Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 tangisan dan senyuman
Tangisan Permaisuri Lang pecah di gerbang istana Wang seperti hujan pertama di padang mati. Ia tidak indah. Ia tidak teratur. Ia bukan tangisan seorang wanita bangsawan. Ia adalah jeritan seorang ibu yang akhirnya menemukan napas yang pernah direnggut darinya oleh takdir.
Yun Sia hanya berdiri membeku. Tubuhnya terasa kaku seperti patung batu. Matanya terbuka, tapi ia tidak benar-benar melihat. Dunia terasa berputar samar, sementara setiap kata “anakku” yang terucap dari wanita asing itu seperti pisau tipis yang menusuk jantungnya bukan melukai, tetapi membuka luka lama yang bahkan ia tidak tahu pernah ada.
A-yang berdiri di depannya seperti benteng. Tangannya terkepal, tubuhnya tegang, sorot matanya tajam menghalau siapapun yang mendekat. Di dalam hati, sesuatu bergejolak hebat—bukan kemarahan pada kedatangan rombongan Lang, melainkan ketakutan. Ketakutan bahwa dunia yang tenang ini… akan direnggut darinya.
Liyan dan Mochen berdiri di kanan-kiri, refleks menguatkan formasi, sementara prajurit Wang di kejauhan bergerak tanpa suara, menunggu perintah.
Suasana genting itu akhirnya pecah oleh suara gemetar seorang perempuan tua.
“Yang Mulia…”
Ibu Suri Wang keluar dari aula dalam, jubahnya sedikit terseret karena ia melangkah terlalu cepat, terlalu tergesa. Di belakangnya, Kaisar Tua Wang berjalan dengan tongkat emasnya, wajah keriput itu jauh dari tenang. Pengawal-pengawal istana langsung berlutut, tapi beliau mengabaikannya, tatapannya terpaku pada satu pemandangan: seorang wanita asing berlutut di depan gerbang, menangis seolah seluruh jiwanya terkoyak.
“Ada apa ini…” lirih Ibu Suri.
Di belakang mereka, Pangeran Kedua Wang Lee, ikut keluar dengan wajah waspada, sementara Wang Jia menepi perlahan dari barisan pelayan, realitas belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi.
Kaisar Tua Wang mengangkat tongkatnya pelan, memberi isyarat agar semua pihak menurunkan senjata.
“Ini istana Wang,” ucapnya dengan suara berat tapi tegas. “Kami tidak menyelesaikan perkara keluarga dengan baja.”
Ia melangkah mendekat ke A-yang.
“Putraku,” katanya pelan. “Biarkan tamu bicara dengan kepala dingin.”
A-yang menoleh pada ayahnya, rahangnya mengeras. “Ini bukan tamu biasa, Ayah.”
Kaisar Tua mengangguk kecil. “Justru karena itu, kita jangan bertindak seperti orang bodoh.”
Ibu Suri melangkah ke depan, pandangannya beralih pada Permaisuri Lang yang masih berlutut, menangis tanpa mengindahkan apa pun di sekelilingnya.
"Permaisuri Lang,” kata Ibu Suri lembut, “apa pun yang telah terjadi padamu, kau tidak perlu merendahkan dirimu di hadapan gerbang orang lain. Bangunlah… dan marilah bicara sebagai manusia kepada manusia.”
Permaisuri Lang mengangkat kepalanya perlahan. Mata merahnya menatap Ibu Suri Wang, dan untuk sesaat, dua perempuan itu saling diam seolah mengenali luka satu sama lain tanpa perlu kata.
Permaisuri Lang berdiri dengan bantuan Kaisar Lang. Nafasnya masih tersengal, tapi ia akhirnya mampu berkata dengan suara yang lebih terkendali, meski masih bergetar. “Kami tidak datang sebagai penguasa… kami datang sebagai orang tua.”
Ibu Suri Wang terdiam.
Kaisar Tua Wang menghela napas pelan. “Jika begitu, marilah masuk ke aula. Kita tidak akan membiarkan luka dibuka di tanah keras.”
Ia menoleh pada A-yang. “Izinkan mereka masuk.”
A-yang ragu sekejap, lalu menyingkir setengah langkah.
“Liyan,” bisiknya rendah, “jangan lepaskan Yun Sia barang satu detik.”
“Siap, Yang Mulia.”
Yun Sia masih kaku. Wang Jia bergerak pelan mendekat, lalu diam-diam menggenggam tangan gadis itu.
“Aku di sini,” bisik Wang Jia. “Kamu tidak sendirian.”
Yun Sia menelan ludah. Tangannya dingin.
Rombongan Lang pun memasuki istana Wang.
...****************...
Aula Utama Wang yang biasanya dipenuhi aroma dupa dan ketenangan kerajaan hari itu terasa seperti wadah dua dunia yang berbenturan. Para pejabat Wang berdiri berjejer, sementara utusan Lang duduk di sisi seberang. Di tengah, kursi kekaisaran menjadi tempat A-yang duduk dengan tubuh tegap namun mata gelap.
Yun Sia duduk tidak jauh di samping Wang Jia, di bawah pengawasan Liyan yang berpura-pura santai, tapi sebenarnya mengawasi setiap helaan napas rombongan Lang.
Kaisar Tua Wang memulai dengan suara tenang, “Sekarang, silakan jelaskan. Apa arti semua ini?”
Permaisuri Lang berdiri dengan suasana aula hening. “Kami kehilangan anak kami,” katanya pelan. “Bukan karena kematian. Karena pengkhianatan.”
Matanya menatap Yun Sia. “Putri kami dibuang saat masih bayi oleh selir yang iri karena rahimnya kering. Dia percaya jika anak itu hilang, cinta akan kembali padanya. Tapi yang ia lakukan hanya melukai semua orang.”
Suara Kaisar Lang menyambung berat, “Kami mencarinya bertahun-tahun. Mencari di setiap desa, setiap hutan, setiap mayat gadis kecil yang ditemukan di sungai. Hingga akhirnya… pasukan kami menemukan jejaknya di Wang.”
Permaisuri Lang menahan tangis yang muncul lagi. “Putri kami hidup… tumbuh… tanpa kami.”
Aula terasa seperti menahan napas.
Wang Jia menggenggam tangan Yun Sia semakin kuat.
Yun Sia menatap lantai, jantungnya seperti dipukul dari dalam.
“Dan kau mengatakan…” suara Kaisar Tua Wang perlahan, “gadis ini…”
Permaisuri Lang mengangguk.“…adalah anakmu.”
Yun Sia akhirnya mengangkat kepala.
“Apa buktinya?” tanyanya pelan tapi tajam.
Semua orang terkejut, Yun Sia berdiri perlahan. “Apa buktinya… bahwa aku bukan hanya gadis hutan yang kebetulan mirip putrimu?”
Permaisuri Lang tersentak.
Jenderal Qiao langsung melangkah ke depan dan menyerahkan dokumen tebal.
“Ini catatan kelahiranmu,” katanya perlahan. “Nama bidan. Tanggal lahir. Jam kelahiran. Luka kecil di bahu kiri seperti bekas cakar burung—”
“Aku punya itu,” gumam Yun Sia, terbelalak ringan.
Dan untuk kedua kalinya hari itu, dunia terasa runtuh di dadanya.
Kaisar Tua Wang menghela napas berat. “Jika ini benar…”
Namun A-yang berdiri dan seluruh balairung seketika menegang. “…maka ada satu hal yang ingin aku katakan,” ucap A-yang.
Semua mata tertuju padanya.
“Aku tidak peduli siapa dia di masa lalu,” katanya dengan suara dingin tapi penuh emosi. “Bagiku, dia Yun Sia. Gadis yang tinggal di jeram, yang membuat bubur lengket di dapur istanaku, yang mencuri jubahku dan menyebutnya piyama. Dan jika dunia datang untuk mengambilnya hanya karena garis darah—”
Ia menanti. “…maka dunia harus lewat aku dulu.”
Wang Jia langsung menepuk mulutnya agar tidak bersorak.
Ibu Suri menatap A-yang lama dan tersenyum kecil. Senyum yang mengandung bangga… dan cemas, “Putraku,” katanya, “ini bukan pertempuran, ini persimpangan.”
Permaisuri Lang maju satu langkah.
“Aku tidak ingin merampas apa pun,” katanya lirih. “Aku hanya ingin mengenal anakku. Tidak sebagai putri… sebagai ibu.”
Yun Sia berdiri kaku.
Lalu akhirnya…
Ia melangkah.
Satu langkah.
Dua.
Hingga berada tepat di depan Permaisuri Lang. “Apa kamu marah padaku… karena aku tidak mengenalmu?”
Permaisuri Lang terisak kecil.“Aku marah… pada semesta yang mencurimu dariku.”
Yun Sia menutup mata dan untuk pertama kalinya sejak ia mengerti arti talang hujan dan helai rambut, ia merasakan sesuatu mengalir di dadanya.
Bukan bahagia.
Bukan sedih.
Tapi…
Seperti pulang.
Namun belum selesai dunia memeluknya…
Suara ceroboh terdengar. “Kalau kalian semua selesai menangis…”
Semua orang menoleh, Pangeran Kedua Wang Lee, berdiri santai, tangan bersedekap.
“…bolehkah aku bertanya satu hal penting?”
Kaisar Tua mengerutkan kening. “Apa, Lee?”
“Apakah itu berarti… kita punya calon permaisuri dari Lang sekarang?” ucapnya polos.
Aula membeku.
Lalu…
Wang Jia meledak tertawa.
Prajurit menggigit bibir.
Ibu Suri terbatuk keras.
A-yang memijat pelipisnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak datang, Permaisuri Lang…
tersenyum kecil sambil menangis.
“Aku rasa…” ucapnya lemah, “anak perempuanku belum bisa aku serahkan. Ia bahkan belum kumarahi karena kabur lima belas tahun.”
Yun Sia melirik A-yang. "Ayang..."
A-yang berkata cepat, “Aku siap dimarahi juga.”
Dan untuk pertama kalinya, tawa ringan menggema di aula yang tadi penuh luka.
Takdir mungkin baru saja membuka pintunya.
Namun setidaknya…
Malam ini…
Mereka tidak sendiri.
bersambung