"Cinta bukan hanya tentang rindu dan sentuhan. Tapi juga tentang luka yang diwariskan, dan rahasia yang dikuburkan."
Kael Julian Dreyson.
Satu pria, dua identitas.
Ia datang ke dalam hidup Elika Pierce bukan untuk mencintai ... tapi untuk menghancurkan.
Namun siapa sangka, justru ia sendiri yang hancur—oleh gadis yang berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Elika hanya punya dua pilihan :
🌹 Menikmati rasa sakit yang manis
atau
🌑 Tersiksa dalam rindu yang tak kunjung padam.
“Kau berhasil membuatku kehilangan kendali, Mr Dreyson.” — Elika Pierce
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan yang Tak Kuinginkan
...❤︎...
...“Bukan harta atau kasih sayang yang diwariskan … tapi dosa yang harus kupikul seumur hidup.”...
...❤︎...
Langit Berlin pagi itu kelabu. Mobil hitam melaju tenang, tapi di dada Elika, jantungnya berdegup seperti sedang berlari. Ia duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela, membiarkan pemandangan kota yang dingin lewat begitu saja. Rasanya seperti perutnya dikocok berkali-kali setiap kali ia mengingat apa yang akan ia dengar hari ini.
Logan fokus menyetir, jarinya mengetuk ringan kemudi. Tidak ada percakapan di antara mereka sampai mobil perlahan menepi di area parkir penjara. Sebelum Elika membuka pintu, Logan mengulurkan sebuah kartu ATM hitam.
“Itu dari Kael,” katanya datar. “Cukup untuk membeli sebuah apartemen di sini. Kalau kurang, bilang padaku. Dia akan menambahkannya.”
Elika memandang kartu itu sejenak, lalu menerimanya. “Apartemen? Untuk apa?”
“Maksudku, jumlahnya cukup banyak. Kau bebas pakai sesukamu.” Logan menatapnya dalam. “Aku tahu sulit ada di sisinya … tapi percayalah, semua yang dia lakukan untukmu tulus. Kami berdua cuma … tidak tahu cara yang benar untuk menunjukkan kasih sayang.”
Elika terdiam, ia menggenggam kartu itu erat. Kata-kata Logan terasa seperti pengingat bahwa kehidupannya sekarang hanya bertahan karena kemurahan hati Kael. Jika pria itu tak ada di hidupnya saat ini, mungkin sekarang ia sudah tinggal di pinggiran jalan.
Mereka berjalan masuk ke dalam ruang kunjungan. Bau logam dan disinfektan menyambut dari balik pintu baja. Ruang itu terasa dingin. Dan Elika … ia duduk di kursi besi, menunggu sosok yang memegang kunci dari semua kegelisahan hatinya.
Tak lama, suara borgol berbenturan terdengar.
Conner masuk, dibimbing dua petugas. Wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia duduk, menatap Elika lama sebelum tersenyum tipis.
“Papa pikir, kau tidak akan datang,” suaranya tenang, nyaris lembut dan putus asa. Matanya berkaca-kaca.
Mata Elika pun ikut berkaca-kaca. Ia berdiri dari duduk, dan langsung memeluk tubuh pria tua itu. Meskipun dunia berkata bahwa pria itu adalah penjahat kelas kakap, bagaimanapun … Conner tetaplah seorang ayah untuknya. “Aku rindu, Papa.”
Elika menangis sesenggukan. Membuat Conner merasa bersalah dan semakin terbebani oleh kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Ia menyadari, bahwa masa lalu itu berdampak buruk bagi dia, istrinya, terlebih untuk anaknya.
“Maafkan, Papa … Elika.” Conner tak mampu menahan airmatanya. Ia menatap Elika dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan khawatir seorang ayah pada anak perempuannya. “Apa pria itu menyakitimu, Nak?”
Elika menggeleng pelan. Bibirnya melengkung ke bawah sambil tangannya mengusap pelan airmatanya yang tak kunjung berhenti. “Tidak. Dia memperlakukanku dengan sangat baik.”
“Aku makan enak, aku tidur nyenyak, aku dibelikan pakaian bagus dan … dia akan membiayai kuliahku di sini,” imbuhnya sambil memaksakan senyum yang sangat getir karena nyaman di tangan orang yang menjatuhkan ayahnya. Ia sadar, tak seharusnya ia mengatakan semua itu. Tapi … ia ingin ayahnya itu tidak terbebani dengan berpikir bahwa anaknya hidup tak layak.
“Papa jangan khawatir. Aku baik-baik saja,” ucapnya lagi.
Conner menelan paksa salivanya. Ada rasa bersalah yang menyeruak di dada. Entah seperti apa ia harus berterima kasih pada semesta, yang jelas … saat ini ia benar-benar malu dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Bahkan anak dari orangtua yang ia rampas paksa masa hidupnya, masih mau memberikan kehidupan yang nyaman untuk darah dagingnya.
“Papa … aku hanya ingin tahu satu hal,” ucap Elika tegas. “Kebenaran.”
Conner bersandar tak berdaya. Bahunya menyusut turun dengan kedua tangan di atas paha. Borgolnya berderit pelan.
“Kebenaran, ya?” Ia tertawa singkat dengan suara yang parau. Tawa yang sedang mengejek dirinya sendiri. Matanya menatap lurus ke mata Elika sesaat. “Baiklah.”
Pria tua yang kini sudah tak berdaya itu menunduk di hadapan anak perempuan yang sangat ia cintai. “Benar. Aku yang membunuh Paul Friedrich serta Alan Müller, ayahnya Logan. Dan Greta Greyson … dia memilih mati setelah aku menghancurkan segalanya yang dia punya. Karena aku juga menghancurkan citra Paul Friedrich di dunia bisnis."
“Dan ibumu, Emma … dia adalah sahabat Greta saat di panti asuhan. Emma memilih untuk mengkhianati Greta karena cintanya yang besar untuk Papa,” imbuhnya dengan suara yang terdengar berat.
Sebuah pengakuan dosa masa lalu yang kelam, yang sudah ia tutup rapat-rapat agar tak ada seorang pun yang tahu. Tapi, siapa sangka? Pengakuan dosa itu ia lakukan tepat di depan darah dagingnya?
Elika menegang, napasnya tercekat. Tapi Conner belum selesai.
“Dan Emma, dia menyaksikan semua kejadian itu. Kematian Paul, Alan dan Greta. Itulah kenapa Emma selalu mengikuti Papa, kemanapun Papa pergi.”
Kaki Elika mendadak lemah seakan-akan tulang kakinya dicopot paksa. Ia tak bisa berdiri dan hampir jatuh ke lantai. Namun dengan sigap, Logan menahan tubuh Elika agar tak jatuh. Elika merasa seolah seluruh dunia runtuh di atas kepalanya.
“Aku … anak seorang pembunuh,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Conner tak berdaya dengan tangan yang diborgol dan kekayaan yang sudah habis terkikis. “Emma … bagaimana? Apa dia—”
Elika berlari keluar dari ruang kunjungan meninggalkan Conner dan Logan.
Logan berdiri membisu sesaat. Namun, sesaat kemudian ia berbalik badan ingin mengejar Elika.
Conner menahan lengan Logan menggunakan kedua tangannya yang di borgol. Ia tak berani menatap Logan, anak dari salah satu korban kejahatannya di masa lalu. Ia berlutut di hadapan Logan.
“Tolong … jaga dia. Aku tahu, kata maafku sudah tak berarti apa-apa. Tapi anak itu tak berdosa.” Conner terisak putus asa.
Logan menarik nafas berat. Ia berbalik badan dan menatap ke bawah dengan sorot mata yang tenang namun menyimpan ribuan dendam. “Kata maaf itu bukan untukku. Tapi saat kau mati dan bertemu dengan ayahku, minta maaflah sendiri padanya.”
“Kau sudah merusak perjuangan ayah tunggal yang berusaha keras membesarkan anaknya,” imbuhnya penuh ketegangan.
“Dan Elika … semua orang menyayanginya. Gadis itu tak akan terluka, walaupun di tubuhnya mengalir darah pembunuh sepertimu.”
Usai mengatakan hal tersebut, Logan melengos pergi meninggalkan Conner yang terisak pilu sambil bersujud tak berdaya. Tak ada lagi kata-kata yang dapat mewakili penyesalannya saat ini. Harapannya untuk menjadi pria berpengaruh agar bisa membahagiakan anak dan istrinya sudah hancur.
...❤︎❤︎❤︎...
...To be continued …....
padahal udh diumumin sm othornya tp lupa 🤦♀️