Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Lega rasanya saat ibu Ayu memilih pergi dari apartemen ini. Aku tidak menyangka jika dia berani melakukan apapun tanpa sepengetahuan Pak Aji. Tentu aku ada niatan mengadukan hal ini, tapi setelah aku pikir kembali tidak ada gunanya aku melakukan semua itu.
Eni membersihkan gelas yang tadi di atas meja. Aku masih memilih duduk tenang dan kembali menonton TV. Tidak aku sangka aku akan melihat hal yang membuat aku terkejut.
'Anak semata wayang keluarga Wijaya. Dia kembali bertemu dengan cinta masa kecilnya. Leona Rana.'
Tag line itu membuat aku panas dingin. Setahuku anak keluarga Wijaya ya hanya Mada. Lalu kenapa dia bertemu dengan wanita itu. Cinta masa kecilnya juga menjadi tag line hangat.
Selama ini aku tidak pernah mengikuti acara berita atau gosip dalam TV. Aku hanya fokus mengembangkan diriku saja. Tidak aku sangka di saat aku akan meluangkan waktu untuk menikmatinya. Aku disuguhi oleh berita macam ini.
Tenang, aku mengatur nafasku beberapa kali agar tetap tenang. Cemburu, jelas saja aku merasakannya. Apa lagi baru kemarin Mada mengungkapkan isi hatinya padaku. Tanpa sadar tanganku sudah mengepal dengan kuat.
[ Apa besok bisa datang? Arga ulang tahun, aku ingin mengadakan acara untuknya ]
Pesan dari Oma Melati sedikit mengalihkan perhatianku dari Mada. Meskipun tetap saja aku kepikiran dengan berita itu. Jelas terlihat diberita itu Mada begitu menjaga wanita bernama Leona itu.
"Aaaaa!!!!"
Aku berteriak sekeras mungkin mencoba melepaskan rasa yang membuat aku sangat tersiksa ini.
"Nona kenapa?"
Aku menoleh dan melihat Eni sudah ada di sana. Aku tersenyum kecil dan berdiri menghampirinya.
"Tidak ada. Kamu kembali bekerja saja."
"Baik, Nona."
Biarlah dikira aku gila. Aku memilih masuk ke dalam kamar. Mengganti pakaian untuk keluar. Dari pada duduk diam di rumah membuat aku banyak pikiran. Aku akan memilih mencari hadiah untuk Pak Arga saja. Tidak mungkin juga aku datang ke acara ulang tahun itu tanpa membawa apapun.
Celana panjang hitam dengan blouse berwarna merah muda menjadi pilihanku. Sepatu tanpa hak dan tas kecil menjadi aksesoris yang menurutku nyaman. Aku keluar, Eni tengah menyapu ruang tamu saat ini.
"Anda mau kemana Nona?"
"Ada urusan. Jika Mada kembali, katakan padanya aku pulang terlambat."
"Baik, Nona."
Baru saja masuk lift. Aku sudah kembali ingat tentang berita Mada. Kenapa juga harus terus mengingatnya. Kenapa jatuh cinta sesakit ini. Kembali aku mencoba mengatur nafasku. Mencoba untuk tetap tenang dan tidak meluapkan emosiku sembarangan.
Pintu lift terbuka. Aku buru-buru keluar karena belum memesan taksi online. Kebetulan aku bertemu dengan Aron yang baru saja datang. Pandangan kami bertemu, tapi melihat pria itu membuatku mengingat Mada. Kembali aku merasa marah.
"Nona. Anda mau kemana?"
"Bukan urusanmu."
Jika saja aku memiliki sahabat, tau paling tidak teman. Pasti aku akan merasa sangat beruntung. Bisa membahas banyak hal, bisa saling mendengarkan keluh kesah. Jika seperti diriku ini, aku hanya bisa memendamnya sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa agar reda.
Sampai di sebuah mall aku turun. Aku masih tidak tahu kenapa memilih datang ke tempat ini. Memang benar aku mencari hadiah, tapi hadiah seperti apa aku masih belum tahu.
Aku duduk di sebuah bangku. Memikirkan hal yang mungkin Pak Arga suka dan mau menerimanya. Jika dasi, jam tangan, dan barang mahal yang lain sudah tentu Pak Arga bisa memilikinya sendiri.
"Hei. Bukankah kamu Heera?"
Semua lamunanku buyar seketika. Aku melihat wanita yang tidak asing, tapi aku lupa siapa dia. Dengan mini dress dan makeup tebal wanita itu menatap remeh padaku.
"Benar kata Rian. Kau sangat menyedihkan sekarang."
Rian? Aku jadi ingat siapa wanita di depanku ini. Seli, tunangan Rian yang sebentar lagi akan dia nikahi. Tunangan yang waktu itu membuat aku begitu terhina di mata keluarga Rian.
Aku berniat pergi saat Seli menarikku kembali duduk di bangku. Dia memainkan rambut panjangnya dan masih saja menatap hina padaku. Bayangan mereka mempermalukan diriku saat itu kembali terbayang.
"Aku dengar kau masih mengejar Rian? Dengar, aku dan Rian satu minggu lagi menikah. Jadi, pergilah dari hidup Rian."
Aku tertawa kecil dan berdiri di depan Seli. Dulu, aku memang memilih diam dan menunduk. Menerima semua perlakuan mereka tanpa mengatakan apapun. Aku sadari, saat itu aku benar-benar bodoh karena hanya diam dan tidak melakukan apapun.
"Sejak kapan aku mengejar Rian?"
"Jangan munafik. Selama ini kamu hidup dari uang tunanganku itu. Lihat, baju dan tas yang kau pakai. Semua itu uang darinya."
Beberapa orang kini dengan jelas menatapku dan Seli. Mereka termakan dengan omongan yang Seli bualkan. Sementara aku, aku kembali menjadi orang bodoh yang tidak tahu cara membela diri. Hanya karena tatapan semua orang yang memojokkan aku.
Bayangan-bayangan orang-orang itu yang menatap hina dan jijik pada diriku. Penolakan dan kalimat yang tidak menyenangkan itu kembali membayangiku. Bahkan pria yang bisa membuatku percaya diri sudah memilih kembali dengan cinta masa kecilnya. Aku memang tidak pantas merasa bahagia dan diterima.
"Kau diam? Itu tandanya benar bukan? Kembalikan semuanya sekarang. Apa yang menjadi milik Rian, itu milikku."
Kemana hilangnya rasa percaya diriku itu. Aku benar-benar kacau sekarang. Apa lagi mendapat tatapan dari orang-orang disekitar yang semakin intens padaku.
"Ayo kembalikan!"
Aku menutup mata saat Seli mendekat dan akan meraih diriku.
"Apa yang kamu lakukan?"
Suara itu, suara yang membuat aku percaya diri menjadi Heera Zanita. Aku membuka pelan mataku, benar saja sudah ada Mada di sana. Entah sejak kapan dia ada di sana dan sekarang datang menolongku.
Tangan Seli dihempaskan Mada begitu saja. Seli menatap remeh padaku yang hanya diam.
"Siapa dia? Apa pria yang saat ini kau dekati lagi? Oh benar, Rian akan menjadi suamiku. Tidak ada lagi yang akan memberimu uang, jadi kau mencari pria ini. Benar, kan?"
"Berhenti bicara," kata Mada dengan tatapan yang tidak terbaca olehku.
"Berhenti. Kamu tidak tahu bukan. Dia itu wanita tidak jelas asal-usulnya. Orang tua tidak punya, keluarga juga tidak ada. Mungkin, dia anak di luar nikah yang dibuang. Anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri."
Plak!
Dengan sadar aku menampar wajah Seli. Bukan karena adanya Mada di sisiku, tapi karena apa yang Seli katakan tidak benar.
"Sudah, Heera."
Aku menoleh pada Mada yang perlahan menarik diriku mendekat padanya.
"Dengar, Heera adalah istriku. Aku tidak peduli dengan semua bualanmu, tapi karena kau sudah berani menyinggungnya. Aku akan buat kau merasakan akibatnya. Aron, bawa dia pergi!"
Aron menarik tangan Seli dengan paksa untuk keluar. Sementara Mada membawaku masuk ke dalam mobil. Aku sudah tidak melihat orang-orang yang tadi menonton semua itu. Seperti tidak terjadi apapun barusan.