NovelToon NovelToon
Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita
Popularitas:20.9k
Nilai: 5
Nama Author: Madya_

Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!

Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!

Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.

Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?

Update setiap 2 hari satu episode.

Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Lady Azure?

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar utama Villa Starlight, menyentuh perlahan dinding putih berkilau dengan rona keemasan. Burung-burung kecil di taman belakang bernyanyi riang, menciptakan irama lembut yang menenangkan. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu penuh badai rapat bisnis yang melelahkan, serangan licik keluarga Kandiswara, serta sorotan publik yang tak henti-henti Lyra merasakan keheningan yang nyata.

Ia membuka mata perlahan, bola matanya masih berat. Rasa letih masih tertinggal di sendi-sendi tubuhnya, seperti beban yang tak mau hilang begitu saja. Namun, pagi itu berbeda. Tidak ada dering telepon darurat, tidak ada pesan ancaman yang menusuk dada, tidak ada rapat kilat dengan pengacara. Yang ada hanya pagi yang lembut, mengizinkannya bernapas untuk dirinya sendiri.

Lyra menarik napas panjang, lalu menutup mata kembali sejenak. Seakan ingin mengunci momen ini di hatinya.

(Ding… Selamat pagi, Lyra.)

Suara itu bergema lembut di dalam benaknya. Tenang, netral, namun mengandung kehangatan yang ia kenali Zen, sistem yang selalu menyertainya.

“Pagi juga, Zen…” bisiknya pelan, suara Lyra masih serak, penuh keintiman yang hanya muncul saat ia tidak sedang berperan sebagai pebisnis atau figur publik. “Apa hari ini aku masih harus bersiap perang?”

(Tidak ada musuh hari ini. Sebaliknya… sistem memberikan hadiah untuk pencapaianmu.)

Alis Lyra sedikit terangkat. “Hadiah, ya? Baiklah, masuk, Zen.”

Sekilas cahaya biru berkilau melintas di pikirannya, seperti lautan bintang yang terbuka hanya untuknya. Sebuah layar holografis transparan muncul, memantulkan kilau lembut yang menyelimuti seisi kamar.

(Ding! Selamat, Lyra. Kau mendapatkan hadiah baru:)

Gelang Elysian Cuff: artefak bersejarah yang pernah dikenakan seorang permaisuri abad pertengahan. Gelang ini melambangkan perlindungan dan otoritas, hanya diberikan kepada pemimpin wanita yang berhasil menghentikan perang tanpa menumpahkan darah. Perkiraan nilai: 8,9 miliar rupiah.

Aset Baru: Aurora Lounge — klub eksklusif di pusat kota, dapat dijadikan tempat pertemuan privat atau sumber penghasilan pasif.

Cahaya hologram itu berubah menjadi wujud nyata. Sebuah kotak kaca elegan muncul di meja samping ranjangnya. Di dalamnya, sebuah gelang perak berkilau, permukaannya diukir dengan pola bunga iris biru yang tampak hidup, seolah menyimpan rahasia dari berabad-abad lalu.

Lyra perlahan bangkit, duduk di ranjang dengan rambut panjangnya yang terurai masih berantakan. Jemarinya menyentuh kaca, lalu membuka kotak itu dengan hati-hati. Gelang dingin itu mendarat di telapak tangannya. Seketika, ada getaran halus yang merambat dari logam ke kulitnya, bukan sakit, tapi seperti denyut nadi sejarah yang menyalurkan kekuatan.

Matanya melembut.

“Elysian Cuff…” ia menggumam, seolah ingin merasakan setiap suku kata. “Kau melambangkan otoritas dan perlindungan… dan sekarang kau menjadi milikku.”

(Gelang itu bukan sekadar perhiasan. Ia pernah menyaksikan permaisuri Elanora menyatukan dua kerajaan tanpa peperangan. Kini, kau juga berada di titik serupa, Lyra. Kau adalah pemimpin yang harus merangkul banyak pihak yang berbeda.) Suara Zen menenangkan, nyaris terdengar seperti bisikan rahasia.

Lyra tersenyum samar, tapi ada sinar serius di matanya. Ia memasangkan gelang itu ke pergelangan tangannya. Seolah gelang itu memang ditakdirkan untuknya, ukurannya pas, dan kilau iris birunya memantul indah ketika terkena cahaya matahari pagi.

“Aku mengerti, Zen. Bahkan sejarah pun sekarang seakan memihakku…” ucap Lyra lirih. Ia menatap keluar jendela, di mana matahari sudah lebih tinggi. “Kalau begitu, mari kita jalani babak baru ini. Untuk sekali ini… aku ingin merasakan pagi tanpa darah, tanpa keringat hanya tenang.”

(Ketenangan ini hanya sementara, Lyra. Tapi, sistem memastikan… kau selalu memiliki kekuatan untuk menghadapi badai berikutnya.)

Lyra terkekeh kecil. “Kau selalu tahu cara merusak romantisme, Zen.”

(Atau mungkin… justru menjaganya tetap realistis.)

Lyra menutup mata sejenak, membiarkan gelang bersejarah itu beristirahat di pergelangan tangannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya pejuang yang melawan dunia, tapi seorang ratu yang akhirnya mulai diakui sejarah.

...----------------...

Lyra baru saja bangkit dari kursinya, hendak memotong sepotong roti di meja. Tapi pisau yang licin membuat tangannya sedikit tergelincir. “Ah…” Ia refleks menarik jari manisnya, setetes darah muncul di sana.

Seketika suasana hening berubah. Lucian sudah melompat dari kursinya sebelum siapa pun sempat bereaksi. Dalam gerakan cepat, ia membuka tas medis kecil yang selalu ia bawa, menarik kapas steril dan cairan antiseptik.

“Duduk. Sekarang.” Nada suaranya tenang tapi penuh tekanan.

Lyra menahan tawa kecil melihat ekspresi serius itu. “Lucian, ini cuma goresan kecil. Tidak perlu dramatis.”

“Tidak ada luka kecil jika itu mengenai dirimu.” Lucian berjongkok di depan kursi Lyra, membersihkan luka itu dengan hati-hati, seolah ia sedang menangani pasien di ruang operasi.

Kai mendengus, menyilangkan tangan. “Lucian, kau memperlakukannya seakan ia tertusuk pedang.”

Noah menyenggol bahu Kai sambil terkekeh. “Kalau sampai Lady Lyra benar-benar tertusuk pedang, Lucian bisa pingsan duluan sebelum menolong.”

Zane mengangkat alis, menyeringai samar. “Aku akan mencatat itu di laporan pengintaian: ‘Medis kehilangan kesadaran karena pasien tercinta terluka.’”

Elias menutup laptopnya, pura-pura serius. “Aku bisa buatkan simulasi statistik, berapa persen kemungkinan Lucian panik tiap kali Lady Lyra tergores.”

Lucian hanya mendengus, tetap fokus pada jarinya yang mungil. “Kalian boleh bercanda sesuka hati, tapi tanganku yang menyelamatkan nyawanya nanti. Diamlah.”

Lyra tak kuasa menahan tawa. “Baiklah, baiklah… aku menyerah. Kau memang dokterku yang paling cerewet.”

Roy, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya bersuara. “Laporan medis insiden ini akan kutambahkan ke catatan keamanan Villa. Luka sekecil apapun tetap bagian dari evaluasi risiko.”

Serena menepuk kening, lalu mendekat sambil mengibas rambutnya. “Astaga, Lyra tersandung pisau dapur saja langsung jadi drama kolosal. Kalau begitu aku akan desain sarung tangan khusus untukmu. Mutiara dan renda, tentu saja. Cantik sekaligus aman.”

Lyra menoleh ke Serena sambil terkekeh, “Sarung tangan mutiara untuk memotong roti? Kau ini memang…”

Arven, yang biasanya paling pendiam, ikut menambahkan dari dekat pintu. “Kalau perlu, aku bisa pastikan semua pisau di dapur ini diasah dengan standar militer. Tidak akan ada yang tergelincir lagi.”

Raven, si ahli strategi, menghela napas panjang. “Tuan putri hanya ingin sarapan sederhana, tapi kalian mengubahnya menjadi operasi militer penuh.”

Semua berhenti sejenak, lalu tawa meledak serentak bahkan Kai yang biasanya kaku tak kuasa menahan senyum.

Lyra menatap mereka satu per satu, dadanya hangat. Luka kecil di jarinya tak berarti apa-apa dibanding rasa keluarga yang melingkupinya. “Kalian ini… benar-benar tidak tahu caranya jadi normal, ya?”

Lucian menutup tas medisnya dengan bunyi klik, lalu menatap Lyra dengan lembut. “Normal itu membosankan. Lebih baik kami jadi berlebihan, asal kau aman.”

Dan untuk sesaat, Lyra merasa luka kecil itu justru menghadiahkan sesuatu yang besar momen sederhana yang mengikat mereka semua lebih erat seperti keluarga yang tak pernah ia punya sebelumnya.

Lucian akhirnya selesai menutup luka Lyra dengan plester bening, lalu menarik kursi kembali. “Sudah. Jangan sentuh air terlalu lama hari ini.”

Lyra hanya mengangkat tangan seperti anak kecil yang baru selesai dimarahi gurunya. “Baik, Dokter Lucian.”

Meja makan yang tadinya tegang kini kembali dipenuhi suara sendok dan gelak tawa. Zane, yang duduk agak jauh, menyodorkan piring roti panggang ke arahnya. “Kalau kau masih lapar, Lady, biar aku saja yang memotong. Sniper tanganku jauh lebih stabil dari dapurmu.”

“Jangan bercanda, Zane.” Kai langsung menyambar, “Kalau dia yang motong, bisa-bisa rotinya dipotong pakai teropong dulu.”

Noah menepuk meja, tertawa terbahak-bahak. “Oh aku bisa bayangkan, roti di ujung meja sana, Zane teriak ‘target terkunci’ lalu dor!—roti terbelah sempurna.”

Elias ikut menambahkan, jari-jarinya sibuk mengetik di laptop. “Aku bisa bikin simulasi animasi itu, kalau kau mau, Lady Lyra.”

Lyra memegang perutnya, nyaris tersedak karena terlalu banyak tertawa. “Astaga, kalian benar-benar... meja sarapan ini seperti panggung komedi keliling.”

Serena menyuapkan sepotong buah ke mulutnya dengan anggun, lalu menatap Lyra. “Itu sebabnya aku bilang, kita butuh sarapan dengan gaya lebih elegan. Bayangkan meja panjang penuh lilin, musik biola, semua memakai gaun hitam putih. Tidak ada tawa keras, hanya bisikan sopan.”

Arven, yang jarang bicara, menoleh sebentar. “Itu bukan sarapan. Itu pemakaman.”

Semua hening sejenak, lalu meledak tertawa lagi. Bahkan Roy, dengan nada monoton khas robotnya, menambahkan: “Catatan: humor Arven tingkat jarang, efek ledakan maksimal.”

Lyra menepuk meja, pipinya memerah karena bahagia. “Ya Tuhan, kalian ini… aku tak tahu bagaimana bisa hidup tanpamu semua.”

Raven menatapnya serius, meski senyumnya tipis. “Dan kau tak perlu tahu. Karena tugas kami memastikan itu tak pernah terjadi.”

Suasana seketika melunak. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan di antara mereka. Lyra menunduk sebentar, merasakan rasa syukur yang menggenang dalam dadanya.

Zen, suaranya bergema lembut dalam benak Lyra, “Momen sederhana seperti ini, Lyra… justru akan menjadi kekuatanmu di hari-hari berat nanti. Jangan lupakan perasaan ini.”

Lyra terdiam, menyesap kata-kata itu, lalu mengangkat pandangannya. Ia melihat wajah-wajah yang mengelilinginya para pengawal yang setia, Serena yang cerewet, Roy yang kaku tapi tulus.

Ia tersenyum kecil. “Kalau begitu, ayo kita habiskan sarapan ini. Hari masih panjang, dan aku yakin dunia di luar sana sedang menunggu kita dengan segala gila dan ributnya.”

Mereka pun melanjutkan makan bersama. Tidak ada formalitas, tidak ada hierarki hanya keluarga aneh yang dipertemukan takdir dan walaupun mereka robot, dengan Lyra sebagai pusat gravitasinya.

...----------------...

Setelah tawa dan kehangatan sedikit mereda, suasana meja sarapan beralih lebih serius. Lyra meletakkan sendoknya, menatap wajah-wajah di sekelilingnya.

Kai membuka percakapan pertama. “Azure Tower sudah resmi beroperasi. Aku minta izin untuk menjadikan lantai tiga puluh ke atas sebagai pusat keamanan. Ruang kontrol, pusat komando, semuanya akan berada di bawah tanggung jawabku.”

Serena, yang sedari tadi mengunyah buah, mendecak. “Terlalu kaku, Kai. Lantai tiga puluh itu punya pemandangan terbaik! Harusnya dipakai untuk galeri fashion dan event. Bayangkan, pesta bertabur bintang dengan Lady Azure sebagai ikon.”

Roy, duduk tegak tanpa ekspresi, menimpali. “Aku menolak keduanya. Azure Tower seharusnya berfungsi sebagai pusat bisnis. Aku sudah menyusun laporan dua ratus empat puluh tujuh halaman tentang pengaturan pajak, parkir bawah tanah, hingga sistem lift.”

Suasana seketika tegang lagi, tapi kali ini bukan karena canda. Lyra terdiam sejenak, menatap mereka satu per satu mereka robot dengan berbeda karakter ribut soal masa depan sebuah gedung, seolah benar-benar manusia dengan ego dan impian masing-masing.

Zane, yang sedari tadi bersandar santai, menyalakan rokok elektroniknya sebelum berkomentar pelan. “Selama ada ruang di atap untuk menempatkan sniper tower, aku tidak peduli lantai berapa yang dipakai fashion show.”

Elias mengangkat kepalanya dari laptop. “Aku butuh setidaknya dua lantai penuh untuk server, sistem keamanan digital, dan jaringan komunikasi. Kalau Kai mau, kita bisa gabungkan pusat kontrol fisik dan digital jadi satu inti.”

Raven menatap Lyra dengan tenang, tangannya menyilangkan lengan. “Saran saya, Lady, jangan terlalu cepat diputuskan. Gedung itu akan menjadi simbol. Kita butuh strategi yang tepat agar setiap lantai mencerminkan identitas yang ingin kau tunjukkan.”

Lucian, yang baru saja selesai merapikan kotak medis kecilnya, tersenyum tipis. “Asal aku punya ruang klinik yang layak, aku tak akan ikut ribut.”

Arven menutup pembicaraan dengan nada datar, sambil meneguk kopi. “Kalau semua orang sudah punya lantai masing-masing, jangan lupa aku butuh garasi bawah tanah. Mobil tidak bisa diparkir di galeri fashion.”

Lyra akhirnya terkekeh, meneguk teh hangatnya sebelum menjawab. “Gedung itu bukan hanya milikku. Itu rumah bagi kita semua. Jadi biarlah setiap lantai punya jiwa masing-masing.”

Kai langsung menutup mulutnya, Serena menyeringai puas, Roy tampak kaku tapi diam-diam menerima. Para pengawal saling melirik, beberapa tersenyum samar.

Untuk sesaat, Lyra merasa dunia yang kacau ini masih bisa memberi ruang bagi kehangatan sederhana.

...----------------...

Selepas sarapan, Serena mendekati Lyra dengan langkah ringan, tablet tipis berbingkai perak di tangannya. Rambut panjangnya dikibaskan ke belakang seolah sedang melangkah di atas catwalk. Ia meletakkan tablet itu di meja tepat di depan Lyra, senyum nakal menari di bibirnya.

“Bos,” katanya dengan nada penuh semangat, “kau trending lagi.”

Lyra mengerutkan dahi, jemarinya ragu menyentuh layar. Saat ia melihat deretan judul yang bertebaran di portal berita dan media sosial, napasnya tercekat.

‘5 Alasan Lady Azure Bisa Jadi Ikon Fashion Dunia’

‘Apakah Lady Azure Punya Pasangan Rahasia?’

‘Azure Tower: Simbol Kebangkitan Generasi Baru’

Wajah Lyra memerah tipis, seperti ada aliran hangat yang merambat dari lehernya ke pipi. Ia menggigit bibir bawah, setengah tak percaya membaca judul-judul itu. “Pasangan rahasia? Dari mana lagi gosip ini muncul…” suaranya nyaris lirih, lebih ke gumaman untuk dirinya sendiri.

Roy, yang duduk di kursi seberang dengan postur tegak lurus seperti biasanya, menatap layar itu sekilas. Ekspresinya tak berubah, tapi nada suaranya dingin dan lugas.

“Hoaks murahan. Jika mereka berani, sebutkan nama dan bukti. Kalau tidak, itu hanya sampah algoritma.”

Kontras sekali dengan Serena yang justru tertawa lepas, suaranya nyaring menggema di ruangan sarapan. Ia menepuk pundak Lyra ringan, matanya berkilat penuh godaan.

“Ya ampun, Roy! Netizen itu memang suka iseng. Tapi kau harus baca thread ini, Lyra. Mereka benar-benar debat serius soal gaya bajumu. Ada yang bilang kau pantas jadi cover Vogue. Cover Vogue, bos!”

Lyra terdiam, pandangannya tak lepas dari layar tablet. Ada ratusan komentar, ada yang mendukung dengan pujian tulus, ada pula yang mencibir sinis. Jemarinya sedikit bergetar saat ia menggulir layar seolah setiap kata itu menembus kulitnya, masuk ke dalam dada.

Ia menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah jendela besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Gedung-gedung tinggi kota terlihat menjulang, dan untuk sesaat dunia di luar sana terasa begitu luas, begitu bising… dan begitu menatap padanya.

Dalam keheningan batin, ia berbisik pada Zen.

“Aku tidak pernah berniat jadi ikon publik. Kenapa dunia terus menaruh mataku di panggung?”

Suara Zen mengalun lembut di benaknya, tanpa wujud tapi begitu jelas suara yang hanya ia seorang bisa dengar.

(Karena kau berbeda. Dan dunia selalu terpikat pada cahaya yang tidak bisa mereka miliki.)

Lyra menutup matanya sejenak. Kata-kata itu menghantam seperti kenyataan yang tak bisa ditolak. Bibirnya melengkung samar bukan senyum lebar, melainkan garis tipis yang menyimpan sejuta rasa.

Malu. Canggung. Tapi di balik itu, ada sedikit kebanggaan yang tak bisa ia redam.

Serena masih cekikikan, Roy sudah kembali sibuk dengan data di laptopnya, tapi di tengah riuh rendah itu Lyra merasa seolah ia berdiri di panggung tak kasatmata dilihat, dipuji, dicibir, tapi tak seorang pun benar-benar tahu betapa berat rasanya membawa cahaya itu.

...----------------...

Siang itu, ketenangan Villa Starlight pecah ketika seorang wartawan nekat menerobos gerbang dengan kamera besar di tangan. “Lady Azure! Apakah benar kau dekat dengan Duke Alessandro?!” teriaknya lantang, membuat suasana mendadak tegang.

Kai langsung melangkah maju, tubuh tegapnya menutup jalan. Tatapannya dingin, suaranya serupa peringatan baja. “Mundur. Atau kamera itu akan kuanggap senjata mata-mata.”

Serena yang berdiri di samping Lyra justru terkekeh, menyibakkan rambutnya dengan gaya santai. “Hei, Mas! Kalau mau wawancara eksklusif, daftar audisi dulu. Bos kami bukan artis sinetron,” godanya sambil setengah mendorong Lyra ke belakang, seolah melindungi tapi dengan nada bercanda khasnya.

Wartawan itu tetap ngotot, wajahnya memerah. Roy maju dengan langkah tenang namun nada suaranya menohok. “Anda mengganggu privasi Lady Azure. Jika ingin jawaban, tunggu konferensi resmi.”

Noah merendahkan kacamatanya, sorot matanya tajam menusuk, membuat lawan ragu sepersekian detik. Raven hanya menyilangkan tangan, bahunya tegang, siap bergerak bila perlu. Arven menoleh cepat ke arah jalan, memastikan tidak ada ancaman tambahan yang mengikuti.

Lucian, yang paling dekat dengan Lyra, secara refleks menahan lengannya. “Lady, jangan maju,” bisiknya, lalu bergerak setengah langkah ke depan sehingga tubuhnya menjadi perisai alami.

Kai, tanpa sadar, juga bergeser setengah meter, memastikan Lyra tetap berada tepat di tengah lingkaran mereka. Gerakan mereka begitu serentak dan alami, hingga jelas terlihat bahwa tujuh pengawal itu bukan sekadar bekerja mereka hidup untuk melindungi dirinya.

Akhirnya, Lyra menepuk ringan lengan Lucian, meminta ruang. Ia melangkah maju ke teras, angin sore menyibakkan helai rambutnya. Mata beningnya memandang lurus, suaranya lembut tapi tegas. “Jika kalian ingin kebenaran, tunggulah. Saat aku siap, aku sendiri yang akan bicara.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada bentakan. Wartawan itu membeku, lalu menurunkan kameranya, wajahnya campur aduk antara kecewa dan kagum sebelum mundur perlahan.

Keheningan turun kembali. Serena menyikut Kai dengan nakal. “Lihat? Bos kita lebih tajam daripada pagar listrik.” Kai mendengus, meski kilatan bangga jelas terlihat di matanya.

Lucian menoleh khawatir, seakan ingin memastikan Lyra benar-benar baik-baik saja. Raven hanya menambahkan singkat, “Tidak ada yang ‘hanya’ ketika menyangkut dirimu.”

Lyra menatap satu per satu wajah mereka, lalu tersenyum tipis. Dalam hati, ia tahu: mereka bukan sekadar pengawal. Mereka adalah keluarga perisai yang tak akan pernah goyah di sisinya.

...----------------...

Sore itu, langit Jakarta dihiasi semburat jingga ketika Lyra berdiri di depan Azure Tower. Gedung kaca biru itu menjulang tinggi, pantulan cahaya sore membuatnya tampak seperti obelisk kristal sebuah lambang kemenangan nyata dari perjuangannya selama ini.

Begitu pintu kaca otomatis terbuka, hawa sejuk dari lobby megah langsung menyambut. Lantai marmer hitam berkilau, pilar-pilar bercahaya LED menjulang ke atas, dan sebuah patung abstrak berwarna perak berdiri di tengah, melambangkan “visi dan keteguhan”.

Roy sudah menunggunya di ujung karpet merah. Pria berjas hitam itu menunduk hormat sebelum menyerahkan sebuah tablet. “Bos, aku sudah menyiapkan laporan mingguan. Ada 624 poin untuk ditinjau.”

Lyra menghela napas, lalu menutup bibirnya dengan punggung tangan karena terbatuk kecil. “Roy… kalau kau terus begini, aku akan jadi birokrat, bukan Lady Azure.” Senyumnya tipis, seolah ingin mencairkan atmosfer formal itu.

Serena, yang berdiri di sampingnya dengan gaun blazer biru elegan, langsung memutar bola mata. Ia merebut tablet itu dari tangan Roy, lalu dengan cepat menggeser layar. “Biar aku yang ringkas. Cukup 10 poin, ditambah rekomendasi interior glamor untuk lantai utama. Lobby ini masih terlalu dingin untuk citra publik.” Ia menunjuk ke arah dinding kaca yang kosong. “Bayangkan panel kristal atau instalasi cahaya, itu bisa jadi ikon Instagram.”

Kai yang selama ini berdiri tegak di belakang Lyra, bersedekap dengan wajah serius, akhirnya angkat bicara. “Aku sudah memesan 200 unit drone. Setiap lantai diawasi 24 jam. Sistem keamanan baru akan online minggu depan.” Nada suaranya berat, tanpa basa-basi.

Roy menoleh, wajahnya datar namun sarat ketegangan. “Seriusitas tidak boleh diganggu urusan kosmetik atau mainan.”

Serena membalikkan rambutnya dengan dramatis, menatap Roy dengan senyum sinis. “Fashion itu bukan mainan, Roy. Itu citra publik! Kau bisa pasang seribu kamera, tapi jika orang melihat Azure Tower membosankan, mereka takkan masuk.”

Kai mengetukkan jarinya di bahu Serena, tatapannya dingin. “Keamanan itu fondasi. Tanpa itu, citra hanyalah topeng kosong. Kau bisa berdandan seindah apapun, tapi sekali bocor, semua runtuh.”

Ketegangan meningkat. Roy menegakkan tubuhnya lebih kaku, Serena menyilangkan tangan dengan dagu terangkat tinggi, dan Kai menatap lurus bagai batu karang.

Lyra menutup mata sejenak, lalu mengangkat tangan kanan, telapak terbuka. “Kalian bertiga, berhenti.” Suaranya tenang, tapi mengandung bobot yang memaksa semua orang diam.

Suasana lobby langsung sunyi. Dari sisi kanan, Zane si sniper yang biasanya paling pendiam menyenggol bahu Noah sambil berbisik, “Taruhan siapa duluan yang kena omelan?” Noah hanya terkekeh pendek sambil memainkan kunci lipat di tangannya.

Elias yang duduk santai di bangku pojok, mengetik cepat di laptopnya, mendecak kecil. “Drama setiap sore. Aku bahkan bisa bikin algoritma untuk memprediksi siapa yang bertengkar lebih dulu.”

Lucian, dengan tas medisnya, melangkah maju khawatir. Ia menatap Lyra, suaranya lembut. “Jangan terlalu tegang, Lady. Kau baru saja sembuh dari flu ringan.” Tangannya refleks hendak meraih pergelangan Lyra, memeriksa denyut nadi, namun Lyra menahannya dengan senyum geli.

Arven, yang berdiri di dekat pintu kaca, masih fokus mengawasi lalu lintas di depan. Namun ia menoleh sebentar dan menambahkan datar, “Bos, kalau mau, saya bisa bawakan mobil ke depan. Kalau suasana makin panas, kita mundur dulu.”

Lyra akhirnya membuka mata, tatapannya lembut tapi tajam. “Dengar baik-baik. Azure Tower akan punya semuanya: bisnis, keamanan, fashion, seni. Tidak ada yang lebih rendah dari yang lain.” Ia berjalan perlahan ke tengah lobby, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, membuat semua mata tertuju padanya. “Gedung ini bukan hanya milik kita, tapi lambang perjuangan orang-orang yang percaya pada kita. Kalian semua.”

Sejenak, hening menggantung. Roy akhirnya menunduk, suaranya rendah. “Mengerti, Bos.”

Serena menepuk tangannya pelan, seolah menyerah. “Oke, Lady. Aku akan kompromi.”

Kai, meski wajahnya tetap kaku, mengangguk sekali. “Baik. Aku akan atur ulang prioritas.”

Zane bersiul kecil, mengangkat dua jempol. “Keputusan ratu.”

Noah menambahkan, “Dan ini pertama kalinya mereka setuju tanpa bantahan. Catat sejarah.”

Elias menutup laptopnya dengan bunyi klik. “Kalau begitu, aku akan buat jadwal rapat singkat. Jangan sampai kalian balik lagi ribut besok.”

Lucian hanya menghela napas lega, sementara Arven kembali memandang keluar, tapi sudut bibirnya terangkat tipis nyaris seperti senyum.

...----------------...

Malam itu, ruang kerja Villa Starlight sunyi hanya ditemani denting jam dinding dan desiran angin lembut dari jendela terbuka. Di meja marmer putih yang rapi, sebuah amplop bersegel emas terletak mencolok berbeda dari tumpukan laporan dan dokumen yang biasa memenuhi meja Lyra. Warna emasnya berkilau memantulkan cahaya lampu gantung, seolah ingin berkata: lihat aku, aku bukan sekadar kertas.

Lyra berjalan perlahan menghampiri meja, langkah sepatunya terdengar lembut di atas karpet beludru. Matanya langsung tertuju pada amplop itu. Ada simbol Garuda di cap lilin yang mewah, membuat napasnya tertahan sejenak.

Jemarinya menyentuh perlahan tepi amplop, seakan takut merusak kesempurnaan benda kecil yang bisa mengubah arah hidupnya. Bibirnya mengerucut, kemudian sebuah senyum samar perlahan lahir bukan senyum kemenangan, melainkan senyum campuran antara rasa terkejut, bangga, sekaligus waspada.

“Konferensi Bisnis Internasional…” gumamnya pelan, suara lirihnya tenggelam di antara bunyi detak jam. “Jakarta, ya? Sepertinya panggung berikutnya sudah menungguku.”

Di dalam dadanya, ada gejolak yang sulit didefinisikan. Bagian dirinya ingin menertawakan ironi dulu ia hanyalah gadis yang berusaha bertahan dari bayang-bayang Kandiswara, kini negara sendiri mengundangnya duduk di panggung dunia. Tapi di sisi lain, rasa tanggung jawab menekan berat di bahunya.

(Kau siap, Lyra?) suara Zen muncul di dalam benaknya, tenang, namun penuh makna.

Lyra memejamkan mata, menarik napas panjang, membiarkan ketenangan menyelimuti pikirannya. Helaan napas itu bergetar tipis, seperti menyingkirkan sisa-sisa keraguan yang masih bersembunyi di relung hatinya. Jemarinya mengepal pelan di atas meja, lalu ia menjawab dalam hati dengan mantap:

“Aku selalu siap, Zen. Tapi kali ini…” ia membuka matanya, sorot birunya berkilau tajam seperti cahaya permata, “aku akan menikmatinya, bukan hanya menjalaninya.”

Ia duduk di kursi kulit hitamnya, membiarkan tubuhnya bersandar. Tatapannya mengarah keluar jendela besar, di mana langit malam membentang luas. Bulan menggantung tinggi, bundar sempurna, sinarnya menembus kaca dan jatuh tepat ke wajah Lyra, seolah menyorotinya bagaikan lampu panggung.

Villa Starlight di luar berkilau dengan lampu taman dan pantulan bintang di kaca jendela. Semuanya terasa seperti latar belakang sebuah awal babak baru. Dan di dalam ruangan itu, Lyra menyadari jalan yang terbentang di depannya tidak lagi sekadar perjuangan. Ini adalah panggung dunia, dan ia… Lady Azure, akan berjalan di atasnya dengan kepala tegak.

Jangan lupa like, subscribe dan komen agar author semangat update. Terima kasih🤗

1
Anita Dewi13
/Determined//Smile//Angry//Proud/
Ressah Van Germ
sebaiknya jgn terlalu banyak menampilkan drama para pengawal, yg nbnya adalah robot, agar tidak merusak alur/ mengurangi kesukaan pembaca.
Ressah Van Germ
gimana mau komen kalo dibuat tegang terus kyk gini? 🤭💪
Ressah Van Germ
masih binun, zen ini nama sistem, tp apa berwujud manusia spt para pengawal jg?
Ressah Van Germ
sorry gak s4 komen...
lagi asyik ngikuti alurnya..🤭💪
Ressah Van Germ
sayangnya ga ada ktrampilan beladiri/ kekuatan fisik, apa belum ya?
Ressah Van Germ
coba mampir, sapatau sesuai harapan
...
Ken Dita Yuliati
tegaaanggg bacanya dan deg-degkan tau taunya nunggu bab selanjutnya.....,
Lala Kusumah
tegaaaanng degdegan banget 😵‍💫🫣🫣😵‍💫
Grey Casanova
udah tamat kah?
Lala Kusumah
cepat hempaskan mereka Lyra 💪😍😍
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
pembantu/asisten rumah tangga
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
hai kak mampir
Lala Kusumah
tegaaaanng 😵‍💫😵‍💫🫣🫣
Lala Kusumah
kereeeeeennn Lyra 👍👍👍
Lala Kusumah
siaaap, lanjutkan 👍👍👍
Lala Kusumah
kereeeeeennn n hebaaaaaatt Lyra 👍😍💪😍
Mimi Johan
Bagus sekali ceritanya
Lala Kusumah
siap lanjutkan Thor 🙏🙏🙏
Lala Kusumah
semangat sukses selalu Lyra 💪😍😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!