rasa malu yang memuncak karena pengakuan publik itu dan ketakutan akan hukuman yang akan datang. Arka telah menghancurkan ilusi terakhirnya tentang kehidupan normal.

​Setelah sepuluh menit keheningan yang menyiksa, Arka memecahkannya. Suaranya rendah, nyaris berbisik, tetapi setiap kata terasa seperti es yang menghantam.

​“Kau tahu konsekuensi dari ketidakpatuhan, Alya,” katanya, tanpa menoleh. “Aku sudah memberimu satu aturan terpenting: Jangan pernah menarik perhatian yang tidak kuinginkan. Dan apa yang kau lakukan? Kau membuat dirimu menjadi headline gosip murahan. Kau mengundang mata-mata ke gerbang rumahku.”

​Alya memberanikan diri. “Itu bukan salahku, Tuan Arka. Saya tidak tahu bagaimana mereka mendapatkan foto itu. Saya tidak pernah menceritakan tentang Anda pada siapa pun!”

​Arka menoleh ke Alya, matanya yang tajam menembus. “Itulah yang menjadi masalah utamamu, Alya. Kau berpikir kau bisa mengendalikan lingkungan di luar sangkar ini. Kau berpikir kau bisa menjadi Nyonya Darendra saat di villa, dan menjadi Alya si siswi SMA saat di sekolah. Kau harus tahu, kedua dunia itu tidak pernah bisa terpisah.”

​“Saya hanya ingin menyelesaikan sekolah saya!” balas Alya, nadanya memohon.

​“Sekolah?” Arka tertawa, tawa sinis yang tidak lucu. “Setelah apa yang terjadi hari ini? Kau pikir kau masih bisa kembali ke sekolah itu dan fokus pada pelajaranmu? Setiap orang di sana, mulai dari penjaga gerbang hingga Kepala Sekolah, akan melihatmu sebagai ‘istri kecil’ Arka Darendra. Mereka akan melihatmu sebagai gadis yang dijual seharga lima miliar.”

​Kata-kata itu menghantam Alya dengan kejam. Arka benar. Sekolah, rumah kedua dan pelarian terakhirnya, kini telah tercemar.

​“Apa yang akan Anda lakukan?” bisik Alya.

​Arka menyandarkan kepalanya ke belakang, memejamkan mata sesaat, seolah sedang menyelesaikan sebuah perhitungan bisnis yang rumit.

​“Rencana telah berubah,” katanya, membuka mata. “Kau tidak bisa lagi menghadiri sekolah secara fisik. Itu terlalu berisiko. Setiap pergerakanmu akan diawasi, setiap kontakmu akan dicurigai. Itu akan mengganggu fokusku, dan aku tidak suka gangguan.”

​Alya terkejut. “Anda akan mengeluarkan saya? Tapi saya harus lulus! Tinggal satu tahun lagi!”

​“Kau tidak dikeluarkan. Kau akan menyelesaikan sekolahmu melalui program homeschooling privat yang paling eksklusif di Asia. Guru-guru terbaik akan datang ke villa. Kau akan tetap lulus, bahkan dengan nilai yang lebih baik, karena sekarang kau punya waktu 24 jam sehari untuk belajar,” jelas Arka, dengan nada final.

​Alya merasakan kesedihan yang mendalam. Arka tidak hanya mengambil kebebasannya, ia juga mengambil kehidupan sosial dan sisa masa remajanya. Dia benar-benar mengurungnya.

​“Anda mengurung saya, Tuan Arka,” kata Alya, air matanya kini mengalir deras.

​Arka tidak tergerak oleh tangisan Alya. Dia meraih tangan Alya yang gemetar dan mencium punggung tangan itu, tepat di atas cincin kawin.

​“Aku tidak mengurungmu. Aku melindungimu. Aku memberimu perlindungan absolut, Alya. Kau adalah berlian yang mahal, dan berlian harus disimpan di brankas yang paling aman. Di luar sana, kau rapuh. Di sini, di sisiku, kau aman,” katanya.

​Arka menarik tangan Alya ke pipinya. Alya bisa merasakan kulitnya yang dingin dan keras.

​“Kau melihat apa yang terjadi di sekolah hari ini, Alya. Aku datang ke sana untuk satu alasan: untuk menunjukkan pada semua orang bahwa kau adalah properti yang tidak boleh disentuh. Kau milikku. Hanya milikku.”

​Alya menahan tangisannya dan menatap Arka. “Dan Deo? Apa yang akan Anda lakukan padanya?”

​Ekspresi Arka mengeras. “Dia menyentuhmu. Dia menuduhmu di depan umum. Dia mengganggu Nyonya Darendra. Aku sudah memberinya peringatan yang jelas di depan umum. Tapi jika dia berani menghubungimu lagi, atau berbicara tentangmu, aku pastikan ayahnya akan kehilangan semua kontraknya dengan Darendra Group. Kau ingin aku melakukan itu, Alya? Kau ingin menghancurkan hidup sahabatmu karena dia menyentuh apa yang bukan miliknya?”

​Alya menggeleng cepat. “Tidak, jangan! Jangan sakiti Deo. Saya akan melakukan apa pun yang Anda mau. Saya akan patuh. Saya tidak akan pernah mencoba menghubungi dunia luar lagi.”

​Arka tersenyum puas, senyum kemenangan yang kejam.

​“Itu baru istriku,” kata Arka. Dia mendekat, mencium lembut bibir Alya. Ciuman itu singkat, tetapi memiliki otoritas yang luar biasa. “Kau harus ingat, Alya. Aku tahu kau mencoba melarikan diri dariku. Aku tahu kau melihat berkas-berkas itu di laci. Aku tahu kau mengetahui bahwa aku sudah menguntitmu sejak kau masih kelas 10. Itu tidak membuatku mencintaimu lebih sedikit. Itu hanya membuatku semakin ingin memilikimu.”

​Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya kini menjadi sumpah.

​“Aku sudah merencanakan pernikahan ini sejak lama. Hutang itu hanyalah hadiah dari semesta untuk mempermudah rencanaku. Dan sekarang kau tahu kebenarannya. Tidak ada lagi kebohongan. Tidak ada lagi rahasia. Kau adalah istriku. Kau akan menjadi ibu dari anak-anakku. Kau akan mempelajari duniaku, dan kau akan mencintaiku, karena tidak ada tempat lain bagimu untuk pergi. Aku adalah duniamu, Alya.”

​Alya menyadari bahwa perlawanan langsung hanya akan membawa kehancuran bagi orang-orang yang ia cintai—terutama ayahnya, dan sekarang Deo. Arka adalah kekuatan alam yang tidak bisa dilawan.

​Dia harus mengubah taktik.

​Alya memejamkan mata, membiarkan Arka memeluknya—pelukan yang dingin dan posesif—sampai mobil itu tiba di villa.

​“Saya mengerti, Tuan Arka,” kata Alya, suaranya tenang dan dipaksakan. Dia menggunakan intonasi rendah yang diajarkan Arka. “Saya tidak akan melanggar aturan lagi. Saya akan menjadi istri yang Anda inginkan. Saya akan belajar. Saya akan patuh.”

​Arka tersenyum. Senyum itu mencapai matanya, dan itu adalah pertama kalinya Alya melihat Arka tampak benar-benar bahagia.

​“Mulai besok, kita akan menjalani Babak Dua dari pernikahan kita, Alya. Aku akan memperkenalkanmu pada tanggung jawab Nyonya Darendra. Kau akan bertemu orang-orang penting. Kau akan menjadi mitraku,” janji Arka, membelai pipi Alya. “Dan pada akhirnya, kau akan berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu dari kehidupan yang biasa-biasa saja.”

​Alya menundukkan kepalanya, mengunci tekadnya di dalam hati. Aku tidak akan berterima kasih padamu, Arka. Aku akan patuh untuk sementara. Aku akan mempelajari semua kelemahanmu, semua rahasiamu, semua tentang luka lama yang dikatakan Tanaya. Dan kemudian, ketika aku menjadi sepintar dan sekuat dirimu, aku akan menemukan jalan keluar.

​Alya tidak lagi melawan. Dia kini memainkan peran: Istri Kecil CEO yang tunduk. Tapi di balik tatapan patuh itu, ada mata-mata yang baru lahir.