Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. GERBANG YANG DITUTUP
..."Kadang yang paling sunyi bukan rumah kosong, tapi rumah yang ditinggali seseorang yang berhenti hidup di dalamnya."...
...---•---...
Mobil hitam mengilap melaju tenang menembus jalan berkelok di Dago Pakar. Doni duduk di kursi belakang, tas ransel lusuh tergeletak di pangkuannya. Di dalamnya hanya ada pakaian sederhana, pisau koki kesayangan yang sudah menemaninya sepuluh tahun, dan foto Sari dalam bingkai kecil. Hanya itu yang ia bawa dari hidup lamanya.
Sopir yang membawanya, Pak Hendra, pendiam tapi sopan. Sejak menjemput Doni dari Dapur Sari's setengah jam lalu, ia hanya bicara seperlunya. Keheningan di dalam mobil terasa formal, berbeda dengan riuhnya angkot yang biasa Doni tumpangi.
Doni sibuk menenangkan detak jantungnya yang mulai tidak beraturan. Rumah-rumah mewah berdiri megah di kanan kiri jalan, tersembunyi di balik pagar tinggi dan deretan pohon rindang. Setiap rumah seperti istana kecil dengan halaman luas dan gerbang otomatis. Udara di sini pun berbeda: sejuk, bersih, tanpa campuran asap knalpot atau bau sampah dari pasar.
Ini bukan dunianya.
"Kita sudah sampai, Pak." Pak Hendra memecah keheningan.
Mobil berhenti di depan gerbang besi tinggi. Kamera keamanan memindai mobil. Pak Hendra melambaikan kartu akses ke sensor. Gerbang terbuka otomatis tanpa suara.
Doni menelan ludah. Tenggorokannya kering.
Di balik gerbang, jalan setapak menuju rumah yang lebih tepat disebut puri. Bangunan dua lantai dengan arsitektur modern minimalis, dominan warna putih dan kaca lebar. Taman depan tertata rapi: rumput hijau seperti permadani, pohon hias berdiri seimbang, dan air mancur kecil berkilau. Pemandangan itu begitu sempurna hingga terasa tidak nyata.
"Silakan turun, Pak Doni. Ibu Ratna sudah menunggu."
Doni keluar dari mobil. Kakinya terasa berat. Udara di sini terlalu sejuk untuk bulan November.
Pintu depan terbuka. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan keluar mengenakan blazer abu-abu dan rok pensil hitam. Rambutnya diikat rapi, kacamata bertengger di hidungnya. Setiap gerakannya terukur.
"Selamat pagi, Pak Doni. Saya Ratna, manajer sekaligus asisten pribadi Nona Naira." Genggamannya kuat dan tegas. "Selamat datang. Silakan masuk."
Doni mengikutinya masuk. Langkah pertamanya di lantai marmer putih mengilap terasa seperti melangkah ke dunia lain. Ruang tamu luas terbentang dengan sofa putih besar berbentuk L, meja kopi kaca yang mengilat, dan lukisan abstrak raksasa di dinding. Jendela kaca dari lantai ke langit-langit menampilkan pemandangan kota Bandung. Kabut pagi masih menyelimuti sebagian gedung di kejauhan.
Semuanya bersih. Rapi. Tanpa noda. Seperti rumah pameran, bukan rumah yang dihuni.
Doni berdiri canggung. Tangannya yang kasar dan penuh bekas luka terasa asing di tengah kemewahan ini.
"Silakan duduk sebentar. Saya ambil dokumen kontrak." Ratna menghilang ke ruangan lain, sepatu haknya mengetuk lantai marmer.
Doni duduk di ujung sofa, hampir tidak berani bersandar. Tasnya ia letakkan di lantai. Matanya menjelajah, mencari sesuatu yang familiar.
Tidak ada foto. Tidak ada bingkai yang menampilkan wajah tersenyum atau momen bahagia. Tidak ada sentuhan personal yang membuat rumah terasa bernyawa. Hanya furnitur mahal, dekorasi dingin, dan keheningan yang memekakkan telinga.
Ratna kembali dengan map tebal berlogo PT Kulina Rasa Sejahtera. Ia duduk di sofa seberang, membuka map dengan gerakan efisien.
"Baik, Pak Doni. Kita mulai pembacaan kontrak. Lima puluh pasal, lalu Bapak tanda tangan di setiap halaman."
Doni mengangguk. Tenggorokannya kering. "Baik."
"Pasal satu, durasi kontrak: Koki pribadi akan melayani klien selama seribu hari kalender berturut-turut..."
Suara Ratna mengalun datar, monoton. Doni berusaha fokus, tapi pikirannya melayang. Di mana Naira? Bukankah seharusnya klien bertemu kokinya di hari pertama?
"...Pasal dua belas, batasan profesional. Koki pribadi dilarang keras untuk terlibat dalam hubungan personal di luar konteks profesional dengan klien..."
Suara Ratna berhenti. Ia melepaskan kacamatanya dan menatap Doni tajam.
"Pasal ini sangat penting, Pak Doni. Saya perlu pastikan Bapak benar-benar memahaminya."
"Saya paham. Tidak ada kontak yang tidak perlu. Hubungan murni profesional."
"Bukan hanya itu." Ratna bersandar, jari-jarinya mengetuk map pelan. "Nona Naira sedang dalam masa pemulihan. Ia tidak membutuhkan tambahan masalah apa pun. Ia membutuhkan stabilitas, rutinitas, dan yang terpenting, batasan yang tidak boleh dilanggar. Bapak di sini bukan teman, bukan terapis, apalagi... hal lain. Bapak di sini hanya untuk memasak. Titik."
Cara Ratna mengucapkan "hal lain" membuat Doni merasakan tekanan yang menusuk.
Naira Adani. Aktris cantik, terkenal, dan saat ini rapuh. Kombinasi yang berbahaya bagi seorang koki yang akan menghabiskan seribu hari bersamanya.
"Saya mengerti. Saya di sini karena membutuhkan uang untuk menyelamatkan restoran saya. Bukan untuk hal lain."
Ratna menatapnya sejenak, lalu mengangguk puas. "Bagus. Kita lanjut."
Pembacaan berlanjut. Pasal demi pasal. Larangan demi larangan. Hingga akhirnya Ratna menutup map dan menyodorkan pulpen mahal.
"Silakan tanda tangan di setiap halaman yang sudah saya tandai. Total ada lima belas halaman."
Tangan Doni bergerak mekanis. Tanda tangan. Halaman baru. Tanda tangan. Setiap goresan terasa seperti mengikat dirinya dengan rantai tak kasat mata, menjual kebebasannya selama seribu hari.
"Selamat, Pak Doni. Kontrak resmi berlaku mulai hari ini. Sekarang saya antar Bapak ke kamar dan dapur."
Mereka berjalan melewati lorong panjang dengan lantai kayu parket. Lukisan abstrak tergantung di dinding, tapi tidak ada foto pribadi. Rumah ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat tinggal.
"Ini kamar Bapak." Ratna membuka pintu di ujung lorong.
Doni melangkah masuk dan nyaris terdiam. Kamar itu lebih besar dari ruang tamu Dapur Sari's. Ada tempat tidur besar dengan seprai putih bersih, lemari tanam, meja kerja, dan jendela lebar menghadap taman belakang. Cahaya matahari masuk lembut melalui gorden tipis berwarna krem.
"Semua keperluan pribadi sudah disediakan. Kalau ada yang kurang, beri tahu saya atau Mbak Tuti, asisten rumah tangga." Ratna berdiri di ambang pintu. "Istirahat sebentar, lalu saya tunjukkan dapur. Makan siang harus siap pukul dua belas lewat tiga puluh menit."
"Nona Naira ada permintaan khusus untuk menu hari ini?"
Ratna sempat terdiam. Sorot matanya sedikit berubah. "Nona Naira... tidak punya preferensi akhir-akhir ini. Buat saja apa yang Bapak rasa baik. Tapi hindari makanan terlalu berat atau berminyak. Ia sedang menjaga pola makan."
Atau mungkin sedang tidak makan sama sekali, pikir Doni.
"Baik, saya akan siapkan sesuatu yang ringan tapi bergizi."
Ratna mengangguk lalu pergi. Bunyi klik pintu terdengar final.
Doni menaruh tasnya di tempat tidur, mengeluarkan foto Sari, dan meletakkannya di meja samping. Wajah Sari yang tersenyum lebar memberi kehangatan kecil pada ruangan yang terasa steril ini.
"Aku sudah sampai, Sari." Bisiknya pelan. "Doakan aku bisa lewati hari pertama dengan baik."
Setelah menyimpan pakaian, Doni keluar mencari dapur. Tidak sulit menemukannya. Begitu melangkah masuk, ia terpana.
Dapur itu surga bagi setiap koki. Meja dapur marmer besar dengan kompor gas enam tungku profesional. Oven listrik ganda. Kulkas besar baja nirkarat. Rak bumbu lengkap dengan rempah dari seluruh dunia. Pisau-pisau profesional tersusun rapi di dudukan magnetik. Panci dan wajan premium tergantung rapi di atas meja dapur.
Jendela besar menghadap taman belakang. Cahaya alami masuk sempurna, membuat dapur terasa luas dan nyaman.
Doni membuka kulkas. Di dalamnya, bahan makanan segar tertata rapi: sayuran organik, daging premium, ikan segar, berbagai keju, dan produk susu. Semua berkualitas tinggi.
Senyum tipis muncul di wajahnya. Setidaknya untuk memasak, ia punya semua yang dibutuhkan.
Tapi kemudian ia sadar. Dapur sehebat ini untuk siapa? Untuk perempuan yang bahkan tidak mau turun bertemu kokinya sendiri?
Doni mengambil dada ayam organik, sayuran segar, dan bumbu-bumbu. Keputusannya bulat: Sup Ayam Jahe dengan Sayuran. Hidangan sederhana, hangat, dan menenangkan. Makanan yang mengingatkan pada rumah, pada kehangatan yang hilang.
Tangannya mulai bergerak otomatis. Potong ayam. Bersihkan sayur. Iris jahe tipis-tipis hingga aromanya yang tajam menyeruak. Panaskan kaldu. Setiap gerakan menjadi meditasi.
Aroma jahe mulai memenuhi dapur, disusul bawang putih yang ditumis, lalu kaldu ayam mendidih perlahan. Uap panas naik ke udara. Doni memasak dengan hati penuh, seperti yang selalu diajarkan Sari.
"Makanan yang dimasak dengan cinta akan terasa berbeda, Don. Orang yang memakannya akan merasakan kehangatan itu, walau mereka tidak tahu kenapa."
Pukul dua belas lewat dua puluh lima menit, sup sudah siap. Doni menuangkannya ke mangkuk porselen putih, menata sayuran di atasnya, lalu menaburkan daun bawang cincang dan bawang goreng sebagai hiasan. Warna-warna di mangkuk itu hidup: hijau, oranye, putih, dan kuning keemasan.
Ia menyiapkan nampan kayu, meletakkan mangkuk sup, sendok perak, serbet putih terlipat rapi, dan segelas air lemon hangat.
"Pak Doni, sudah siap?" Ratna muncul di pintu dapur tepat waktu. "Saya antar ke atas."
"Biar saya saja." Ini adalah upaya terakhir Doni untuk bertemu kliennya.
Ratna menggeleng. "Tidak. Nona Naira tidak ingin bertemu siapa pun saat makan. Makanan diantar ke kamarnya, diletakkan di meja dekat pintu. Itu aturan mutlak."
Kekecewaan mencengkeram dada Doni. Ia sudah menuangkan kehangatan di dalam sup itu. Tapi ia bahkan tidak bisa melihat wajah orang yang akan memakannya.
"Tanggapan akan saya sampaikan nanti." Ratna mengambil nampan dengan hati-hati. "Ini untuk kebaikan semua pihak, Pak Doni. Nona Naira membutuhkan privasi."
Doni menatap punggung Ratna yang membawa nampan naik ke lantai dua. Langkah kakinya terdengar pelan di tangga, lalu menghilang. Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar samar dari atas, lalu hening lagi.
Ia berdiri sendirian di dapur megah itu. "Ini akan jadi seribu hari yang sunyi," bisiknya.
Doni membersihkan meja dapur, mencuci panci dan pisau, lalu mengeringkannya. Tangannya bergerak mekanis, tapi pikirannya melayang ke atas, ke lantai dua, ke kamar Naira yang tidak pernah ia lihat.
Tiga puluh menit kemudian, bunyi langkah kaki terdengar dari tangga. Ratna kembali membawa nampan. Dari jauh, Doni sudah bisa melihat: mangkuk sup masih penuh, hampir tidak tersentuh. Hanya air lemon yang berkurang sedikit.
Doni menatap mangkuk sup yang sudah dingin itu. Kuah yang tadi jernih dan mengepul kini mulai berubah warna. Sayuran yang tadi segar kini terlihat layu. Bawang goreng yang tadi renyah kini lembek. Perasaan hampa memenuhi dadanya.
"Ia tidak makan?"
Ratna meletakkan nampan di meja dapur dengan pelan, menghindari tatapan Doni. "Nona Naira... bilang terima kasih. Tapi ia tidak lapar."
Tidak lapar. Kata-kata yang paling menyakitkan bagi seorang koki.
Doni menatap mangkuk sup itu lebih lama. Ia sudah menuangkan kehangatan, harapan, dan usahanya di sana. Tapi semua itu ditolak tanpa dicoba.
"Besok coba lagi, Pak Doni." Ratna menyentuh bahunya sebentar. "Ini bukan tentang masakan Bapak. Ini tentang dia."
Tapi bagi Doni, masakannya adalah dirinya. Dan hari ini, dirinya ditolak.
...---•---...
...Bersambung...