Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Kesedihan Ryu.
Dua hari kemudian, Tokyo, pukul 17.33.
Cahaya lampu neon Tokyo yang gemerlap membasahi jalanan malam. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menciptakan pemandangan yang spektakuler. Aroma ramen dan street food memenuhi udara, menciptakan suasana yang ramai dan meriah. Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena berjalan menyusuri jalanan kota, menikmati keindahan dan keramaian Tokyo. Mereka telah tiba.
Alice, yang biasanya terlihat mengantuk dan lesu, kini tampak bersemangat. Mata hijaunya berbinar, menatap kagum pemandangan di sekitarnya. "Wah!! Apakah ini Tokyo? Berwarna sekali!!" serunya, suaranya penuh kekaguman. Ia mengangkat tangannya, seolah-olah ingin menyentuh kilauan lampu-lampu kota. Wajahnya yang biasanya pucat kini tampak bersemu merah muda, menunjukkan betapa terpesonanya ia dengan keindahan Tokyo.
Reina tersenyum, melihat antusiasme Alice. "Iya dong," jawabnya, suaranya penuh kebanggaan. Ia menunjuk ke sebuah toko ramen kecil yang sederhana namun tampak nyaman. "Teman-teman, dulu aku sering belanja ramen kemasan bersama Kei di sana!!" Kenangan masa lalu bermunculan di benaknya, menciptakan gelombang emosi yang kompleks. Senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi yang sedikit melankolis.
Helena, yang mengamati ekspresi Reina, berkata dengan lembut, "Wah... pasti kalian sangat serasi. Ya, wajar sih... kalian berdua saling cinta pertama dan hubungan kalian sudah empat tahun..." Suaranya penuh empati, ia memahami ikatan kuat antara Reina dan Kei. Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh pengertian, seolah-olah ingin memberikan dukungan moral.
Reina tertawa kecil, sedikit canggung. "Mwehehe..." Ia mengalihkan pandangannya, matanya menangkap sesosok yang dikenalnya. Di kejauhan, Ryu, teman masa kecil Reina yang juga guru bela dirinya, berjalan sendirian. Wajahnya tampak murung, langkahnya lesu. Rambut kuncir dua panjangnya yang berwarna biru muda tampak kusam, dan matanya yang biasanya berbinar kini tampak kosong dan sayu.
Reina terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ryu... apakah dia masih belum mengikhlaskan kematian ku? Pikiran itu membuatnya merasa sedih dan bersalah. Ia menunduk, menyembunyikan kesedihannya di balik senyum tipis yang dipaksakan.
Mike, yang memperhatikan perubahan ekspresi Reina, bertanya dengan nada lembut, "Ngomong-ngomong, dia Sunsaan Ryu kan, yang mengajari kamu bela diri...?" Ia menatap Reina dengan penuh perhatian, ingin memberikan dukungan.
Reina mengangguk, suaranya sedikit bergetar. "Iya, Mike."
Alisiya, yang peka terhadap suasana, berkata dengan tegas, "Baiklah... aku dan Helena akan mendekati dia dan memberikan nomor kantor kita." Ia menatap Ryu dengan tatapan yang penuh empati dan simpati. Ia tahu bahwa Ryu masih terluka karena kepergian Reina, dan ia ingin memberikan dukungan. Helena mengangguk setuju, menunjukkan kesiapannya untuk membantu.
Reina mengangguk, matanya dipenuhi rasa terima kasih. "Baiklah, kami semua akan menunggu kalian berdua di sini." Ia tersenyum, memberikan dukungan kepada Alisiya dan Helena. Ia berharap agar Alisiya dan Helena dapat membantu Ryu untuk melepaskan kesedihannya.
Alisiya dan Helena saling mengangguk, lalu berjalan menuju toko ramen tempat Ryu masuk. Langkah mereka tenang namun penuh tekad, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Reina dan yang lain menunggu di tempat, hati mereka dipenuhi dengan harapan dan kekhawatiran. Malam di Tokyo masih panjang, dan banyak hal yang masih menunggu untuk terjadi.
Aroma kaldu ramen yang kaya dan gurih langsung menyapa Alisiya dan Helena begitu mereka melangkah masuk ke toko kecil yang sederhana namun nyaman itu. Uap panas mengepul dari panci-panci besar di dapur terbuka, menciptakan kabut tipis yang menari-nari di udara, bercampur dengan aroma rempah-rempah eksotis yang belum pernah mereka temui di Rusia. Helena menghirup udara dalam-dalam, matanya berbinar. Rambut pirangnya yang panjang tergerai, berkilauan di bawah cahaya lampu neon yang lembut.
"Wah..." desahnya, suara penuh kekaguman. "Aroma bumbu ini... di Rusia, kita berdua tak pernah mencium aroma seperti ini..." Ia menoleh ke Alisiya, senyum tipis bermain di bibirnya. Gerakannya halus dan anggun, mencerminkan kepribadiannya yang tenang dan bijaksana.
Alisiya, dengan rambutnya yang diikat rapi, mengangguk setuju, perutnya berkeroncongan. Ia mengusap perutnya dengan tangan yang masih terbungkus sarung tangan hitam, sebuah kebiasaan yang telah melekat padanya. "Iya... rempah-rempahnya sangat berkualitas sampai-sampai aku menjadi lapar..." Ia tertawa kecil, suaranya riang dan ceria, kontras dengan suasana serius yang biasanya ia tampilkan. "Baiklah, mari kita pesan. Untung persediaan uang kita sangat banyak dan hampir saja kita lupa menukar mata uangnya karena Reina... ga sabaran," katanya, sambil menggelengkan kepala, mengingat tingkah Reina yang selalu terburu-buru.
Helena tertawa, membayangkan wajah Reina yang penuh semangat. "Ya, wajar sih... kan kenangannya ada di sini..." Ia menunjuk ke arah konter pemesanan dengan dagunya, senyumnya semakin lebar. "Ayok pesan ramennya, aku juga penasaran."
Mereka berjalan melewati meja-meja yang dipenuhi pelanggan, sebagian besar adalah warga lokal yang menikmati ramen mereka dengan tenang. Suasana hangat dan akrab terasa di ruangan itu. Tiba-tiba, Alisiya berhenti, matanya tertuju pada seorang gadis yang duduk sendirian di sudut ruangan. Itu Ryu. Kepalanya tertunduk, rambut biru mudanya terurai menutupi sebagian wajahnya, dan bahunya tampak merosot lesu. Keningnya hampir menyentuh meja, seolah-olah ia sedang menanggung beban berat.
Helena mengikuti arah pandang Alisiya, raut wajahnya berubah menjadi simpati. "Baiklah... kita akan duduk di sana," bisiknya, suaranya lembut dan penuh perhatian. Ia mengamati Ryu dengan seksama, mencoba memahami kesedihan yang terpancar dari tubuhnya.
Alisiya mengangguk, langkahnya menjadi lebih pelan dan hati-hati. Mereka berjalan menuju meja Ryu, langkah kaki mereka terdengar pelan di lantai kayu yang sedikit berderit. Helena mendekat, lalu menyapa Ryu dengan sopan dan ramah, suaranya lembut dan penuh hormat. "Permisi... boleh aku duduk di dekatmu...?" Ia tersenyum, berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan tidak mengintimidasi.
Ryu mengangkat kepalanya, terkejut dengan kehadiran mereka. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak sayu dan kosong, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan dan tidak tulus. "Eh... maaf ya... aku pindah aja..." katanya, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Ia mencoba menghindari kontak mata, tubuhnya menegang, seolah-olah ingin menghindar.
Alisiya menggelengkan kepala, senyumnya tetap hangat dan ramah. "Eh, gausah... kami akan menemanimu di sini..." Ia berkata dengan nada yang lembut tetapi tegas, menunjukkan keyakinannya dan niatnya untuk membantu. Ia duduk di salah satu kursi, memberikan isyarat kepada Helena untuk bergabung.
Ryu terdiam sejenak, ragu-ragu. Ia menatap Alisiya dan Helena bergantian, mencoba membaca niat mereka. Akhirnya, ia mengangguk lemah, suaranya hampir tak terdengar. "Baiklah..." Tubuhnya masih tegang, tetapi ada sedikit kelegaan yang terpancar dari matanya. Ia merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran mereka, meskipun kesedihannya masih terasa mendalam.
Alisiya dan Helena duduk, membentuk formasi segitiga yang nyaman di sekitar Ryu. Mereka saling bertukar pandang, lalu tersenyum kecil, menciptakan suasana yang hangat dan penuh dukungan. Meskipun kesedihan masih terasa, suasana di meja itu terasa lebih nyaman dan penuh harapan. Mereka siap untuk mendengarkan, siap untuk memberikan dukungan, dan siap untuk membantu Ryu melewati masa sulitnya.
Helena, dengan senyum lembut yang menenangkan, memulai percakapan. Matanya yang berwarna biru langit, seperti cermin langit musim panas, menatap Ryu dengan penuh empati. "Apakah namamu... Sunsaan Ryu?" Suaranya, lembut dan merdu, seperti melodi yang menenangkan jiwa yang terluka. Ia mengamati Ryu dengan seksama, mencoba membaca emosi yang tersembunyi di balik tatapannya yang redup. Gerakan tangannya halus dan terukur, menunjukkan ketenangan dan kepercayaan diri yang terlatih.
Ryu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa mereka mengenalnya. Matanya membulat, seperti dua buah batu akik yang berkilau, dan senyum kecil, dipaksakan dan canggung, muncul di bibirnya. "Iya!! Itu aku sendiri," katanya, suaranya sedikit bergetar karena terkejut dan rasa tidak percaya. "Bagaimana kalian tahu namaku...? Dan Mbak di sampingmu... apakah rambut aslimu memang kayak pelangi gitu?" Ia menatap rambut Alisiya dengan penuh rasa ingin tahu, matanya berbinar-binar, mencerminkan rasa penasaran yang tulus. Tangannya sedikit gemetar saat ia mengaduk tehnya, menunjukkan kegugupannya.
Alisiya tertawa kecil, sebuah tawa yang ringan dan menyenangkan, seperti lonceng perak yang berdenting lembut. "Iya, Ryu..." Ia melepaskan ikatan rambutnya dengan gerakan yang anggun dan percaya diri, rambutnya yang berwarna-warni terurai dengan indah, seperti air terjun pelangi yang jatuh dari langit. "Bagaimana? Indah bukan?" Ia tersenyum, menunjukkan rambutnya dengan bangga, tetapi matanya tetap memperhatikan reaksi Ryu, mengamati setiap perubahan ekspresi di wajahnya.
Mata Ryu berbinar, penuh kekaguman. "Indah sekali..." Ia menghela napas panjang, matanya kembali sayu, sebuah perubahan ekspresi yang cepat dan dramatis. "Namun..." suaranya berubah menjadi lirih, penuh kesedihan, "tekstur rambutnya... sama dengan sahabatku yang sudah meninggal..." Ia menunduk, jari-jarinya memainkan sumpit di tangannya, sebuah gerakan yang menunjukkan rasa gelisah dan kesedihan yang mendalam. Bahunya merosot, menunjukkan beban berat yang ia tanggung.
Helena dan Alisiya saling bertukar pandang, mengerti siapa yang dimaksud Ryu. Reina. Suasana di meja itu menjadi lebih hening, dipenuhi oleh kesedihan yang tersirat, sebuah kesunyian yang berat namun penuh empati.
Helena mengeluarkan kartu identitasnya, sebuah kartu logam kecil yang berkilauan di bawah cahaya lampu, seperti bintang kecil yang jatuh ke bumi. Ia meletakkannya di atas meja, di antara mereka bertiga. "Nah, Ryu... perkenalkan, namaku Zhivago Helena. Kami berdua berasal dari Rusia, dan tugas kami berdua sebagai penyerang dua hama, yaitu Alexander dan Hasane Danton. Setau ku... Danton berkeliaran di sini..." Suaranya tenang dan tegas, tetapi ada sedikit getaran emosi yang tersirat di dalamnya, sebuah getaran yang menunjukkan keseriusan dan tekadnya. Ia menatap Ryu dengan serius, mencoba menciptakan koneksi yang kuat, sebuah koneksi yang didasari oleh tujuan yang sama. Alisiya juga mengeluarkan kartu identitasnya, menunjukkan identitas mereka sebagai agen rahasia.
Ryu mengambil kartu identitas Helena, matanya membesar saat membaca informasi di kartu tersebut. Ia terkejut mendengar tujuan mereka, yang sama dengan tujuannya. Ia meletakkan kartu itu dengan hati-hati, lalu berkata dengan suara yang bergetar, "Kalian... dari Rusia ya... sama dengan Andras dan Leon... dan tujuan kalian juga sama dengan kelompokku... yaitu membalaskan dendam atas kematian sahabatku yang selalu memberikan ku permen..." Suaranya terisak, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia mengusap matanya dengan punggung tangan, mencoba untuk tetap tegar, tetapi tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa rapuhnya emosinya saat ini.
Alisiya mengerti. "Apakah nama temanmu Hasane Reina...?" Ia bertanya dengan lembut, suaranya penuh empati, sebuah suara yang menenangkan jiwa yang terluka. Ia menatap Ryu dengan penuh perhatian, menunggu jawabannya, matanya menunjukkan keseriusan dan rasa hormat.
Ryu mengangguk pelan, kepalanya tertunduk, sebuah gerakan yang menunjukkan rasa malu dan kesedihan yang mendalam. "Iya... bagaimana kalian tahu?" Suaranya hampir tak terdengar, dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Air mata mulai mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. Ia merasakan sebuah beban yang berat di hatinya, sebuah beban yang hanya bisa dibagi dengan orang-orang yang mengerti perasaannya.
Helena menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara yang tenang dan tegas, penuh keyakinan dan otoritas. "Tidak jauh beberapa bulan ini, banyak sekali pengedar narkoba atas nama Danton, dan kami telah mengetahuinya semua. Penyerangan bara api di Osaka yang membakar gudang besar Danton pada tanggal 1 Agustus tahun kemarin... dan kau adalah salah satu pemimpin pasukan pemanah yang memimpin murid-murid SMA Kyoko dan SMA Terinis, sebanyak 100 pemanah..." Ia menatap Ryu dengan tajam, menunjukkan bahwa ia telah melakukan riset yang mendalam, dan bahwa ia tahu persis siapa Ryu dan apa yang telah ia lakukan.
Ryu mengangguk, air matanya mengalir deras. Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba untuk menahan isak tangisnya. "Kamu benar..." Ia terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat. "Dan besoknya..." suaranya terputus-putus karena tangis, "aku kehilangan sahabatku yang paling kucintai... Reina..." Tangisnya pecah, memenuhi ruangan kecil itu dengan kesedihan yang mendalam, sebuah kesedihan yang begitu menyayat hati. Alisiya dan Helena saling bertukar pandang, hati mereka dipenuhi dengan simpati dan empati. Mereka tahu bahwa mereka harus memberikan dukungan dan bantuan kepada Ryu, yang sedang berduka atas kehilangan sahabat tercintanya. Suasana hening, hanya diiringi isak tangis Ryu yang pilu, dan tatapan simpati dari Alisiya dan Helena. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka di Tokyo baru saja dimulai, dan mereka harus siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka telah menemukan sekutu yang tak terduga, dan bersama-sama, mereka akan membalaskan dendam atas kematian Reina.
Alisiya berdiri dengan gerakan yang cepat dan penuh tekad, lalu duduk di sebelah Ryu. Dengan lembut, ia merangkul pundak Ryu, menariknya hingga bersandar pada tubuhnya yang hangat. Sentuhannya lembut namun penuh kekuatan, sebuah sentuhan yang menenangkan dan memberikan rasa aman. Ia mengusap punggung Ryu dengan gerakan yang menenangkan, seperti mengelus bulu kucing kesayangan. Gerakannya menunjukkan empati dan pengertian yang mendalam.
"Kesedihanku... juga sama denganmu," bisik Alisiya, suaranya lembut namun bergetar karena emosi yang terpendam. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia mengingat kembali tragedi yang telah menghancurkan keluarganya. "Mamaku, papaku, adikku, dan nenekku... dibakar habis-habisan oleh Alexander..." Suaranya terputus-putus, dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia memejamkan mata sejenak, seolah-olah ingin menghindar dari kenangan buruk yang kembali menghantuinya.
"Keluarga kami berlari ke arah hutan, jauh dari kota Moskow," lanjutnya, suaranya semakin lirih. "Mereka tertangkap, sedangkan aku terjebak di jurang. Di saat aku berhasil naik... suara teriakan mereka semua terdengar... dan pemandangan yang tak seharusnya aku lihat terjadi... mereka dibakar hidup-hidup..." Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Ia merasakan kembali kepedihan yang begitu hebat, kepedihan yang telah mengukir luka dalam di hatinya.
Alisiya menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia mengingat wajah Andras yang penuh air mata, yang berteriak memohon agar Alisiya tidak meninggalkannya sendirian. Bayangan itu membuat air matanya semakin deras. Namun, suaranya tetap stabil, menunjukkan kekuatan batinnya yang luar biasa. "Aku terpaksa.... sangat terpaksa meninggalkan sahabatku yang sangat kucintai... Aku takut dia akan diburu oleh Alexander..." Ia mengusap air matanya, mencoba untuk tetap tegar. Ia menunjukkan kekuatan dan tekadnya untuk membalaskan dendam atas kematian keluarganya dan melindungi sahabatnya.
Ryu menatap Alisiya yang menangis, mendengar suaranya yang tetap tegar meskipun air mata mengalir deras. Ia terkesima oleh kekuatan batin Alisiya. "Alisiya... air matamu... dan suaramu..." Ia terdiam sejenak, terharu oleh kesedihan dan kekuatan yang ditunjukkan Alisiya.
Alisiya tersenyum tipis, sebuah senyum yang menunjukkan kesedihan dan kekuatan yang bercampur aduk. "Aku sangat sering menghadapi hal yang membuat hatiku hancur... dan balas dendam kepada Alexander menguatkan aku sampai sekarang..." Ia menatap Ryu dengan tatapan yang penuh pengertian dan empati. Ia mengerti perasaan Ryu yang sedang berduka.
Helena, yang mengamati mereka berdua dengan penuh perhatian, berkata dengan suara yang lembut namun penuh empati. "Ryu... kepergian Reina... memang membuat kalian semua hancur... Menurut data pencarian ku tentang Reina, dia adalah gadis yang baik hati, saling menolong... dan setia dengan pacarnya hingga 4 tahun... Aku tahu tentang kesedihanmu..." Ia mengeluarkan kartu baja silver kecil yang berisi nomor kontaknya, lalu memberikannya kepada Ryu dengan gerakan yang halus dan penuh hormat. "Ryu... kepergian seseorang adalah sesuatu aura yang sangat menghancurkan jiwa namun membakar diri untuk balas dendam... dan hubungi aku dan rekan ku di saat melihat Danton... mengerti...?" Ia menatap Ryu dengan tatapan yang penuh pengertian dan dukungan.
Ryu mengambil kartu itu dengan tangan yang gemetar, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih... terima kasih telah membantu ku... dan kita semua..." Suaranya bergetar karena emosi yang bercampur aduk. Ia merasakan sebuah harapan baru, sebuah harapan untuk membalaskan dendam atas kematian Reina dan untuk menemukan keadilan.
Alisiya mengusap rambut Ryu dengan lembut, menunjukkan rasa simpati dan dukungannya. "Sama-sama, Ryu... dan jangan beritahu teman-temanmu karena kami adalah agen rahasia... Walaupun kalian semua akan mendapatkan identitas kami semua... tetapi... ini harus, jangan beritahu nama kami, oke?" Ia tersenyum, sebuah senyum yang menunjukkan rasa pengertian dan kepercayaan.
Ryu mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, ternyata orang Rusia sangat baik ya... ga sama kayak Andras kalau lagi ngamuk ke orang lain..." Ia tertawa kecil, sebuah tawa yang masih dipenuhi oleh kesedihan, tetapi juga ada secercah harapan di dalamnya.
Alisiya dan Helena tertawa, menceritakan semuanya tentang Andras yang masih tinggal di Rusia, berbagi cerita dan pengalaman yang membuat mereka semakin dekat dan saling memahami. Mereka telah menemukan sekutu yang tak terduga, dan bersama-sama, mereka akan membalaskan dendam atas kematian Reina dan melawan kejahatan yang telah menghancurkan begitu banyak kehidupan. Di tengah kesedihan, mereka menemukan kekuatan dan harapan di dalam persaudaraan dan tekad mereka.