Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Kenapa Kamu Melakukan nya, Benji?
...•••...
Ben terdiam sejenak, tubuhnya menegang menerima kehadiran Hayaning yang tiba-tiba. Isakan perempuan itu terasa begitu dekat di dadanya, menciptakan guncangan halus yang membuat Ben kehilangan kata-kata. Tangan besarnya terangkat ragu, sebelum akhirnya perlahan membalas pelukan itu, menepuk punggungnya dengan hati-hati.
"Nona, ada apa? Siapa yang mengganggu Nona?" Tanyanya dengan nada suara yang meninggi.
Hayaning hanya menggeleng di pelukannya, semakin merapat seolah takut jika Ben melepaskannya.
"Baiklah, Nona bisa di sini sebentar. Saya tidak akan bertanya sekarang," ucapnya pelan, membiarkan perempuan itu menemukan ketenangan dalam dekapannya.
Setelah Haya merasa tenang, ia perlahan melepaskan diri dari pelukan Ben. Napasnya masih tersengal, tetapi isakannya mulai mereda.
"Mari duduk di sofa," ujar Ben lembut, tangannya menuntun Hayaning dengan hati-hati. Perempuan itu menurut tanpa banyak bicara, membiarkan dirinya didudukkan di atas sofa empuk di sudut ruangan.
Ben menyeret kursi lalu duduk dihadapan Haya. "Bisa ceritakan apa yang terjadi, Nona?" tanyanya, kali ini lebih pelan, penuh kesabaran.
Haya menatap wajah Ben dengan seksama. "Kamu... Ini tentang kamu, Ben," nadanya berubah serius, begitu juga dengan raut wajahnya yang kini tampak lebih tegas, meskipun masih menyisakan sisa-sisa kesedihan.
Ben mengernyit tipis, mencoba mencerna kata-kata Hayaning. "Tentang saya?" ulangnya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
Hayaning mengangguk, "kamu apakan Mas Dipta?" Tiba-tiba saja Haya bertanya tentang calon suaminya. "Aku tahu, dia ngga mungkin dalam kondisi seperti itu kalau bukan ada orang yang nekat melakukannya. Firasat ku mengatakan bahwa itu kamu... entah tapi aku rasa—"
"Ya itu saya, saya yang membuat dia seperti itu." Ben langsung to the point, lagipula ia bukan tipe orang yang suka menutup-nutupi.
Haya mencelos mendengar kebenarannya, "aku bilang, jangan Ben! Kenapa kamu tetap melakukannya hah?" Suara Hayaning bergetar, antara marah dan kecewa. Matanya yang masih berkaca-kaca menatap Ben dengan perasaan yang berkecamuk.
Ben menundukkan kepala, kedua tangannya bertaut di atas lututnya, seolah sedang menimbang sesuatu. "Karena saya tidak bisa diam saja melihat Nona disakiti oleh pria seperti dia," jawabnya dengan suara yang dalam dan tenang.
Hayaning menggeleng kuat, "Itu bukan urusanmu, Ben! Aku bisa mengurusnya sendiri. Aku sudah memperingatkan mu, kan?!" Napasnya memburu, emosinya jelas terpancing.
Ben akhirnya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Hayaning. "Kalau memang bisa, kenapa Nona datang ke sini malam-malam seperti ini? Dengan wajah penuh ketakutan dan kesedihan?" tanyanya lirih namun tajam, membuat Hayaning terdiam sejenak. "Nona tidak mengkhawatirkan pria brengsek itu kan?"
Hayaning menggigit bibir bawahnya, matanya kembali berkaca-kaca. "Aku... aku mengkhawatirkan kamu Benji," ucapnya dengan suara yang melemah. "Dia itu bukan orang sembarangan, bagaimana kalau—"
"Kalau dia membalas dendam, lalu dia menyakiti saya dengan orang-orang suruhannya itu, kemudian menjebloskan saya kedalam jeruji besi?" potong Ben cepat, nada suaranya tetap tenang, tetapi sorot matanya menggelap. "Biar saja, saya tidak takut, Nona."
Hayaning menghela napas berat, jelas frustrasi dengan sikap keras kepala Ben. "Ben... Aku tidak mau kamu terlibat dalam masalah yang tidak ada hubungannya denganmu,"
Ben menatapnya dengan sorot tajam. "Ada hubungannya dengan saya, Nona," tegasnya, nada suaranya berat. "Pak Brata memperkerjakan saya sebagai bodyguard pribadi Nona. Saya di sini untuk memastikan keselamatan Nona, tidak lebih dan tidak kurang." Ia bersandar sedikit ke belakang, ekspresinya tetap datar.
"Saya melakukan pekerjaan saya, dan jika harus mempertaruhkan nyawa, saya tidak akan ragu. Setidaknya sampai kontrak saya selesai dan setelah itu saya tidak memiliki hak untuk melindungi Nona lagi."
Hayaning terdiam. Kata-kata Ben menyelinap ke dalam pikirannya seperti tamparan realitas yang menyakitkan.
Sejauh ini, ia terlalu larut dalam kedekatan mereka, terlalu nyaman hingga lupa bahwa Ben bukan seseorang yang hadir untuk dirinya secara personal. Ia hanya seorang pengawal yang dibayar oleh ayahnya. Bukan seseorang yang bisa ia harapkan lebih dari itu.
Hening lama diantara mereka, sampai akhirnya sentuhan halus jemari Ben di dagunya membuat Haya kembali menatap manik cokelat pria itu.
"Saya berjanji, saya akan melindungi Nona apapun yang terjadi. Setidaknya Nona, didekat saya, tak ada seorangpun yang bisa menyakiti termasuk calon suami atau keluarga nona Hayaning." ujar Ben dengan suara tegas, matanya menatap lurus ke arah Hayaning, ingin meyakinkannya.
"Perintah tetap perintah Nona, jika pak Brata meminta saya untuk melindungi kamu, maka saya harus lindungi." Ucapnya, dengan Tanpa sadar tangannya ikut terkepal. "Walaupun Pak Brata nampak terperdaya oleh calon suamimu, saya yakin bahwa beliau masih sangat mempertimbangkan perjodohan kalian."
Haya tak mengerti, "maksudmu Ben?"
"Saya tidak tahu pasti, tapi saya yakin Pak Brata tidak akan sembarangan menyerahkan Nona pada orang seperti Dipta," kali ini suara Ben terdengar lebih pelan.
Hayaning menatapnya dengan keraguan yang jelas terpancar dari matanya. "Tapi nyatanya, beliau tetap bersikeras dengan perjodohan ini, Ben," ujarnya lirih.
Ben menatapnya lebih tajam. "Saya hanya bisa berharap beliau punya alasan yang lebih besar di balik keputusan itu. Tapi satu hal yang pasti, saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Nona, bahkan jika itu berarti saya harus berhadapan dengan orang-orang terdekat Nona sendiri."
Bicaranya begitu kokoh, nyaris tak tergoyahkan. Jemarinya kembali mengepal erat, seolah menegaskan bahwa ia siap menghadapi apa pun.
"Karena jika saya sudah diperintahkan dalam pekerjaan, maka saya akan mematuhinya. Tak peduli siapa pun yang mencoba menyakiti Nona,"Ben menatap Hayaning dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Saya punya prinsip, Nona."
Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi cukup untuk menegaskan segalanya—bahwa pria di depannya ini tidak tergoyahkan. Mungkin saja, pikir Hayaning dalam hati, ia memang sudah terlalu berharap lebih.
"Baiklah, Ben," ujar Hayaning lirih. "Sepertinya aku sudah selesai berbicara denganmu. Maaf... sebagai seseorang yang seharusnya dilindungi, aku tidak sepatutnya menegurmu."
Tanpa menunggu jawaban, Hayaning bangkit berdiri. Ia berbalik, berniat melangkah pergi, namun baru beberapa langkah menuju pintu, tangan Ben tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dengan cukup kuat. Tubuhnya terhuyung ke belakang tanpa sempat mengantisipasi, dan ia menabrak dada bidang pria itu.
Napasnya tercekat ketika merasakan lengan Ben melingkar di pinggangnya, menahannya dalam jarak yang begitu dekat, terlalu dekat hingga membuatnya harus mengendalikan diri sekuat tenaga.
"Apa Nona marah pada saya?" suara Ben terdengar dalam dan tenang di atas kepalanya
Hayaning menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Sentuhan ini... Begitu lembut, begitu akrab, dan berbahaya bagi hatinya yang sedang berusaha ia disiplinkan.
"Ben..." panggilnya pelan, mencoba menarik dirinya menjauh, tapi genggaman pria itu tetap kukuh, seolah menolak untuk melepaskannya begitu saja.
Hayaning mengernyit samar, samar-samar aroma alkohol menyusup ke dalam indera penciumannya. Ia mengangkat wajah, menatap Ben dengan sorot mata yang sulit ditebak.
"Kamu minum?"
Ben membalas tatapan itu, bibirnya menipis dalam garis lurus. "Sedikit," jawabnya singkat. "Tapi kembali ke pertanyaan saya, apa Nona marah pada saya, hm?"
Hayaning menghela napas, suaranya terdengar datar. "Kenapa aku harus marah padamu?"
Ben tetap menatapnya, ekspresinya sulit ditebak. "Saya tidak suka Nona bersikap seperti ini pada saya."
Kening Hayaning berkerut tipis. "Seperti ini bagaimana maksudmu?"
Ben menarik napas, menatapnya lebih dalam. "Jangan menyimpan perasaan istimewa pada saya, Nona."
Hayaning sempat membeku, tetapi hanya sesaat sebelum ia kembali mengendalikan dirinya. Ia tertawa kecil, dingin, lalu menatap Ben dengan tajam. "Ge er sekali kamu, Ben. Aku tidak pernah memiliki perasaan seperti itu, padamu," ucapnya dengan nada ringan, namun ada ketegasan di dalamnya.
Ben menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Bagus kalau begitu, karena saya tidak ingin ada hal seperti itu mengganggu pekerjaan saya. Prioritas saya adalah melindungi Nona, tidak lebih."
Hayaning menatap Ben sejenak sebelum perlahan melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Sorot matanya tenang, nyaris tanpa emosi. "Tenang saja, aku tahu diri," ucapnya dengan nada yang terdengar santai, meskipun perasannya mencelos. "Aku perempuan yang sudah dijodohkan, Ben. Dengan siapa pun hatiku berlabuh, pada akhirnya semuanya tetap akan sia-sia." Ucapnya dengan tabah.
Ben terdiam, memperhatikan ekspresi dingin yang kini tergambar jelas di wajah Hayaning. Ini pertama kalinya ia melihat perempuan itu bersikap setenang ini—terlalu tenang, hingga terasa asing. Dan entah kenapa, ia tidak menyukai itu.
Sial. Segalanya memang berjalan sesuai seharusnya, bukan? Ia hanya pengawal, dan Hayaning hanya seseorang yang harus ia jaga. Tetapi, kenapa ada sesuatu yang terasa salah? Sesuatu yang membuat dadanya mendadak terasa sesak.
"Dua minggu lagi, aku akan bertunangan dengan Adipta," lanjut Hayaning, suaranya terdengar datar. "Sebenarnya aku ingin memberitahumu tentang ini, tapi entah kenapa yang keluar dari mulutku malah hal lain. Aku mengkhawatirkan mu, Ben." Ia menghela napas pendek, lalu tersenyum tipis yang tak sampai ke matanya.
"Tapi terima kasih, kamu sudah mengingatkanku. Kamu hanya seorang bodyguard yang ditugaskan, dipekerjakan, dan diperintahkan oleh Papa." Ia menjeda dahulu. Matanya menatap Ben sekilas sebelum melanjutkan, "Jadi kamu tidak perlu khawatir. Setelah aku dan Dipta menikah, kontrakmu selesai. Kamu tidak harus terlibat denganku lagi."
Tanpa menunggu respons dari Ben, Hayaning melangkah pergi, meninggalkannya dalam keheningan yang terasa begitu memberantaki pikirannya.
"Sialan! Aku membenci perasaan kasihan ini!"
•••
Hayaning tampil memukau malam itu di sebuah gedung teater bergaya klasik. Ia menerima undangan dari seorang kenalan lama keluarganya, seorang maestro musik yang pernah mengajarinya di masa kecil.
Menjadi pianis memang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Haya sering menerima undangan untuk tampil, dan meski itu adalah bagian dari pekerjaannya, ia juga memiliki cita-cita kecil untuk suatu hari bisa menjadi seorang guru piano.
Dia sangat berbeda dengan kakak-kakak laki-lakinya yang mayoritas berprofesi sebagai politikus dan pengusaha, serta satu-satunya kakak perempuannya yang terjun ke dunia permodelan. Hayaning selalu merasa sedikit terasing, berdiri di luar lingkaran yang dibentuk oleh keluarganya yang lebih terfokus pada dunia sosial dan politik, sementara ia lebih suka akan ketenangan dan kesederhanaan yang ia temukan dalam dunia musik.
Hayaning juga tak banyak mengenal orang-orang, hanya segelintir, dan itupun dapat dihitung dengan jari. Kepribadiannya yang terlalu tertutup membuat banyak orang enggan mendekat, bahkan tak jarang ada yang tidak menyukainya.
Tetapi semua itu dipicu sebab hampir seluruh hidupnya dihabiskan dalam pengasingan oleh keluarganya sendiri, membuatnya terbiasa dengan kesunyian. Jadi, apa yang patut diharapkannya dari kehidupan sosial yang ramai?
"Penampilan Nona sangat indah," seorang pria berkacamata yang sepertinya seumuran dengan Haya mendekati, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengannya.
"Ah ya terimakasih," balas Hayaning dengan tangan yang menerima jabatan pria itu.
Sementara pria tua disampingnya nampak suka melihat interaksi putranya dengan sang putri bungsu dari seorang jaksa agung, yang bahkan ia baru tahu bahwa Brata memiliki anak gadis terakhir yang amat ayu rupawan ini, sangat berbeda wajahnya, lebih unggul.
"Nak Hayaning, ini putra bungsu saya, Abinaya Cokroaminoto."
Haya mengangguk sopan, "saya Hayaning Adhijokso, senang berkenalan dengan Mas Abi."
"Mas? Huh." Monolog Ben yang mendengar sayup-sayup interaksi mereka sedikit lebih jauh. Ia tak suka ketika Haya begitu akrab menyebut pria yang baru dikenalnya dengan sebutan 'Mas' meskipun ia tahu betul bahwa itu adalah panggilan yang wajar.
"Huft..."
Mereka berbicara amat lama. Pikir Ben yang sudah tak sabaran seakan ingin menarik Nona-nya dari sana.
Ben saat itu berdiri dengan tangan bersedekap, matanya tak lepas dari Hayaning yang masih berbincang dengan Abinaya. Semakin lama mereka berbicara, semakin dalam rasa kesal yang merayap di dadanya.
"Oh f*ck! Mata pria itu." Monolognya dongkol.
Tatapan pria itu pada Hayaning terlalu terang-terangan—terlalu mendamba, dan Ben tak menyukainya. Rahangnya mengatup rapat, napasnya terasa berat, sementara wajahnya mulai menunjukkan ekspresi tak sabar yang sulit ia sembunyikan.
"Apa yang mereka bicarakan selama ini?" pikirnya dengan gelisah.
Ben tahu seharusnya dia tak perlu ambil pusing. Ini bukan urusannya, dan Hayaning berhak berbicara dengan siapa pun yang dia mau. Tapi entah kenapa, melihat Hayaning tersenyum tipis pada pria itu membuat dadanya terasa panas.
Sial.
Sesekali Hayaning melirik ke arahnya, menyadari keberadaannya di sudut ruangan. Namun, alih-alih menghampiri, Hayaning justru kembali fokus pada percakapannya dengan Abinaya, membuat Ben semakin prengat-prengut tak jelas.
"Kenapa jadi aku yang seperti orang bodoh di sini?" gerutunya dalam hati.
Ah, akhirnya. Haya menghampiri Ben, "mari pulang." Katanya begitu dingin lalu ia berjalan lebih dulu.
Ben menghela napas lega sebelum segera menyusul langkah Hayaning yang sudah lebih dulu menuju pintu keluar.
Sepanjang perjalanan di malam itu, keheningan menyelimuti mereka. Hayaning hanya menatap ke luar jendela, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya.
Sudah dua hari ini Hayaning bersikap seperti itu. Biasanya, perempuan itu akan banyak bertanya dan berbicara dengan wajah berseri-seri, tetapi kali ini tidak. Bahkan tak ada lagi senyuman yang biasanya ia bagikan pada Ben.
Untuk pertama kalinya, Hayaning benar-benar bersikap seperti seorang majikan. Formal, kaku, dan seakan menggambarkan batas yang jelas di antara mereka.
Ben sendiri sebenarnya tak mempermasalahkan hal itu. Memang seharusnya begitu sejak awal. Tapi anehnya, semakin Hayaning bersikap seperti itu, semakin ia merasa tak nyaman.
Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang membuatnya kesal dan uring-uringan, terutama saat malam tiba dan ia sendirian di paviliunnya.
"Oh Sialan! Aku membenci suasana ini!" Ben berteriak jengkel dalam hatinya.