Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Makan Malam Keluarga
Suara mesin mobil berhenti di depan halaman rumah menjelang malam. Udara sejuk sisa hujan sore masih terasa. Dari balik tirai, Alya menatap mobil hitam yang baru saja berhenti. Ia tahu, itu suaminya.
Pintu rumah terbuka pelan. Arga masuk tanpa banyak suara, menenteng tas kerja di satu tangan dan kantung kertas berlogo restoran mahal di tangan lainnya. Ia terlihat lelah, dasinya sudah sedikit longgar, dan rambutnya agak berantakan. Alya segera berdiri dari kursi makan, menunduk sopan.
“Udah makan?” suara Arga terdengar datar, hampir tanpa emosi.
Alya menggeleng pelan. “Belum, Mas…” ucapnya pelan, suaranya agak serak karena tubuhnya masih lemah.
Tanpa banyak bicara, Arga meletakkan kantung kertas di meja makan.
“Nih, gue beli makanan. Kalau nggak suka ya udah.”
Nada suaranya tetap dingin, tapi entah kenapa malam itu, Alya merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda, meski hanya sehelai tipis perhatian yang tersembunyi di balik ketusnya nada bicara itu.
Alya tersenyum samar. “Terima kasih, Mas.”
Ia menyiapkan dua piring, mengatur meja makan dengan perlahan, bahkan menuangkan air ke gelas Arga. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, ia tetap ingin menghormati suaminya.
Arga duduk, membuka bungkusan makanan, lalu makan tanpa banyak bicara. Alya hanya mengambil sedikit nasi. Nafsu makannya belum sepenuhnya kembali. Namun setiap kali Arga mengangkat sendok, Alya selalu memperhatikannya sekilas.
Sesekali, Arga melirik. Ia tahu wajah Alya masih pucat. Matanya sedikit sayu, tetapi tetap lembut seperti biasa. Ia tahu, Alya sedang tidak sehat. Tapi lidahnya terasa kelu untuk sekadar menanyakan kabar. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menahan. Entah ego, atau apa.
Mereka makan dalam diam, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring.
Sampai akhirnya Alya bersuara pelan.
“Mas Arga…”
Arga tidak langsung menjawab, hanya menoleh sedikit.
“Hmm?”
“Akhir pekan nanti… Mama Retno sempat menelpon,” ucap Alya hati-hati. “Katanya, akan ada acara makan malam keluarga besar. Mama ingin kita datang, kalau Mas tidak keberatan.”
Arga berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendok perlahan.
“Makan malam keluarga?” ulangnya datar.
“Iya, Mas. Mama bilang, sudah lama keluarga besar nggak kumpul.” Alya menatap tangan sendiri, berusaha tersenyum.
Arga menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya di kursi. “Lo yang diminta datang, kan?”
“Hmm… iya, tapi… Mama juga berharap Mas bisa datang.”
Hening sesaat. Suara jam dinding terdengar jelas.
Alya menunduk, tidak berani menatap mata Arga.
Dalam hatinya, Alya tahu, mungkin permintaannya itu terlalu berani. Tapi ia juga tahu betapa bahagianya suara Mama Retno tadi siang. “Kalau bisa, ajak Arga ya, Nak. Mama ingin kalian datang berdua."
Kata-kata itu menancap di dada Alya. Ia hanya ingin menuruti keinginan sang ibu mertua, meskipun ia tahu Arga mungkin tidak akan menyambut baik ide itu.
Arga akhirnya menjawab lirih, “Lihat nanti aja.”
Jawaban pendek itu sudah cukup membuat Alya lega, meskipun tidak berarti pasti.
Setelah makan, Alya membereskan meja makan dan mencuci piring di dapur. Arga masih duduk di ruang makan, memperhatikan punggung Alya yang bergerak lambat tapi teratur. Dalam diam, entah kenapa, hatinya mulai terusik oleh hal-hal kecil.
Ia memperhatikan bagaimana Alya, meski sedang sakit, tetap berusaha menyambutnya dengan baik. Bagaimana ia tetap bersuara lembut tanpa keluhan. Bagaimana setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah tidak pernah disertai kemarahan.
“gue bawa makanan doang, dia tetap bilang terima kasih…” gumam Arga pelan.
Ia merasa aneh. Seharusnya tidak peduli. Tapi malam itu, matanya sulit berpaling dari sosok perempuan itu.
---
Di kamar, setelah Alya selesai merapikan dapur, ia mengambil wudhu dan menunaikan sholat isya. Gerakannya lambat, karena tubuhnya masih lemas, namun khusyuk.
Arga memperhatikannya dari ambang pintu yang tidak di tutup rapat oleh Alya tanpa bersuara. Lampu kamar hanya menyala redup. Dalam sujud yang tenang itu, Arga merasakan sesuatu yang asing, rasa damai yang anehnya menular.
Alya selesai berdoa, lalu menatap ke arah jendela. Ia tidak tahu Arga sedang memperhatikannya. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, lembutkan hati suamiku. Sesungguhnya Engkau yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.”
Arga segera berpaling saat Alya selesai lalu berbalik arah, pura-pura baru datang.
“Lo udah minum obat?” tanyanya tiba-tiba sambil menyodorkan plastik obat yang ia beli di apotik saat perjalanan pulang barusan, nada suaranya tetap datar, tapi terdengar sedikit lebih pelan dari biasanya.
Alya menoleh, sedikit terkejut karena Arga yang lebih dulu bicara.
“Sudah, Mas. Terima kasih,” jawabnya. “Sekarang sudah agak mendingan.”
“Kalau masih pusing, jangan kerja dulu besok.”
Alya menatap Arga, mencoba memastikan apakah ia tidak salah dengar.
“Tapi besok kan—”
“Gue bilang jangan kerja dulu,” potong Arga.
Suaranya keras, tapi justru membuat dada Alya terasa hangat. Karena dari nada ketus itu, terselip kepedulian yang tidak bisa disembunyikan.
“Baik, Mas,” ucap Alya lembut. “Terima kasih.”
Arga hanya berdeham pelan, lalu beranjak pergi. Namun sebelum itu pintu, ia sempat menatap Alya sekali lagi, perempuan sederhana yang entah bagaimana, selalu membuat hatinya sedikit tenang setiap kali melihatnya.
---
Malam semakin larut. Di dalam kamar, Alya sudah berbaring lebih dulu. Arga duduk di kursi dekat jendela, menatap langit gelap di luar sana. Di meja, ponselnya berbunyi, pesan dari Bima.
“Bro, weekend kita nongkrong lagi? Gue dapet tempat baru yang keren.”
Arga menatap layar itu lama. Biasanya, tanpa pikir panjang, ia akan menjawab “Gas.”
Tapi malam ini… jempolnya ragu.
Pikirannya masih melayang pada suara lembut mamanya di telepon tadi, “Mama ingin lihat kalian bahagia, Ga. Walau cuma di meja makan keluarga.”
Ya, Arga juga dikabari oleh mamanya perihal makan malam keluarga itu.
Arga menatap ponselnya sekali lagi, lalu menguncinya tanpa membalas.
Ia menatap ke arah langit yang tenang. Dan untuk alasan yang belum ia pahami sepenuhnya, Arga merasakan sesuatu yang hangat.
Malam itu, sejak menikah, Arga beberapa hari ini tidak keluar rumah, tidak ke bar, tidak mabuk, dan tidak mencari pelarian. Ia hanya duduk diam, mendengar detak jam, dan suara napas pelannya.
Sederhana, tapi mungkin… di sanalah awal perubahan dimulai.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣