Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Semenjak dua hari terakhir Calista tidak masuk sekolah, kegelisahan terus menghimpit Xavier. Ia mencoba menekuni pelajaran,namun bayangan Calista yang biasanya ada disampingnya terus muncul, mengganggu fokusnya. "Kamu di mana Calista..." gumamnya pelan dalam hati, nada suaranya hampir tak terdengar, tapi penuh kerinduan dan kekhawatiran.
Xavier menunduk di bangku belajarnya, pensil di tangan berputar-putar tanpa arah. Setiap huruf di buku pelajaran seolah hanya bercampur menjadi coretan tak berarti. Matanya menatap kosong ke jendela kelas berharap—entah pada siapa—agar Calista muncul, tersenyum seperti biasanya.
Hatinya gelisah, seakan ada sesuatu yang menekan dari dalam. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Calista membuat dadanya semakin sesak. "Semoga... kamu baik-baik saja," bisiknya lirih, suara itu hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Di setiap istirahat, Xavier selalu memeriksa ponselnya. Berkali-kali ia menekan layar, berharap pesan atau panggilan masuk dari Calista, tapi layar tetap kosong. Sebuah rasa cemas menelusup ke setiap inci tubuhnya, campur aduk antar rindu, takut, dan rasa bersalah karena tidak bisa berada di sampingnya saat dia sedang sakit.
"Bagaimana, sudah ada kabar belum?" tanya Alvaro sambil menepuk pelan bahu Xavier.
Xavier hanya menggeleng pelan, wajahnya tetap muram. "Belum," jawabnya singkat, sorot matanya kembali menunduk ke meja.
Alvaro menghela napas, lalu mencondongkan tubuh. "Bagaimana kalau kita ke rumahnya saja? Gue penasaran keadaan dia."
Xavier terdiam. Usul itu sebenarnya sudah berputar-putar di kepalanya sejak pagi, tapi ada hal lain yang menahannya. Opa Arya akhir-akhir ini menuntunnya pulang lebih cepat untuk latihan, bahkan jadwalnya dimajukan tanpa alasan yang jelas. Xavier tak bisa menolak, tapi hatinya... ingin sekali memastikan Calista baik-baik saja.
"Bagaimana, Vier?" Alvaro kembali menatapnya serius.
Hening sesaat. Xavier mengepalkan tangan di bawah meja, menimbang antara kewajiban dan perasaannya. Hingga akhir, perlahan ia mengangguk. "Baiklah."
Senyum lega muncul di wajah Alvaro."Sip. Pulang sekolah gue, temanin lo. Gue juga ikut khawatir sama bocil itu."
Xavier melirik sekilas, tersenyum tipis meski matanya tetap sendu. "Terima kasih, Al."
"Udah, jangan banyak mikir," balas Alvaro mencoba menghibur. "Kalau dia lihat lo nyuram terus kayak gini, bisa-bisa bocil itu makin sedih pas lihat lo."
Xavier tak menjawab, hanya menatap keluar jendela. Bayangan wajah pucat Calista terus menghantui pikirannya. Di dalam hati ia berjanji—apapun yang terjadi, ia harus melihatnya hari ini.
••
Calista sudah duduk bersandar di ranjang dengan wajah merajuk. Pipinya menggembung, matanya menatap ke arah Dokter Rangga yang tengah memeriksa hasil tes terbarunya.
"Dok, aku bosan banget di sini," rengeknya sambil menarik selimut ke dagu. "Aku kan sudah baikan. Lihat saja, aku bisa duduk sendiri."
Vero yang duduk di sampingnya langsung menepuk tangan Calista. "Sayang, jangan keras kepala. Kamu baru sadar beberapa hari lalu. Harus banyak istirahat."
"Tapi, Mah..." Calista menoleh, suaranya melembut, penuh rayuan. "Aku kangen kamar aku. Kangen sekolah juga. Masa aku harus di sini terus?"
Nathan yang baru masuk sambil membawa buah, terkekeh kecil melihat wajah putrinya. "Tuh, mulai deh drama rengekannya keluar."
"Papa!" protes Calista dengan wajah sebal, tapi justru membuat semua di ruangan tersenyum tipis.
Dokter Rangga mendekat sambil membuka kaca mata, menatap Calista dengan wajah tegas. "Calista, kamu tahu penyakitmu nggak main-main. Kalau terlalu dipaksakan, kondisimu bisa drop lagi."
Calista menunduk, lalu mengangkat tatapannya penuh harap. "Tapi aku janji, Dok. Aku bakal jaga diri. Aku nggak akan bandel. Please, izinin aku pulang. Rumah sakit bikin aku stres."
Vero ikut menatap Dokter Rangga, tampak bimbang. "Dok, kalau memang masih berisiko, lebih baik jangan dulu."
Namun, Calista cepat-cepat memotong. "Mamaaa... aku janji nggak akan bikin Mama khawatir. Aku akan minum obat tepat waktu, nggak akan capek-capek. Aku cuma pengin di rumah.
Nathan ikut menatap istrinya, lalu ikut mendesah. "Sepertinya dia nggak akan berhenti merengek sebelum dikabulkan."
Dokter Rangga mengusap pelipisnya, terlihat antara jengkel dan geli. "Kamu ini ya, kalau soal minta pulang paling pintar merayu."
Calista langsung tersenyum manis, matanya berbinar harap. "Jadi boleh, Dok?"
Beberapa detik sunyi. Hingga akhirnya Dokter Rangga menghela napas panjang dan mengangguk pasrah. "Baiklah, tapi dengan syarat. Kamu harus benar-benar menjaga kesehatanmu. Tidak boleh kecapekan, tidak boleh telat minum obat, dan jangan bandel. Kalau sampai ada tanda-tanda drop, kamu langsung balik ke sini. Mengerti?"
"Siap, Dok!" jawab Calista dengan wajah berbinar. "Aku janji, sumpah, nggak akan ngecewain."
Vero masih menatap putrinya penuh khawatir, tapi akhirnya tersenyum kecil sambil mengusap rambutnya. "Dasar keras kepala. Ya sudah, Mama turutin. Tapi ingat, janji itu harus kamu tepati."
Calista tersenyum lebar, lalu memeluk Ibunya erat. "Makasih, Mah. Makasih, Pah. Makasih juga, Dok."
Nathan tertawa kecil melihat tingkah anaknya. "Ya ampun, baru beberapa menit lalu merengek, sekarang senyumnya udah kayak habis menang undian."
Semua di ruangan ikut tertawa kecil, dan suasana yang semula tegang perlahan mencair. Meski khawatir, mereka tahu semangat Calista juga bagian penting dari kesembuhannya.
••
Mobil keluarga berhenti di rumah besar keluarga Nathan. Vero segera turun lebih dulu, lalu membantu Calista keluar dengan hati-hati. Gadis itu mengenakan dress berwarna pastel, wajahnya masih pucat tapi tersenyum lega bisa menghirup udara rumahnya lagi.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga," ucap Vero sambil menggandeng putrinya.
Calista menghirup udara dalam-dalam, matanya berbinar. "Rasanya beda banget, Mah. Rumah itu...memang selalu paling nyaman."
Nathan menutup pintu mobil lalu mendekat. "Ayo, jangan lama-lama di luar. Kamu masih butuh istirahat."
Saat mereka hendak masuk, suara langkah cepat terdengar dari arah gerbang. Xavier bersama Alvaro baru saja tiba. Keduanya tampak buru-buru, bahkan napas Xavier masih sedikit terengah.
"Calista!" seru Xavier spontan.
Calista tertegun, menoleh ke suara itu. Matanya membulat begitu melihat Xavier berdiri hanya beberapa meter darinya.
"Vier..." ucapnya lirih, seperti tak percaya.
"Lo dari mana saja? Kenapa nggak masuk sekolah? Lo baik-baik saja kan?" suara Xavier bergetar, penuh kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.
Calista menatapnya, tersenyum tipis, mencoba menenangkan hati Xavier. "Aku... baik-baik saja, Vier. Aku baru saja pulang dari luar kota. Iya kan, Mah?" ucapnya sambil menoleh ke arah orang tuanya, berharap mengangguk.
Nathan dan Vero saling berpandangan sebentar, lalu tersenyum mengiyakan. "Iya, Nak. Kami memang dari luar kota," kata Nathan lembut, mencoba menenangkan situasi.
Alvaro ikut angkat bicara, wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran yang bercampur lega. "Syukurlah lo baik-baik saja, Ca. Gue dan Xavier udah panik karena lo nggak masuk sekolah dua hari. Waktu terakhir kita ketemu, lo terlihat pucat banget," ungkapnya, dengan nada hangat, tapi sedikit cemas.
Calista mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca, tersenyum haru. "Makasih ya, kalian sudah perhatian sama aku. Tapi tenang... aku baik-baik saja," ucapnya pelan. Ada rasa hangat dihatinya, tapi juga sedikit bersalah karena harus menyembunyikan kondisinya dari teman-temannya.
Xavier, kini perlahan mendekat. Matanya tak lepas dari Calista, menatap setiap gerak-geriknya seakan ingin memastikan gadis itu benar-benar baik-baik saja. Ada begitu banyak hal yang ia ingin katakan—rasa khawatir, lega, bahkan sedikit kesal karena Calista menyembunyikan keadaan sebenarnya—tali lidahnya terasa kaku.
"Lo... serius nggak apa-apa?" tanya Xavier, suaranya terdengar ragu dan lembut, hampir berbisik.
Calista menatapnya, menahan napas sebentar sebelum tersenyum dengan penuh keyakinan. "Iya, aku baik-baik saja, Vier. Serius," jawabnya, menepuk perlahan tangan Xavier yang nyaris menyentuhnya.
Vero menatap ke arah Xavier dan Alvaro, lalu tersenyum ramah. "Terima kasih sudah peduli sama Calista, Nak. Masuklah, kebetulan kami baru sampai."
Alvaro menoleh ke Xavier, lalu menepuk bahunya pelan. "Tuh, kesempatan lo, Vier."
Xavier hanya melirik sekilas sahabatnya, sebelum akhirnya kembali menatap Calista. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hatinya melihat gadis itu kembali pulang dengan selamat.
"Boleh... gue temani lo sebentar?" ucap Xavier dengan suara nyaris berbisik.
Calista tersenyum lebih lebar kali ini, lalu mengangguk pelan. "Tentu saja."
Nathan tersenyum tipis, lalu memberi isyarat agar mereka segara masuk rumah. "Ayo, semua. Jangan lama-lama berdiri di luar."
Dengan perlahan, Calista melangkah masuk ke dalam rumahnya, sementara Xavier mengikuti dari belakang. Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, rasa sesak yang terus menghantui Xavier perlahan mundur.
jangan lupa Vote😭🫡🙏🥰