Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROLOG
Cahaya matahari yang mulai condong ke barat memantul pada deretan mobil yang tersusun rapat, berkilat di kap kendaraan, memantul pada kaca jendela, dan membentuk garis-garis cahaya yang memanjang di aspal hitam.
“Mas…” Ucap Asha, suaranya lirih namun tetap lembut, seperti helaan napas yang hampir hilang tertelan keramaian di sekelilingnya. Ponsel yang sedari tadi ia pegang dengan tangan kanan kini perlahan berpindah ke telinga kiri, seolah gerakan kecil itu bisa memberinya sedikit kenyamanan. "Sebentar lagi aku nyampe, nih."
"Iya, sayang. Kamu tunggu sebentar kalau dah sampai di tempat, ya. Aku juga lagi di jalan kejebak macet."
"Ya udah, Mas. Kabarin aku selalu, ya..."
"Pasti, sayang."
Tuuuut.
Asha, wanita berusia tiga puluh dua tahun itu mengakhiri panggilan. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam sling bag dan kembali menatap lurus ke depan. Jalanan yang ia lewati kini lumayan lenggang, tak begitu padat seperti tadi. "Pak, agak cepetan ya." Pintanya pada sang supir.
"Baik, Bu." Angguk pria paruh baya itu, nampak paruh sekaligus ramah.
Setelah lebih dari setengah jam menembus kemacetan ibu kota, Asha akhirnya tiba di restoran yang Adit, kekasihnya, janjikan. Dari luar, restoran itu tampak hangat—cahaya lampu kuning temaram tumpah ke trotoar, memantulkan siluet para pengunjung yang hilir-mudik melewati pintu kaca.
Asha kemudian keluar dari mobil setelah menunjukkan bukti transfer di ponselnya kepada sang sopir, memastikan bahwa pembayaran telah diterima sebelum menutup pintu mobil dengan hati-hati. Sang sopir hanya mengangguk sopan.
Udara sore yang hangat langsung menyambutnya. Ia merapikan kemeja yang sedikit berkerut di bagian pinggang dan menarik tas kerjanya lebih erat ke bahu. Gelung rambutnya masih rapi, hanya satu dua helai yang terlepas karena perjalanan panjang dan cukup melelahkan.
"Mudah-mudahan aku gak nunggu lama buat nunggu Mas Adit datang." Gumamnya pada diri sendiri. Sementara, bulat bola matanya menyapu ke bangunan bertingkat itu.
Dari luar, tampak deretan lampu gantung berwarna keemasan yang memancar lembut melalui dinding kaca besar. Begitu pintu terbuka, aroma masakan yang kaya rempah langsung menyergap—perpaduan antara wangi daging panggang, saus creamy, dan sedikit aroma roti hangat yang baru keluar dari oven. Sementara, musik jazz pelan mengalun dari sudut ruangan, menciptakan atmosfer tenang yang kontras dengan hiruk-pikuk kemacetan di luar.
Asha membaurkan pandangannya lagi, menyusuri deretan meja yang tampak padat—bukan karena penuh, melainkan karena setiap wajah yang duduk di sana terasa familiar baginya. Langkahnya terhenti sepersekian detik. Matanya mengerjap, memastikan bahwa penglihatannya tidak keliru.
Beberapa meja di sisi kanan dipenuhi anak muda dengan ransel tersandar di kaki kursi, laptop terbuka, dan buku-buku tebal yang ia kenali betul. Tawa kecil mereka, cara mereka berdiskusi sambil memegang gelas minuman, bahkan gaya berpakaian mereka—semuanya begitu khas.
Itu mahasiswa-mahasiswanya.
Asha menelan ludah pelan. Aura profesional yang biasanya ia jaga begitu rapi seketika terasa goyah melihat mereka berada di tempat yang tidak ia duga. Beberapa dari mereka tampak menunduk pada layar ponsel, beberapa lainnya berbicara sambil menunjuk catatan. Ada pula yang sesekali menoleh ke arah pintu—dan Asha merasa degup jantungnya naik setingkat, khawatir salah satu dari mereka mengenalinya.
Asha kemudian menarik napas pelan sebelum meraih ponselnya lagi. Jemarinya sedikit gemetar saat menekan nama Adit di layar, bukan karena gugup—melainkan karena situasinya begitu tak terduga. Ia menoleh sekali lagi ke deretan mahasiswa yang memenuhi beberapa meja, memastikan tak ada yang menatap ke arahnya.
Ponsel itu kini menempel di telinganya. Suasana restoran yang semula hangat mendadak terasa seperti ruang ujian: hening, menegangkan, dan penuh kemungkinan dipergoki.
"Halo, Mas? Kamu masih dimana?" Kata Asha sesaat sambungan ponsel mulai tersambung. "Kalau kamu masih di jalan... lebih baik kita pindah resto aja, deh."
"Lho, kenapa emangnya?"
"Mas, kamu gak salah pilih tempat buat kita dinner malam ini, kan? Masa iya pelanggan yang datang itu mantan mahasiswa aku semua. Teman-teman kamu, Mas!"
"Aku emang gak salah pilih tempat buat makan kita malam ini, kok."
Suara itu...
Asha menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia refleks berbalik dan terkejut saat merasakan ada bayangan berdiri sangat dekat di belakangnya, dan seketika matanya membesar.
Di hadapannya berdiri sosok pria yang begitu ia kenal—Adit.
Pria berusia dua puluh enam tahun itu, dengan postur tinggi tegap yang selalu membuatnya terlihat menonjol di mana pun ia berada, kini tersenyum kecil—senyum hangat yang selama ini menjadi ciri khasnya. Wajah hitam manisnya memancarkan ketenangan seorang pria yang terurus dan beribadah, terlihat dari sorot matanya yang jernih dan lembut. Meski rambutnya sedikit acak, tetap saja terlihat rapi, seolah memang begitulah gaya alaminya, sederhana tapi menarik.
"Ma-Mas Adit." Gumam Asha, namun liriknya terdengar untuk sampai ke telinga semua mahasiswanya sendiri.
Ada keteduhan pada sosok Aditya Putranta Maheswara, aura yang membuat orang di sekitarnya merasa aman, termasuk Asha. Namun kali ini, rasa aman itu perlahan menelanjangi dirinya dari balik ketenangan yang selama ini ia rahasiakan rapat.
"Mereka berhak tahu, sayang." Ucap Adit kemudian. Langkahnya kembali bergerak dan kini cukup dekat ke arah Asha, kekasihnya. "Bagaimanapun, mereka semua adalah temanku. Dan, ada hubungan yang lebih hebat dari sekedar pertemanan biasa."
Asha menatap Adit, setengah cemas, setengah bingung—bahkan Ada kekikukan yang jelas muncul di wajahnya. Sorot matanya bergerak cepat, seolah mempertanyakan apakah ia harus tersenyum, meminta maaf, atau justru bersembunyi di balik pilar tempat ia berdiri. Bibirnya terbuka sedikit, namun tak ada kata yang langsung keluar. Ia hanya berdiri di tempatnya, memeluk tas kerjanya lebih erat seperti pegangan terakhir untuk tetap terlihat tenang.
Adit kemudian perlahan berlutut di hadapan Asha—gerakannya begitu tenang, namun cukup mengejutkan hingga membuat seluruh tubuh Asha menegang. Dari saku kemeja kasualnya, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru hitam yang sejak tadi ia sembunyikan. Saat kotak itu terbuka, kilau cincin sederhana namun elegan memantulkan cahaya lampu restoran.
Dan seakan dunia menyadari momentum itu, musik jazz yang tadinya mengalun pelan perlahan mereda, berganti menjadi musik romantis yang lembut, seperti sengaja mengiringi momen yang tak terduga itu.
“Asha…” Suara Adit terdengar rendah namun mantap, seakan setiap kata telah ia susun berhari-hari. “Mereka tidak hanya yang akan menjadi saksi di akad kita nanti." Ia tersenyum kecil, lembut, hampir gugup namun penuh keyakinan. “Aku ingin hari ini… detik ini… jadi hari yang selalu kamu ingat.”
Ia mengangkat cincin itu sedikit lebih tinggi kemudian. Nafasnya terdengar teratur, namun matanya menyiratkan harapan yang dalam. “Maukah kamu menikah denganku?”
Asha tertegun. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dunia rasanya berhenti bergerak. Dadanya naik-turun cepat, matanya membesar—antara tidak percaya, tersentuh, dan kaget luar biasa. Jemarinya refleks menutup bibirnya sendiri, mencoba menahan emosi yang melonjak begitu cepat.
Ia menelan saliva. "Mas, kamu..." Lirihnya, ia seolah tidak yakin apakah ia sedang bermimpi atau benar-benar dilamar oleh pria yang selama ini menjadi tempat ia meletakkan separuh hatinya.
"Terima, Buuu!" Sorak salah satu mahasiswa memecah keheningan yang khidmat. Namanya Dion, salah satu teman akrab Adit yang Asha tahu
“Iya, Bu…! Terima, dong, Bu Ashaaa!” Seru Arya—salah satu mahasiswa terpintarnya—sambil mengangkat kedua taNgan seperti memberi dukungan penuh. Suaranya lantang, antusias, dan tentu saja… sama sekali tidak membantu Asha yang sudah merah padam sejak tadi.
Beberapa mahasiswa lain ikut terkekeh, sementara Arya menatap Adit dengan bangga, seakan berkata bahwa ia sama hebatnya dengan pria yang kini melamar dosennya itu.
Asha menelan napas yang sejak tadi tertahan di tenggorokan. Matanya berair—bukan karena menangis, tapi karena terkejut dan terbawa momen yang terlalu besar untuk ditampung kata-kata. Ia menatap Adit, lalu menatap cincin di tangan pria itu… dan kembali menatap Adit, seolah memastikan ini benar-benar nyata.
Lalu, perlahan… sangat perlahan… Asha mengangguk.
Anggukan kecil yang nyaris tak terlihat, namun cukup kuat untuk membuat seluruh ruangan seakan menarik napas bersama mereka. Suara kursi bergeser, tepuk tangan kecil mulai terdengar, dan beberapa mahasiswa memekik tertahan.
Adit tersenyum lega—senyum yang langsung mekar, hangat, dan penuh kebahagiaan. Wajahnya seolah bercahaya ketika ia bangkit sedikit, cukup untuk meraih tangan Asha dan menyampirkan cincin itu ke jari manisnya dengan hati-hati, seakan cincin itu adalah sesuatu yang rapuh… atau karena tangan Asha masih bergetar.
Begitu cincin terpasang, Asha menutup wajahnya dengan satu tangan—setengah malu, setengah tak percaya bahwa ia baru saja menerima lamaran dari mantan mahasiswanya sendiri… dan disaksikan oleh mahasiswa-mahasiswanya yang lain. Pipi Asha memerah, tubuhnya gemetar kecil antara haru dan panik.
"Si Adit, emang bener bisa gaet dosen cakep!" Celetuk salah satu mahasiswa dari arah meja pojok.
“Adit emang beda, Bu! Dari dulu udah keliatan paling jago ambil hati!” Teriak salah satu mahasiswa, disambut tawa pecah teman-temannya.
“Dari hati siapa dulu, tuh?” Sambung yang lain sambil bersiul nakal.
Restoran mendadak riuh dengan tepuk tangan dan sorakan, sementara Asha hanya bisa semakin menutup wajahnya, ingin menghilang dan tersenyum di saat yang sama. Adit, yang berdiri di sampingnya, hanya terkekeh sambil mengusap lembut punggung tangannya—bangga, malu, dan bahagia jadi satu.
****