SANG PENJAGA

...~•Happy Reading•~...

Nathania menunduk sambil memegang dadanya tanpa bisa mengatakan sepata kata. Sebenarnya, dia pun memikirkan setiap kata yang ditanyakan Raymond dan juga jawabannya di kantor polisi.

Namun kejadian Raymond ditusuk dan takut kehilangan menenggelamkan apa yang mereka berdua nyatakan di depan polisi, Frans dan anak buahnya, juga kedua Bibi.

"Saya tahu, kantor polisi bukan tempat yang tepat dan pantas untuk lakukan itu. Tapi itu sudah terjadi, dan tidak bisa diabaikan. Seakan itu angin yang tidak bisa dipegang, atau hanya candaan."

"Kau pikirkan lagi dan jawab saya dalam keadaan tidak terdesak atau dipaksa oleh keadaan seperti di kantor polisi." Raymond bicara serius tanpa mengalihkan pandangannya dari Nathania.

"Iya, Pak." Nathania tetap menunduk sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan. Selain gugup, cemas dan grogi, di pikiran dan hatinya berkecamuk banyak hal. Dia was-was dengan apa yang akan dikatakan Raymond.

Melihat sikap Nathania, Raymond jadi berubah pikiran untuk mendesak, karena Nathania sangat nervous. "Sebelum kita bicara lebih lanjut tentang lamaran itu, kau harus tahu satu hal. Saya pernah menikah...." Ucapan Raymond terputus, karena Nathania langsung berdiri dan melihat Raymond dengan mata membulat.

Tiba-tiba dia terduduk dan jongkok di lantai sambil membungkuk dan memegang dadanya dengan tangan bergetar, serta air mata mulai mengalir.

Raymond tersentak melihat reaksi Nathania yang tidak terduga. Kejadian pertama kali melihat Nathania di Ampas Mall, kembali terjadi di depan matanya. Jantungnya berpacu kuat dan cepat, juga kebingungan dengan reaksi Nathania.

Melihat Nathania makin menangis dan terguncang, Raymond jadi berdiri. Dia memegang pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut, nyeri, mengalahkan rasa sakit bekas tusukan pisau. 'Apa Thania kecewa karna aku bukan pria bujangan?' Raymond bertanya dalam hati sambil memijit pelipisnya.

Raymond menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan kuat untuk mengurangi rasa tegangnya. "Thania, ada apa? Mengapa kau seperti itu?" Raymond coba bersabar dan bertanya mengatasi perasaan hatinya yang panik. Sehingga dia menghembuskan nafas panjang berulang kali.

"Pak, kalau sudah menikah, mengapa melamar saya?" Nathania bertanya dengan bibir bergetar dan air mata membanjiri pipi.

Raymond terkejut mendengar pertanyaan Nathania. Saraf-saraf halusnya bergerak cepat melihat kondisi Nathania yang sangat terguncang dan bertanya dengan bibir bergetar. "Nathaniaaa....!!" Raymond memanggil dengan nada lebih tinggi dan suara keras. Sontak Nathania melihat Raymond, tapi tetap menangis dan menekan kuat dadanya dengan kedua tangan.

Raymond ingin berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Nathania, tapi tidak bisa. Kondisi luka di perut masih terasa sakit. Dia berdiri dan berniat menyentuh Nathania, tapi jadi was-was. Walau hatinya sangat ingin menenangkan Nathania.

"Lihat saya...!" Raymond tidak menurunkan suara dan tekanan nadanya. Nathania jadi mengangkat wajah melihat Raymond, tapi tangannya tetap memegang dada sambil terisak.

"Kau mengerti arti pernah dan sudah...?" Tanya Raymond sambil menatap lurus ke dalam mata Nathania yang banjir. Nathania mengangguk, pelan.

"Kau bermasalah dan tidak bisa menerima saya, kalau pernah menikah?" Raymond bertanya serius, tanpa mengalihkan tatapan dari mata Nathania.

Sontak Nathania terduduk di lantai mendengar pertanyaan Raymond. "Oh.... Tadi sa ya ...." Ucapan Nathania jadi terbata-bata setelah mendengar pertanyaan sekaligus penjelasan Raymond.

Nathania melepaskan tangan dari dada dan menghapus air matanya dengan tangan. Kemudian dia memeluk kedua lutut dengan perasaan bersalah dan malu, tanpa berani menatap Raymond. Dia berharap bisa jadi garam, agar larut tak berbekas.

Tapi dia manusia yang harus hadapi konsekuensi dari reaksi tanpa berpikir dan menyimak dengan benar. Trauma masa lalu dibohongi masih mempengaruhi alam bawah sadarnya, sehingga satu kata menikah meruntuhkan kewarasannya.

"Jawab saya! Kau tidak bisa menerima saya, kalau pernah menikah?" Raymond mengulang pertanyaan yang sama untuk memastikan.

"Bi sa, Pak." Jawab Nathania pelan dan makin merasa bersalah mendengar suara Raymond yang serius dan berat. Hatinya terasa sangat sakit, sudah salah mengartikan yang dikatakan Raymond.

"Oh, Thania. Kau membuat kepalaku jadi sakit. Jangan menangis seperti tadi lagi." Raymond memegang pundak Nathania dan mengusapnya berulang kali.

"Mari berdiri. Jangan duduk seperti itu." Raymond menyadari, Nathania belum bisa lepas dari trauma masa lalu, saat terjadi peristiwa di Mall. Dia memegang pundak Nathania dan mengajaknya berdiri.

Ucapan dan sikap Raymond menghilangkan rasa malu di hatinya. Dia berdiri dan memberanikan diri untuk memeluk Raymond. "Maafin saya, Pak." Nathania merasa sangat bersalah.

Nathania mengira Raymond sudah menikah dan melamar dia. Sehingga dia sangat terkejut, terguncang, karena sudah terlanjur sayang dan berharap perasaannya berbalas. Tapi dia tidak bisa terima kalau Raymond suami orang.

Respon Nathania yang langsung minta maaf dan memeluk, meruntuhkan keraguan di hati Raymond. Dia melunak dan balik memeluk Nathania. "Maaf juga, tadi membentakmu. Lain kali, bertanya. Jangan seperti tadi. Kau bisa membuat jantungku berpindah tempat." Ucap Raymond sambil mengusap punggung Nathania yang bersandar di dadanya.

Kehangatan setiap kata yang diucapkan Raymond penuh kasih sayang, mengalir membasahi dan mengenangi hati Nathania. Hatinya meluap dengan rasa sayang yang melimpah. "Terima kasih, Pak." Bisik Nathania pelan di dada Raymond dan makin mempererat pelukannya.

Seluruh beban dan energi Raymond seakan menguap, hingga dia merasa lemas. "Sekarang selain bekas tusukan nyeri, lambung jadi meronta." Ucapan Raymond membuat Nathania melepaskan pelukannya. Dia lupa perut Raymond belum sembuh.

Raymond tiba-tiba merasa lapar saat mendengar Nathania bisa menerima dia sebagai pria yang pernah menikah. Hal itu jadi beban pemikirannya sejak melamar Nathania di kantor polisi.

Bayangan kegagalan di masa lalu mengingatkan dia agar tidak gegabah memutuskan untuk melangkah lagi di tempat yang sama. Tapi sudah terucap dan Nathania sudah terima di kantor polisi. Sehingga dia tidak bisa mundur dan mau bertanggung jawab, juga berbenah. Agar apa yang pernah terjadi di masa lalu tidak terulang.

Nathania menghapus airmata dengan tangan sambil tersenyum malu. Dia ingin terbang bisa merasakan pelukan dan detak jantung Raymond. "Pak Ray bisa makan yang ada?"

"Iya, apa saja. Hanya sedikit untuk syarat. Belum selera makan." Raymond menjelaskan, agar Nathania tidak khawatir.

"Pak Ray mau makan di rumah atau di sini?"

"Di sini saja. Saya perlu ganti kaos yang sudah basah." Raymond menunjuk kaos di bagian dada yang basah oleh air mata Nathania.

Nathania tersenyum malu. Dia segera berlalu tanpa berkata apa pun sembari memukul dadanya yang tanpa berpikir telah bereaksi yang tidak perlu.

Raymond masuk ke dalam paviliun lalu menghembuskan nafas kuat. 'Oh, Lord... Help me...' Raymond mengangkat kedua tangannya. Dia menyadari, sudah melamar anak orang dalam situasi yang tidak sepantasnya.

Raymond duduk di tepi tempat tidur sambil menunduk dan memegang kepalanya dengan kedua tangan. Penerimaan Nathania memberikan secerca harapan. 'Masih ada waktu memperbaiki.' Bisik hatinya.

...~_~...

...~▪︎○♡○▪︎~...