NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salju tak pernah lupa

Perjalanan itu seakan tak berujung. Rantai besi yang mengikat tangan para tawanan bergemerincing sepanjang jalan, suaranya beradu dengan derap kaki kuda para pengawal. Tanah berbatu yang dilapisi lumpur beku menghantam kaki-kaki telanjang hingga pecah dan berdarah. Bila satu jatuh, seluruh barisan tersentak bersama. Cambuk selalu siap menyambut, tanpa belas kasihan.

Langit di atas makin berat, kelabu dan pekat, seperti hendak menindih dunia dari atas. Kabut dingin merayap di antara barisan, lalu butiran putih mulai turun perlahan. Awalnya hanya titik-titik lembut, lalu kian rapat, menempel di rambut, bahu, dan sepanjang rantai besi yang mencengkeram. Tanah berubah putih, menelan jejak darah dan langkah yang terseret.

Rosella berjalan di tengah barisan.

Rambut pirangnya basah, menempel pada pipi pucat yang digigit angin. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun, tapi bukan karena kelelahan—melainkan karena sesuatu yang tumbuh di dalam dada. Setiap langkah makin berat. Dingin yang membungkus tubuhnya bukan sekadar musim. Dingin ini … membangkitkan luka. Yang lama, yang dalam, dan tak pernah pulih.

Pandangannya kabur.

Langkahnya terseret.

Dunia di sekeliling memudar, dan ia … kembali ke hari itu.

Angin musim dingin menggigit tulang saat pintu besar aula singgasana terbuka perlahan. Udara dari luar menyusup masuk membawa kabut dan butiran salju pertama, berputar di udara seperti abu sisa pertempuran yang belum selesai. Di ambang pintu, seorang gadis kecil berusia tujuh tahun berlutut—lutut mungilnya menempel langsung pada batu yang telah diselimuti salju tipis.

Rosella Lysandrel Aetherielle.

Tubuh kecil itu menggigil hebat. Gaun tipis kelabu tak sanggup menahan udara dingin yang mencabik kulit. Rambut pirang panjangnya kusut dan lepek, menempel di pipi yang memerah karena dingin dan air mata. Jemarinya terlipat erat di pangkuan, membiru. Kepala kecil itu tertunduk. Diam. Beku.

Di kedua sisi aula, para penjaga berdiri tegak. Para pelayan menunduk, tak satu pun berani menatap gadis itu. Tak satu suara membela.

Tuduhan telah dijatuhkan. Rosella dituding sebagai penyebab keguguran salah satu selir Raja. Tak satu pun bukti. Hanya bisikan, intrik, dan rekayasa.

Namun hari ini bukan waktunya mencari kebenaran.

Hari ini adalah hari untuk menghukum.

Langkah berat terdengar dari dalam aula. Jubah panjang membelah udara dingin. Raja Vermont—ayahnya sendiri—muncul dari bayang-bayang singgasana, berdiri tinggi dan tak tergoyahkan. Sorot matanya menusuk ke bawah, ke arah anak bungsunya yang berlutut sendirian di tengah udara yang memburuk.

“Kau ingin menyangkalnya?” suaranya rendah, dingin, dan nyaris datar.

Rosella mengangkat wajahnya perlahan. Mata hazel bulat itu berair, tapi bukan karena kemarahan. Yang tinggal hanya keputusasaan yang tak bisa ditelan.

“Aku tidak melakukannya, Ayah … Aku bahkan tidak mengerti apa yang mereka tuduhkan padaku ....”

Raja tidak menjawab. Hanya tatapan dingin yang tak bergerak dari balik bayangan mahkota.

“Bukan tugasku untuk menjelaskan tuduhan kepada seorang anak yang telah mencemarkan nama baik keluarganya.”

Rosella bergerak maju setengah langkah. Lututnya menyeret salju dan menggores luka di balik gaun tipisnya. Ia menunduk dalam, nyaris mencium tanah yang membeku.

“Ayah ... kumohon, aku bersumpah, aku tidak bersalah ... jangan percaya mereka ... aku ... aku hanya ingin masuk ke ruang ibunda selir karena ingin bertanya kenapa beliau menangis malam itu … Aku tidak menyentuh apapun, aku tidak tahu apa-apa .…”

Sang Raja memalingkan wajah. Tak ada riak di matanya.

“Apakah ini pengakuanmu atas tuduhan yang mereka sampaikan?”

“Bukan pengakuan … itu permohonan, Ayah … aku mohon ... percaya padaku ... hanya sekali ini saja .…”

Tak ada jawaban.

Rosella akhirnya merangkak lebih dekat, menunduk sepenuhnya hingga kening kecilnya menyentuh sepatu sang Raja. Salju turun makin rapat, membungkus tubuh mungil itu seperti kain kafan yang dingin.

“Cambuk dia,” ujar Raja Vermont dengan suara tegas tak berbelas kasih—seolah yang hendak dihukum bukan darah dagingnya sendiri, melainkan sekadar aib yang harus disingkirkan dari catatan sejarah keluarga.

Tak satu pun penasihat bersuara. Mereka diam seperti patung-patung batu, menunduk dalam sunyi yang menyetujui kekejaman.

Dua pengawal segera maju, menarik Rosella dari lantai yang membeku. Tubuh mungil itu terseret pelan, kaki-kakinya menyeret salju, gaunnya basah, sobek, dan terlalu tipis untuk melawan dingin. Salju turun makin deras, memutihkan segala yang tersentuh—kecuali noda-noda darah yang mulai tercetak di sela batu-batu beku.

Gadis kecil itu tak melawan.

Ia tak bersuara.

Ia hanya menunduk, seperti pasrah. Tapi di dalam matanya—yang tersembunyi di balik helai rambut basah—terkunci kehancuran yang tak seorang pun bisa dengar.

Tubuhnya disandarkan ke tiang kayu tinggi di sisi luar aula. Tiang itu dingin dan kasar, dan ketika kedua tangannya ditarik ke atas dan diikat, salju yang menempel langsung membakar luka-luka kecil di kulitnya.

Algojo berdiri di belakang. Tangannya menggenggam cambuk hitam yang diam-diam telah mencicipi terlalu banyak daging manusia.

Penasihat utama menoleh. Suaranya datar, tanpa rasa.

“Apakah kau mengakui kesalahanmu, Rosella Lysandrel Aetherielle?”

Pertanyaan itu menancap seperti tombak dingin ke dalam dada mungil gadis itu.

Rosella perlahan mengangkat wajah. Rambut pirangnya menempel di pipi merah lebam, matanya membasah oleh air mata yang tak bisa dibendung. Suaranya pecah, melolong dari tempat terdalamnya.

“Tidak!”

Tanpa aba-aba, cambukan pertama menghantam punggungnya.

Suara kulit yang robek terdengar nyaring di antara salju. Rosella menggigit bibir hingga berdarah, bahunya terguncang hebat, napasnya tercekat. Darah segar merembes dari balik gaun yang robek, mengalir hangat di tengah udara yang menggigit.

Cambukan kedua menyusul, tepat di tempat yang sama. Tubuh kecil itu terangkat sedikit dari tanah, lalu jatuh lemas kembali. Tidak ada waktu untuk menelan rasa sakit sebelum cambuk berikutnya mendarat.

Ketiga dan keempat.

Darah mulai menetes ke tanah. Bahunya berguncang tak terkendali, tapi mulutnya tetap terkunci. Tidak ada permohonan ampun. Hanya napas tersengal dan suara gemetar.

“A-aku tidak bersalah …,” gumamnya pelan, tercekat, seolah dipaksa keluar dari celah tulang rusuk yang terbakar.

Cambukan kelima, keenam, ketujuh.

Kulitnya mengelupas, robek bersamaan dengan kain tipis yang menempel pada luka-lukanya. Gaunnya tak lagi menutupi tubuh—hanya sobekan kain yang basah darah, menempel seperti kulit kedua.

“A-aku ... tidak ... bersalah ....”

Kedelapan. Kesembilan. Kesepuluh.

Jeritannya akhirnya pecah. Bukan jerit minta ampun, melainkan jerit murni dari rasa sakit yang melampaui usia dan daya tahan seorang anak kecil. Tubuhnya mengejang, tangan kecilnya mengepal meski terikat tinggi.

Cambukan kesebelas menghantam lebih keras dari sebelumnya. Rosella terangkat lagi, tubuhnya tersentak, darah memercik dari luka terbuka yang kini membelah punggungnya. Salju di bawahnya memerah, meleleh bersama darah hangat.

“Akh—!”

Nafasnya memburu. Ia menunduk, rambut menutupi wajah, tubuhnya menggigil parah.

Cambukan kedua belas dan ketiga belas.

Suara cambuk yang menyayat dan daging yang tercabik bersahut-sahutan. Setiap hentakan mencuri lebih banyak darah dan sisa kekuatan dari tubuh kecil itu. Ujung cambuk mencabik bagian bawah punggungnya, nyaris menyentuh tulang.

“A-aku ... aku tidak bersalah .…” Suaranya nyaris tak terdengar. Lirih. Retak. Menyeret isak dan luka menjadi satu.

Cambukan keempat belas hingga berakhir di angka tiga puluh.

Tubuh Rosella mulai lunglai, satu ikatan tangannya sempat melonggar. Tapi sebelum ia terjatuh, tangan prajurit menarik dan mengencangkan kembali simpul tali.

“Dia masih sadar,” bisik salah satu penasihat, matanya tetap tertuju pada punggung yang kini diselimuti darah dan salju.

Salju turun makin padat. Butirannya melebur bersama darah panas yang membasahi bahu dan punggung gadis kecil itu. Jemarinya yang terikat tampak bergetar, seolah tubuhnya ingin menyerah—tapi jiwanya menolak.

“Aku … tidak salah .…”

~oo0oo~

Langit kelabu menggantung rendah di atas rombongan pasukan Ashguard yang sedang menuju Dreadholt. Angin dingin mengiris kulit, membawa aroma besi dari salju yang mencair di atas senjata. Jalanan licin, becek, bercampur lumpur dan sisa es beku. Di antara derap kuda dan roda kereta berat, tiga sosok perempuan digiring berjalan kaki—rantai menghubungkan kaki mereka, dingin dan menyakitkan.

Rosella berada paling depan.

Langkahnya semula tegap, dingin, tak bersuara. Tapi sejak salju mulai turun tadi, tubuhnya berubah perlahan. Bahunya mulai menegang. Nafasnya tak lagi teratur. Matanya menatap lurus ke depan, tapi kosong—seolah bukan jalan berlumpur yang dilihatnya, melainkan sesuatu yang jauh … dan jauh lebih menusuk dari udara pegunungan mana pun.

Feya yang berjalan di belakang mulai menyadari keanehan itu.

“Rosella?” panggilnya pelan.

Tak ada jawaban. Rosella tetap berjalan, tapi kini seperti boneka tanpa roh. Langkahnya kaku, dingin. Nafasnya mulai memburu, suara seraknya menyelinap di antara desiran salju.

Lyrra ikut menoleh. “Ada apa deng—”

Tiba-tiba, Rosella berhenti.

Tubuhnya membeku. Kedua tangannya mencengkeram sisi bajunya, bahunya bergetar hebat. Ia menunduk, dan sesaat kemudian, terdengar suara napasnya tercekat—seperti seseorang yang dicekik oleh bayangan dari masa lalu.

Feya menarik rantai, panik. “Rosella, hei—jawab aku!”

Rosella meraba dadanya, tepat di atas jantung yang berdegup tak beraturan. Bibirnya terbuka, matanya membelalak seolah sedang diseret kembali ke tempat yang hanya bisa dilihat olehnya—salju, tiang kayu, cambuk.

Langkahnya mundur—satu, dua—lalu ia jatuh berlutut di salju becek yang mencair.

Darah menetes dari hidungnya.

Feya menjerit, “Rosella berdarah! Hentikan! Dia berdarah!”

Beberapa prajurit di sekitar menoleh sekilas, ada yang menggenggam erat gagang pedangnya, tapi tak satu pun maju.

Lyrra menjatuhkan diri di sisi Rosella, meraih bahunya yang gemetar. “Rosella! Kau dengar aku? Ini perjalanan ke Dreadholt. Kau bersamaku. Kau aman!”

Tapi Rosella tak menjawab. Tubuhnya menggigil hebat, dari ujung rambut hingga jemari. Tangannya mencengkeram lumpur dan salju yang melebur di bawahnya, seperti ingin bertahan dari badai yang tak terlihat. Mulutnya bergerak pelan, nyaris tak terdengar, tapi satu kalimat lolos dengan getir.

“Bukan aku ... aku tidak bersalah .…”

Feya terdiam.

Lyrra menahan nafas.

Rosella kembali terisak, tubuhnya membungkuk, napasnya pendek dan putus. Air mata dan darah menyatu di wajahnya, menetes ke tanah yang tak peduli. Di sekitarnya, dunia terus berjalan—kuda masih melangkah, roda masih berputar. Tapi bagi Rosella, waktu telah beku, membawanya kembali pada cambuk dan salju.

Salah satu prajurit di tengah barisan menoleh cepat. Begitu melihat Rosella berlutut dengan darah di wajahnya, ia membelalak, lalu segera berlari ke depan sambil berseru.

“Yang Mulia Duke!”

Dari barisan terdepan, Orion menarik tali kekang kudanya.

Kuda hitam itu mendadak berhenti dan meringkik. Duke Orion menoleh, matanya menyipit menajamkan arah suara panggilan.

“Ada apa?”

“Tawanan! Yang satu jatuh! Hidungnya berdarah—sepertinya dia terluka, Tuanku!”

Orion tidak menunggu lebih lanjut. Ia menarik kendali, membalik arah kudanya, dan melaju ke tengah barisan. Barisan prajurit membuka jalan seketika. Jubah hitamnya mengepak tertiup angin, langkah kudanya menghantam becek salju tanpa ragu.

Dan ia tiba.

Rosella masih berlutut di tanah yang lembek dan dingin. Tubuhnya membungkuk, tangan mencengkeram tanah seolah hidupnya bergantung pada cengkeraman itu. Bahunya gemetar hebat. Darah masih menetes dari hidungnya. Matanya terbuka … tapi tidak melihat.

Feya menahan tubuhnya dari sisi kanan, panik, mencoba menjaga Rosella tetap tegak. Lyrra berjongkok di sisi kiri, siaga, wajahnya kaku tapi matanya waspada.

Orion turun dari kudanya.

Langkahnya mantap, diam, menghujam tanah tanpa suara. Ia berdiri di hadapan Rosella, memandangi tubuh kecil itu—basah, gemetar, hancur. Jemari Rosella yang menggenggam tanah tampak menolak melepaskan … seolah yang ada di hadapannya bukan sekadar lumpur, melainkan satu-satunya tempat aman dari neraka yang hidup kembali.

Ia berjongkok.

Tangannya terulur, dan dengan dua jarinya, ia mengangkat dagu Rosella. Wajah gadis itu mendongak perlahan. Mata mereka bertemu.

Untuk pertama kalinya dalam perjalanan itu, Orion menatap sesuatu yang tak ia kenal.

Bukan ketakutan.

Bukan kemarahan.

Tapi kehancuran.

“Rosella, bangun,” ucapnya pelan—hampir seperti bisikan, tapi tetap perintah.

Rosella tidak bergerak. Matanya menatap menembus dirinya, seolah tubuh itu hanya wadah, dan jiwanya telah tertinggal di salju entah di mana.

Orion melepaskan dagunya.

“Ambil selimut. Lepaskan rantai dari kakinya. Masukkan dia ke dalam kereta,” katanya dingin. “Dia tidak boleh mati hari ini.”

Tiga prajurit segera bergerak.

Feya tetap menggenggam tangan Rosella erat, tak ingin melepaskan. Tubuhnya gemetar, tapi ia tak bersuara. Matanya hanya mengikuti perintah itu dilaksanakan—tak sanggup bicara apa pun.

Orion berdiri, kembali ke kudanya, dan naik ke pelana dengan gerakan yang efisien dan tenang. Ia tidak mengatakan apa pun lagi.

Namun sebelum ia memacu kudanya kembali ke depan barisan, ia menoleh sekali lagi.

Tatapannya jatuh pada gadis berambut pirang yang kini mulai diselimuti jubah hangat.

Mata itu masih kosong.

Dan untuk alasan yang tak bisa ia mengert ... itu cukup mengganggunya.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!