Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Di dalam apartemen mewah berlantai tujuh itu, Reihan berjalan tertatih, dibopong oleh Bima dengan susah payah. Luka-luka lebam di sekujur tubuhnya membuatnya meringis tiap kali kaki menjejak lantai. Begitu sampai di ranjang, ia langsung rebah dengan suara mengeluh pelan.
“Bangsat… badan gue sakit semua,” umpat Reihan seraya memejamkan matanya menahan nyeri.
Bima mendengus pelan. “Lo yakin nggak mau ke rumah sakit? Minimal rontgen deh.”
“Nggak usah! Gue masih bisa napas,” jawab Reihan ketus tapi lemah.
Bima mengangkat kedua tangan seolah menyerah, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sisi ruangan. Ia menatap Reihan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Jadi… apa yang bakal lo lakuin sama tuh cewek?” tanyanya sambil memainkan kunci mobilnya.
“Gue nggak tau,” ucap Reihan datar, sambil menatap langit-langit apartemennya.
Bima mencondongkan tubuhnya ke depan, mengernyit penasaran. “Sebenarnya gimana ceritanya sih lo bisa nikah sama dia? Lo? Kepala sekolah paling dingin di kota ini, nikah sama anak murid sendiri?”
Reihan mendesah panjang, seperti mencoba mengingat tragedi konyol itu. “Gue di begal,” katanya pelan. “Waktu itu gue habis pulang dari rapat dinas. Mereka ada sekitar sepuluh orang, dan gue jelas kalah jumlah. Badan gue dihajar sampai nyaris pingsan. Gue udah nggak bisa ngelawan lagi, tergeletak di tanah kayak karung.”
Matanya menerawang, nada bicaranya datar tapi sarat rasa frustasi. “Nah, entah dari mana, cewek itu… Alya, muncul. Nggak jelas juga dia ngapain di sana tengah malam. Dia nyamperin, mau nolongin. Tapi sialnya, dia malah kepleset, jatuh, dan menimpa badan gue.”
Bima menyipitkan mata, bibirnya mulai mengembang menahan tawa.
“Dan yang bikin tambah brengsek… pas momen jatuh itu, ada warga ronda lewat. Mereka ngeliat kita. gue tergeletak, dia di atas gue. Dan lo tau kan mulut warga kayak gimana?”
Bima ngakak seketika, hampir jatuh dari sofa. “HAHHAHAHA! Gila! Jadi mereka ngira lo mesum di pinggir jalan sama anak SMA?!”
“Kurang lebih begitu,” gumam Reihan, malas.
“Sial banget nasib lo, Rei! Sudahlah digebukin begal, dituduh mesum, eh dipaksa nikah sama Upik abu lagi!” seru Bima sambil terus tertawa, tangannya menepuk-nepuk lutut sendiri.
“Gue juga masih nggak percaya ini hidup gue,” keluh Reihan, menutupi wajahnya dengan lengan. “Sumpah, dari semua kemungkinan buruk, gue nggak pernah bayangin harus jadi suami dari anak didik gue sendiri.”
“Jadi orang tua lo nggak ada yang tau tentang pernikahan dadakan ini?” tanya Bima sambil menarik napas, mencoba menghentikan tawanya.
Reihan hanya menggeleng. “Nggak. Gue nggak punya nyali buat ngabarin mereka. Nyokap bokap gue pasti pikir gue lagi mabok kalau denger berita itu.”
Bima terdiam sejenak. Lalu bertanya dengan suara lebih tenang, “Lo nggak suka sama dia, kan?”
Reihan mendengus, wajahnya masam. “Enggak lah, gila. Ya kali gue mau sama cewek jelek kayak dia,” ucapnya dengan nada setengah kesal, setengah frustrasi.
Bima mengangkat alis, ekspresi terkejut tapi geli. “Gila lo, ngomongnya kejam amat, Rei. Anak orang lo bilang jelek.”
“Bukan maksudnya nyakitin, Bim. Tapi realita aja,” balas Reihan, mengangkat kedua tangan seolah menyerah. “Lo liat sendiri kan Alya gimana. Rambutnya kayak belum ketemu sisir tiga hari. kulitnya hitam kayak nggak pernah mandi, cupu lagi.”
Bima terkekeh, lalu meneguk minuman kemasan yang ada di hadapannya. “Tapi dia masih SMA, Rei. Ya wajar aja kalo masih lugu, polos, nggak dandan. Lagian, siapa tau nanti kalo udah dewasa, bisa jadi cakep?”
Reihan mencibir. “Lah, gue nikah bukan buat nunggu bunga tumbuh. Gue juga punya standar.”
“Terus kenapa lo mau aja waktu dipaksa nikah? Kan lo bisa nolak?”
“Gue lagi nggak bisa mikir waras waktu itu, Bim. Kepala gue masih benjol, muka babak belur. Dan warga udah terlanjur manggil RT, Pak RW, sampai orang tuanya Alya. Semua nuduh gue pelecehan.”
Bima terdiam sesaat, mulai bisa memahami kenapa Reihan nggak punya banyak pilihan.
Reihan menghembuskan napas keras, lalu menggeliat sedikit di atas ranjang, mencoba menemukan posisi yang tidak terlalu menyiksa tubuhnya yang penuh luka. Matanya mulai terasa berat, kepalanya berdenyut nyeri, dan suara Bima yang masih tertawa tadi masih terngiang di telinganya.
“Udah, nggak usah dibahas lagi,” ucap Reihan pelan tapi tegas. “Capek gue… mau tidur.”
Bima bangkit dari sofa, meregangkan badan sambil mengangguk. “Ya udah deh. Tapi jangan sampai kebablasan ya, gue pulang dulu.”
Reihan mengintip dari sela lengannya yang masih menutupi wajah, lalu bersungut, “Bangsat… lo nyumpahi gue mati?”
Sebuah bantal melayang ke arah Bima, nyaris mengenai wajahnya. Tapi Bima dengan cekatan menangkap bantal itu di udara, lalu terkekeh sambil memeluknya.
“Ngapain juga gue nyumpahi lo mati. Tapi ya… kalau lo sampe beneran jatuh cinta sama si Alya, itu sih tragedi hidup lo lengkap!” ucap Bima sambil tertawa geli.
“Tai lo,” sahut Reihan datar, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.
Bima melangkah ke pintu sambil melambaikan tangan. “Gue cabut. Kalo lo butuh gue, tinggal telfon. Jangan mati konyol di sini sendirian.”
“Ngilang lo cepetan, sebelum gue lempar gelas,” geram Reihan setengah main-main.
Begitu pintu apartemen tertutup, ruangan kembali sunyi. Hanya terdengar dengusan napas Reihan dan suara jam dinding berdetak pelan. Ia menatap langit-langit apartemen mewah itu, yang kini terasa seperti penjara sunyi buatnya.
Pelan-pelan ia memejamkan mata, mencoba melupakan semua kekacauan yang baru saja menimpanya.