NovelToon NovelToon
Maya Dan Cangkulnya

Maya Dan Cangkulnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Romansa pedesaan
Popularitas:131
Nilai: 5
Nama Author: R.Fahlefi

Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gendong

Maya memutuskan untuk membeli sepeda motor baru untuk Gilang walau kredit. Itulah sebabnya Maya mengajak Gilang ke dealer di kota kecamatan.

Tidak butuh waktu yang lama prosesnya sudah selesai. Tidak ada dealer yang ragu untuk memberi kredit pada seorang PNS.

"Motornya bagus May, lebih bagus dari yang kemarin." Gilang tersenyum lebar, mengelus-elus body motor matic keluaran terbaru.

Maya mengangguk, ia juga sempat mencoba motor baru mereka.

Sekarang, Gilang tidak perlu lagi naik angkot untuk bekerja.

Di dapur Maya tersenyum lega. Ia ikut bahagia melihat suaminya punya motor baru. Hal yang selama ini tidak pernah mereka lakukan satu sama lain.

Yaitu kepedulian.

Maya peduli pada Gilang, dan Gilang juga sekarang terlihat peduli kepadanya.

Saat Gilang gajian dan sesuai kesepakatan, Maya sekarang memegang utuh gaji Gilang. Tetapi meskipun begitu Maya tetap memberikan Gilang uang jajan yang cukup. Maya juga tetap membagi gaji Gilang kepada Mirna dan mertua, membayar hutang.

3 purnama berlalu setelah pembelian motor kredit. Akhir-akhir ini Maya sangat sibuk dengan ladangnya.

"Mungkin pak kades perlu memukul kepala istrinya pake cangkul May, siapa tahu Bu Sumi bisa berubah."

"Ras! Udah deh, kamu tuh selalu saja ngungkit-ngungkit kejadian itu."

"Tapi May, lihat sendiri kan dulu pas Gilang kau pukul pake cangkul? Dia berubah! kau tahu sendiri sekarang Bu Sumi semakin menjadi-jadi, kemarin saja Pak Kades matanya bengkak, pasti habis nangis semalaman."

Maya mendengus, ia pusing dan malas membahas rumah tangga orang. Lagian, dia malu mengingat-ingat kejadian gagang cangkul itu.

"Mungkin bukan karena cangkulnya Ras, bisa jadi karena bang Gilang sendiri yang mau berubah."

"Nggak! Aku tetap yakin itu gara-gara cangkul." Tegas Laras, "atau jangan-jangan cangkul itu ada jin-nya?" Sambung Laras menebak.

"Kau kebanyakan nonton filem horor!" Maya berdiri, mengangkat karung-karung berisikan buah cabe yang baru saja dipanen.

"Bu Maya, kami pamit ya??"

Ucap salah seorang ibu-ibu yang berada di ladang itu.

Maya melambai, "iya Bu, makasih, besok datang lagi ya?"

Tiga orang ibu-ibu itu mengiyakan. Mereka hari ini membantu Maya di ladang.

"Lihat May, kalau ladang cabemu seperti ini terus, kau bisa jadi juragan di kampung ini."

Maya menatap Laras, wajahnya memerah, "juragan?"

Laras mengangguk, "panenmu melimpah, setengah hektar ladang cabe, ditambah lagi kalau kau mau membeli lahan disebelah. Katanya sih mau dijual, yang punya udah pindah ke kota."

Maya menatap lahan kosong di sebelah lahan mereka. Selama ini lahan itu memang kosong, hanya diisi oleh rerumputan liar.

"Tapi, pasti butuh modal yang banyak Ras, kau bisa pinjamin aku modal?"

Laras menepuk kening,"Boro-boro modal, beli skincare aja aku yang paling murah! Tapi kalau modal semangat aku bisa pinjamin."

Maya tertawa, "Nah kalau itu aku juga punya stok yang banyak."

Mereka tertawa.

Setelah menyusun semua karung-karung cabe di pondok kecil ladang, Gilang pun tiba dengan motor dah sebuah mobil pick up dibelakangnya.

Mobil pick up itu adalah kepunyaan tauke dari kota. Seperti kebiasaan di desa-desa, di sini hasil panen memang sering dijemput langsung oleh pembeli. Mereka menimbang semua hasil panen hari ini. 150 kilogram, dikali 25 ribu perkilonya. Itu setara hampir 4 juta rupiah.

Maya tersenyum senang sekali, lebar hingga gigi-gigi putihnya terlihat. Ia menggenggam uang itu dengan rasa syukur. Seolah letih bekerja selama ini menguap dan digantikan dengan bahagia. Ia ingat selama ini begitu susah memegang uang, mengingat bahwa ia sering mencari-cari lauk di ladang, meminta nasi kepada mertua, mencuri-curi uang dari dompet Gilang. Sekarang, semua telah berubah.

"Ini untuk kamu Ras," Ucap Maya menyerahkan 2 lembar uang seratus ribuan.

Laras menerima uang itu, matanya berbinar kemerahan karena uang itu emang warnanya merah, "Uhhh, makasih May, tapi apa nggak terlalu dikit?"

Maya melotot.

Laras tertawa, "Becanda, oh ya aku pulang duluan ya, mau mandi. Ntar aku mau malam mingguan."

"Malam mingguan? Emang kau udah punya...?"

Belum sempat Maya bertanya Laras udah pergi.

"Dasar kecentilan!! Awas aja."

Gilang yang sudah berada disana tertawa melihat mereka berdua.

Malam itu, Maya sengaja tidak memasak. Mereka makan diluar sekaligus merayakan hasil panen pertama. Sari ikut, ia sangat senang. Mereka pergi ke sebuah pasar malam.

Maya membiarkan Sari memilih sendiri permainan yang ia suka. Mulai dari mandi bola, menaiki komedi putar, lempar gelang hingga Sari capek sendiri.

Momen seperti ini sangat jarang mereka rasakan. Apalagi Sari, anak itu bahkan baru pertama kali jalan-jalan dengan kedua orang tuanya.

Mereka malam makan di sebuah angkringan pinggir jalan. Seperti pasangan muda, Maya menempel erat duduk disebelah Gilang, sementara Sari didepan mereka hanya sebagai penonton.

Saat piring-piring berisikan nasi dan ayam gorang dihidangkan, sesekali Gilang menyuapi istrinya itu. Memberikan minum ketika Maya hampir tersedak tulang, memberikan tissue ketika ada nasi yang menempel di bibir Maya.

Begitu juga Maya, ia bahkan memisahkan tulang dan daging agar Gilang bisa makan dengan mudah. Ia juga memberikan sedikit daging ayamnya kepada Gilang.

Sari membiarkan kedua orang tuanya seperti itu, tersenyum-senyum.

"Bu.. bu.." kata Sari.

Maya menoleh.

"Aku juga mau."

Maya mengernyit, bingung.

"Aku juga mau tulangnya dipisahin."

Mendadak wajah Maya memerah. Ia lupa sedang dihadapan anak kecil.

Gilang tertawa, sebagai lelaki ia lebih santai mendengar ucapan putrinya itu.

"Kalau Sari mau, sini ayah yang pisahin tulangnya. Ibumu mungkin capek nak." Kata Gilang.

Lelaki itu sekarang sudah bersikap manis. Tidak ada lagi Gilang dengan sikapnya yang semena-mena. Ia sudah kembali menjadi Gilang yang tampan, yang lembut, yang cool seperi Gilang pada masa mudanya. Bedanya sekarang Gilang sudah menjadi ayah, bukan lagi pemuda yang suka merayu dan menggombal seperti jaman dulu.

Maya tersipu malu, hatinya hangat dan bergetar. Perasaan seperti ini sudah lama ia rindukan. Apalagi kini Sari tampak lebih bahagia, ia sekarang nggak perlu lagi menemani ibunya ke ladang cari lauk. Baju-bajunya banyak yang diganti baru, keperluan sekolahnya juga tercukupi.

Pukul 10 malam mereka sampai di rumah, Sari sudah terlelap tidur sejak di atas motor sekupi kredit. Gilang menggendongnya ke tempat tidur.

Maya berdiri disamping pintu kamar sambil memelintir ujung jarinya.

"Abang nggak gendong aku sekalian?" Ucapnya malu-malu.

Mata Gilang menyipit, menatap istrinya yang masih cantik seperti princess desa itu. Cuma telapak tangannya sedikit kasar karena bertani. Tapi selebihnya, ia masih terlihat fresh tidak kalah dengan gadis-gadis.

"Kau mau digendong May?" Tanya Gilang memastikan.

Maya menunduk sambil senyum-senyum, "Tapi.. gendong sa-yang.

Gilang pun berjalan mendekati Maya.

Jantung Maya mendadak berdetup-detup. Hampir lompat dari sarangnya.

Padahal, mereka sudah menikah lebih 8 tahun. Tapi, perasaan gugup sekarang sama seperti perasaan gugup ketika malam pertama dulu.

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta yang kedua kali? Dengan orang yang sama?

Tangan Gilang mulai menjamah bagian pinggang Maya, kemudian satu tangannya lagi meraih belakang lutut. Gilang mengangkat Maya, menggendongnya sambil mata mereka bertatap.

Ada pesona yang tidak pernah hilang dari Gilang. Wajah tampan, sorot mata tajam, serta bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah dagu membuat Gilang tampak menawan. Meski wajah Gilang sudah mulai tampak garis-garis kecil pertanda usianya yang sudah hendak kepala tiga.

Gilang kemudian membawa Maya ke kamar. Lalu menjatuhkan tubuh istrinya dengan lembut.

Selebihnya.... Mereka melakukannya.

Malam indah itu diisi oleh desis nafas mereka berdua. Kulit mereka bersentuhan satu sama lain. Kali ini, mereka melakukannya dengan cinta, dengan hasrat yang begitu kuat, dengan gairah yang begitu hebat.

***

Satu bulan, terhitung Maya sudah panen 5 kali. Tanaman cabenya memberikan hasil melimpah, bahkan melebihi ekspektasi.

Keadaan ekonomi keluarga membaik. Gaji Gilang tetap Maya yang pegang. Dipotong hutang pada Reza, dipotong hutang bayar kredit motor, uang untuk mertua dan Mirna juga disisihkan, selebihnya untuk kebutuhan mereka.

Furniture-furniture baru telah menghiasi rumah. Atap direnovasi, lantai di cor ulang dengan baik. Dan sekarang, Maya juga sudah membeli hp baru berlogo apel, meski seken tapi barang itu tetap terasa mewah untuk kalangan orang di kampung.

Tapi masalah baru juga mulai datang menimpa keluarga mereka. Apalagi kalau bukan iri dan dengki. Seperti hukum alam, semakin tinggi pohon semakin kuat pula angin yang mencoba menjatuhkan.

Adalah Bu Sumi, alias istri pak kades yang menaruh fitnah itu.

"Alah.. si Maya itu kalau bukan karena pesugihan, darimana pula ia pandai bertani? Kalian tengok kan? Masa luas tanah nggak nyampe satu hektar mereka bisa jadi orang kaya mendadak?"

Beberapa ibu-ibu di warung tertarik.

"Ah yang bener bu? Emang ada buktinya?"

Bu Sumi menghela nafas, menggeleng-geleng.

"Kalian ini sudah buta atau pura-pura buta? Coba saya tanya, siapa orang yang punya lahan paling luas di kampung?"

"Juragan?"

"Nah, itu dia. Juragan saja tidak bisa punya hp mahal kayak si Maya, padahal luas tanahnya dari ujung ke ujung."

"Itu karena juragan nggak pandai main hp Bu Sumi, makanya tak beli."

Beberapa ibu-ibu mengangguk-angguk setuju.

"Kalau kalian nggak percaya ya sudah. Saya cuma ingatin. Kalian sudah dengar kan kalau akhir-akhir ini di desa banyak yang meninggal?"

Kali ini Bu Sumi menurunkan volume suaranya.

"Jangan sembarangan Bu Sumi, orang meninggal itu nggak ada hubungannya dengan Maya."

"Aku nggak ngomong sembarangan kalau nggak ada buktinya. Kemarin, nenek Raya meninggal karena kesedek biji nangka, si Manto meninggal karena jatuh dari pohon aren, dan bapaknya si Santi meninggal karena penyakit aneh. Kalau meninggalnya wajar sih nggak ada masalah. Saya yakin mereka meninggal karena dijadikan tumbal, apalagi sebelum meninggal bapaknya Santi sempat membantu Maya panen cabe."

Bu Sumi mengatakan itu dengan serius, membuat ibu-ibu di warung itu mulai berbisik-bisik. Ada yang membenarkan, namun banyak juga yang nggak langsung percaya.

Tiba-tiba,, saat Bu Sumi masih memoyongkan bibirnya karena merasa benar sendiri, Laras datang dengan suara langkah keras.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!