NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Setahun berlalu. Waktu, seperti sungai yang tenang, telah menghanyutkan banyak endapan luka dan kepahitan. Hidupku di apartemen mungilku telah menjadi sebuah kanvas yang kuwarnai sendiri dengan corak kebahagiaan yang sederhana namun otentik. Pekerjaanku sebagai desainer grafis semakin berkembang; aku bahkan mulai menerima proyek-proyek lepas dari klien besar, memberiku kebebasan finansial dan kreatif yang selalu kuimpikan.

Hubunganku dengan Danu—aku sudah terbiasa memanggilnya tanpa embel-embel 'Mas'—tumbuh secara organik. Kami tidak terburu-buru. Kami membangun fondasi kami bata demi bata di atas puing-puing masa lalu. Kami belajar tentang kebiasaan aneh masing-masing, saling berbagi ketakutan terdalam, dan merayakan kemenangan-kemenangan kecil bersama. Genggaman tangannya di bukit senja waktu itu telah berubah menjadi pelukan hangat di kala lelah, kecupan lembut di kening sebelum aku berangkat kerja, dan tawa renyah yang mengisi keheningan apartemenku di akhir pekan.

Dia tidak pernah mendesakku untuk kembali ke dalam sebuah ikatan pernikahan formal. Seolah mengerti, dia memberiku waktu untuk benar-benar melepaskan trauma dari "pernikahan" pertama kami. Dia membuktikan cintanya bukan dengan kata-kata, tapi dengan kesabaran dan kehadiran yang konsisten.

Namun, ada satu bagian dari masa laluku yang masih terasa seperti simpul yang belum terurai: Kak Binar.

Sejak aku pindah, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya secara langsung. Komunikasi kami terputus total. Aku hanya mendengar kabarnya dari Ibu. Aku tahu dia masih menjalani terapi. Butiknya kini dijalankan oleh manajer kepercayaannya. Dia jarang keluar rumah. Ibu bilang, dia jauh lebih tenang, tapi juga jauh lebih pendiam. Seolah api yang dulu membakarnya dengan begitu hebat kini telah padam, hanya menyisakan abu yang dingin.

Aku tidak membencinya lagi. Kemarahan itu telah lama menguap, digantikan oleh semacam kesedihan yang berjarak. Tapi aku juga tidak merindukannya. Dia adalah hantu dari masa lalu, sosok yang coba kulupakan agar aku bisa terus melangkah maju.

Hingga suatu hari, sebuah telepon dari Ibu mengubah segalanya.

"Arini, Nak," suara Ibu terdengar ragu-ragu di seberang telepon. "Kakakmu... dia mau bertemu denganmu."

Permintaan itu membuat perutku terasa melilit. Aku terdiam sesaat, semua kenangan buruk itu kembali berkelebat di benakku. Pisau di dapur, hinaan yang menyakitkan, tatapan penuh kebencian.

"Untuk apa, Bu?" tanyaku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang.

"Ibu tidak tahu persis," jawab Ibu. "Dia hanya bilang, ada sesuatu yang harus ia sampaikan langsung padamu. Dia bilang, ini penting untuknya. Untuk... kesembuhannya."

Aku menghela napas. Bagian diriku yang egois ingin langsung menolak. Aku sudah bahagia. Kenapa aku harus kembali mengorek luka lama? Tapi bagian diriku yang lain, bagian yang telah disembuhkan oleh waktu dan cinta, tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus dihadapi. Mungkin bukan hanya untuk kesembuhannya, tapi juga untuk kesembuhanku. Untuk benar-benar menutup bab itu selamanya.

"Kapan?" tanyaku.

"Besok sore, di rumah. Bagaimana?"

"Baiklah, Bu. Arin akan datang."

Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku menceritakan hal ini pada Danu. Dia hanya mendengarkan dengan sabar, tangannya mengusap punggungku dengan lembut.

"Kamu tidak harus pergi kalau belum siap," katanya.

"Aku tahu," jawabku. "Tapi aku merasa... ini harus dilakukan. Aku tidak bisa terus berlari darinya."

"Kalau begitu, aku akan menemanimu," tawarnya. "Aku akan tunggu di mobil. Jadi kamu tahu, kamu tidak sendirian."

Tawarannya memberiku kekuatan.

Keesokan sorenya, saat aku melangkah masuk ke rumah orang tuaku, rasanya aneh. Rumah yang dulu terasa seperti penjara, kini terasa asing. Aku melihat Kak Binar sedang duduk sendirian di sofa ruang keluarga, membelakangiku. Dia tampak lebih kurus. Rambutnya yang dulu selalu tergerai indah kini dipotong pendek sebahu.

Ibu memberiku isyarat untuk menghampirinya, lalu ia dan Ayah diam-diam mundur ke ruang dalam, memberi kami privasi.

Aku berjalan mendekat dengan langkah ragu. "Kak," panggilku pelan.

Dia sedikit tersentak, lalu perlahan berbalik. Wajahnya... berbeda. Tidak ada lagi riasan tebal, tidak ada lagi senyum sinis atau tatapan tajam. Yang ada hanyalah wajah seorang wanita yang tampak lelah, dengan mata yang menyimpan kesedihan yang begitu dalam. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan malam-malam tanpa tidur.

"Arin," sapanya, suaranya serak seolah sudah lama tidak digunakan. "Duduklah."

Aku duduk di sofa di seberangnya, menjaga jarak yang aman. Keheningan menyelimuti kami. Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya menunggu.

Dia menunduk, menatap tangannya yang terkepal di pangkuan. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," bisiknya.

Dia menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan. Saat dia mengangkat wajahnya lagi, matanya sudah berkaca-kaca.

"Maaf," satu kata itu keluar dari bibirnya dengan getaran yang begitu kentara. "Aku tahu kata itu tidak ada artinya dibandingkan semua yang telah kulakukan padamu. Tapi aku harus mengatakannya. Maafkan aku, Arini."

Air matanya mulai jatuh, mengalir di pipinya yang tirus. "Aku... aku adalah monster. Aku buta. Aku dibutakan oleh rasa iri, oleh rasa tidak aman, oleh ketakutanku sendiri."

Dia tertawa kecil, tawa pahit yang menyayat hati. "Ironis, ya. Seumur hidupku, aku selalu mendapatkan segalanya lebih dulu darimu. Baju baru, mainan baru, perhatian... segalanya. Aku terbiasa menjadi yang nomor satu. Aku pikir aku memilikimu dalam genggamanku. Kamu adalah adik kecilku yang akan selalu mengalah."

"Tapi kemudian..." lanjutnya, suaranya pecah, "saat aku mendapatkan hal yang paling kuinginkan—Danu—aku justru merasa paling tidak aman. Aku tahu... jauh di dalam hatiku, aku tahu dia menikahiku bukan sepenuhnya karena cinta. Ada utang budi. Ada rasa kasihan. Jadi, aku berusaha keras menjadi istri yang sempurna. Aku pikir, dengan memberinya anak, aku bisa mengikatnya selamanya. Aku bisa membuktikan bahwa aku pantas mendapatkannya."

"Saat vonis dokter itu datang, duniaku runtuh. Rasanya seperti Tuhan sedang menghukumku. Dan alih-alih introspeksi diri, aku malah mencari kambing hitam. Dan kambing hitam yang paling mudah... adalah kamu."

Dia menatapku, tatapannya kini dipenuhi oleh penyesalan yang begitu murni. "Aku iri padamu, Rin. Sangat iri. Bukan karena Danu. Tapi karena dirimu sendiri. Kamu kuat. Kamu mandiri. Kamu punya bakat. Kamu membangun semuanya dari nol dengan usahamu sendiri. Sementara aku? Semua yang kumiliki adalah pemberian. Aku tidak punya apa-apa yang benar-benar menjadi milikku. Bahkan cinta suamiku pun kurasa seperti pinjaman."

"Jadi, saat ide gila itu muncul, aku melihatnya sebagai kesempatan. Kesempatan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, sekaligus... menghukummu. Menarikmu ke dalam penderitaanku. Aku tidak tahan melihatmu bebas dan mungkin bahagia, sementara aku terkurung dalam kesengsaraanku. Aku ingin kamu merasakan betapa tidak berdayanya diriku. Aku egois. Aku jahat. Aku..."

Isak tangisnya membuatnya tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat.

Aku hanya bisa menatapnya, terpaku. Mendengar pengakuannya yang begitu jujur dan menyakitkan, semua sisa amarah di hatiku menguap. Yang tersisa hanyalah rasa iba. Aku tidak lagi melihatnya sebagai monster yang telah menghancurkan hidupku. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang hancur, yang telah tersesat begitu jauh di dalam labirin ketakutannya sendiri.

Perlahan, aku bangkit dari sofaku. Aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Dengan ragu, aku mengulurkan tangan dan mengusap punggungnya. Sebuah gestur yang sudah puluhan tahun tidak pernah kulakukan.

Dia tersentak kaget oleh sentuhanku, tapi tidak menolaknya.

"Sudah, Kak," bisikku. "Semua sudah berlalu."

Dia menurunkan tangannya dari wajahnya, menatapku dengan mata yang basah dan penuh ketidakpercayaan. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa begitu tenang?"

Aku tersenyum tipis. "Karena aku sudah memaafkanmu. Sudah sejak lama."

"Tapi aku..."

"Kakak menyakitiku. Sangat," potongku lembut. "Tapi Kakak juga mengajariku sesuatu. Kakak mengajariku betapa kuatnya diriku. Kakak memaksaku keluar dari cangkangku. Kakak memaksaku untuk berjuang demi diriku sendiri. Tanpa semua itu, mungkin aku masih menjadi Arini yang penurut dan selalu mengalah."

Aku meraih tangannya yang dingin. "Kita berdua terluka dalam perang ini, Kak. Tapi sekarang perang itu sudah selesai. Sudah saatnya kita berdamai. Bukan hanya antara kau dan aku. Tapi juga dengan diri kita sendiri."

Tangisnya kembali pecah, tapi kali ini bukan tangis penderitaan. Melainkan tangis kelegaan. Dia memelukku erat, membenamkan wajahnya di bahuku. "Maafkan aku... maafkan aku, adikku..." isaknya berulang kali.

Aku membalas pelukannya. Di ruang keluarga yang menjadi saksi bisu dari begitu banyak pertengkaran kami, kami menangis bersama. Melepaskan semua beban, semua kepahitan, semua penyesalan yang telah kami pikul begitu lama.

Saat itu, aku sadar. Ini adalah akhir yang bahagia yang sesungguhnya. Bukan tentang aku dan Danu yang akhirnya bersama. Bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Akhir yang bahagia adalah saat kami berdua, dua wanita yang telah saling menyakiti, akhirnya bisa menemukan jalan kembali satu sama lain. Jalan menuju pengampunan dan penyembuhan.

Penyesalan Kak Binar adalah langkah terakhir yang kami butuhkan. Dan di dalam pelukannya yang kini terasa tulus, aku tahu bahwa kami berdua akhirnya benar-benar bebas. Bebas untuk memulai lembaran baru dalam hidup kami masing-masing.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!