Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Gosip Pertama, Masalah Pertama.
Istirahat pertama biasanya waktu yang paling aman buatku.
Biasanya.
Aku duduk di kantin sendirian sambil ngaduk es teh yang kebanyakan es, nunggu makanan datang. Tempat ini rame biasa, penuh suara sendok, kursi digeser, dan gosip receh anak SMA.
Tapi hari ini… rasanya beda.
Tatapan orang-orang seperti nempel ke kulitku.
Bukan cuma satu dua. Banyak.
Aku pura-pura sibuk ngaduk es teh sampai es tehnya hampir berubah jadi air putih.
“Lo mau bikin lubang di gelas?” suara tiba-tiba muncul di belakangku.
Aku langsung membeku. Mendesis kecil. "Dih, muncul hantu."
Cakra.
Dia nongol di sini.
Hari ini hidupku kayak diatur sama sutradara drama. Harus nurut. Skenario nggak jelas Cakra.
Dia narik kursi di sebelahku tanpa nanya, duduk seenaknya, lalu buka kotak makan yang entah dari mana munculnya. Aroma ayam kecap langsung menyerang hidungku.
“Apa-apaan?” bisikku panik sambil nunduk.
“Lunch,” jawabnya polos.
“Bukan itu! Kenapa lo duduk di sini?”
“Kita pacaran.”
Aku hampir kelepasan batuk.
“Pura-pura! PURA-PURA!” bisikku sambil nutup mulutnya pakai tangan.
Kesalahan fatal.
Kesalahan super fatal!
Karena aku baru sadar aku lagi… nyentuh bibirnya.
Aku cepet-cepet narik tangan, hampir ngejatohin gelas sendiri. Mukaku panas.
Cakra melirikku sejenak. “Jangan lakuin itu lagi.”
“Lakuin apa?!” suaraku melengking kecil.
“Nutup mulut gue.” Dia jeda. “Kalau lo mau nyentuh, ada cara lain yang lebih halus.”
AKU NYARIS GUGUR.
“Apa—apaan sih lo?!” seruku dengan suara pelan tapi penuh kekacauan batin.
Cakra santai makan ayamnya kayak aku nggak barusan meledak di depannya.
Tapi jelas, gosip udah mulai.
Aku bisa lihat dua cewek dari kelas sebelah nyeletuk pelan:
“Kamu lihat tadi? Mereka… bareng?”
“Kok bisa? Yisa?”
“Cakra biasanya makan sama gengnya…”
Aku ingin lenyap. Menghilang dan menjadi asap kagebunshin. “Lo tau Cak, lo bikin gue jadi target,” gumamku.
“Bukan,” bantahnya pelan. “Gue cuma bikin semuanya konsisten.”
Aku menatapnya tajam. “Kenapa lo tenang banget? Lo nggak takut gosip?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
Dia menatap meja sebentar, lalu jawabannya keluar pelan, datar, tapi anehnya bikin jantungku kayak digelitik.
“Karena gue tahu gue nggak bohong.”
Aku terpaku.
Nggak bohong?
Dalam hal apa?
Sebelum aku sempat nanya, suara lain muncul dari kejauhan.
“KAYYISAAA! LO DI SINI?!”
Sial.
Sial dua kali.
Sahabatku, Tasya, datang dengan langkah besar. Rambutnya yang dikuncir setengah goyang-goyang kayak dia habis sprint dari lapangan.
“Lo ng—”
Dia berhenti.
Ngeliat Cakra.
Ngeliat aku.
Lalu ngeliat jarak duduk kami yang cuma beberapa sentimeter.
Terus dia ngeluarin suara yang cuma bisa dibikin manusia kalo mereka lagi bingung antara teriak atau pingsan.
“OH. MY. GOD.”
“Bukan yang lo pikir—” aku mulai membela diri. Seolah sedang terciduk sama warga.
Tapi Tasya nggak denger. Dia langsung duduk di depan kami, narik badanku mendekat kayak mau interogasi.
“Sejak kapan?! Kapan?! Kenapa gue telat info?!”
Cakra ngunyah pelan, seolah adegan heboh ini cuma suara latar.
“Festival sekolah,” jawabnya santai.
Aku menatapnya ngeri.
Dia cepat banget improv.
Tasya mematung. “Yang waktu lo jadi panitia dekor itu?!”
Aku tersenyum kecut. “Eee… ya. Gitu, deh.”
Tasya tampak meledak dari dalam.
Matanya kayak mau jatuh dari tempatnya.
“Aku tinggal dua hari aja terus lo tiba-tiba DEKET SAMA CAKRA ADINATA???”
“Aduh Sya, jangan keras-ker—”
Udah terlambat.
Seluruh kantin noleh.
Termasuk cowok-cowok geng Cakra yang duduk di ujung sana.
Aku mau mati.
Beneran.
Cakra akhirnya nafas panjang, lalu berdiri.
Perlahan.
Tenang.
Tapi jelas… mengundang perhatian.
Dia taruh tangannya di belakang kursiku, bikin aku kaku di tempat. “Jangan heboh,” katanya pelan ke Naya. “Kayyisa gampang panik.”
Ya memang aku gampang panik, tapi, entah kenapa sekarang mulai agak mencoba buat terbiasa? Aku menghela nafas pelan. Sabar, jangan Jambak rambut pangeran sekolah.
Tapi Naya malah tampak luluh.
“Oh,” katanya sambil tutup mulut. “Iya… iya, maaf. Sorry.”
Cakra lalu menoleh ke aku, dan suara rendah itu keluar lagi.
“Sa, habisin makanannya. Gue tunggu di lapangan habis ini.”
Aku hanya bisa mengangguk, nggak sadar kalau aku nurut kayak robot yang baru di-restart.
Dia pergi.
Elegant.
Tenang.
Membiarkan kantin tenggelam dalam bisik-bisik.
Begitu dia hilang dari pandangan, Tasya langsung mencondongkan badan ke arahku.
“KAYYISA. LO. PACARAN. SAMA. CAKRA.”
Aku menutup muka pakai tangan.
“Sya…”
“APA?!”
“Ini semua… nggak sesederhana itu.”
Sebenarnya malah jauh lebih konyol.
Dan lebih berbahaya.
Karena entah kenapa, semakin lama aku pura-pura pacaran sama Cakra…
…aku makin takut sesuatu yang nyata bisa kejadian.
✨Bersambung…