Transmigrasi Ke Tubuh Selir Yang Tak Di Anggap
Di sebuah kamar terlihat seorang wanita yang sedang tertidur dengan wajah pucat.
Ia sudah tidak bangun beberapa hari lalu tapi tiba tiba hari ini matanya mengerjap pelan.
Wanita itu merasakan kepalanya berat, tubuhnya kaku, dan… hidungnya mencium sesuatu yang aneh. Campuran dupa murahan, bubuk kayu, dan... uap teh basi?
"Aduh… siapa yang masak pakai arang semalaman?" gumamnya sambil mengerang.
Ia berusaha bangun dari ranjang—eh, lebih tepatnya dipan kayu keras tanpa kasur tebal.
Tangannya menyentuh sesuatu yang berbentuk bantal, tapi kerasnya seperti… batu bata.
"Apa-apaan ini? Mana AC-ku?" Sila membuka mata lebar-lebar, dan detik itu juga ia menyesal.
Langit-langit kayu ukir, dinding bambu tipis, lentera merah temaram, dan… seorang gadis berpakaian aneh sedang menangis tersedu di sampingnya sambil berlutut.
"Nyonya—nyonya bangun! Syukurlah, saya kira nyonya sudah meninggalkan dunia ini seperti ikan asin di musim panas!" jerit si gadis sambil menyeka air mata dengan ujung lengan bajunya.
Sila menatapnya. “Eeh… kamu siapa?”
Si gadis membelalak. “Saya pelayan pribadi nyonya! Lian ! Anda tak ingat? Anda pingsan Dan terbentur batu kemarin setelah melihat Selir Hua menari di depan Yang Mulia, dan beliau… tidak memandang Anda sedikit pun…”
Sila mengangkat alis. “Selir? Yang Mulia? Ini… nonton drama kolosal apa aku semalam?” gumam wanita yang bernama Sila
Lian makin panik. “Nyonya! Apa nyonya masih pusing? Apa kita harus panggil tabib istana lagi? Tapi mereka semua bilang Anda cuma ‘terpukul secara batin’ karena... tidak dipanggil ke Istana Utama selama dua tahun…”
"Dua tahun?" gumam sila lagi dengan bingung
Sila menyentuh wajahnya. Bukan wajahnya. Pipinya lebih bulat, kulitnya… pucat. Di mana eyeliner waterproof-nya? Lipstik matte-nya? Di mana kamera? Di mana tisu basah?
Dan saat itulah, ia sadar.
Dia transmigrasi. Bukan mimpi. Bukan syuting. Dia sekarang di dunia kuno. Di tubuh seorang selir tak dianggap.
Sila berdiri dengan kaku, lalu berjalan ke cermin bundar yang tergantung di dinding. Refleksi di dalamnya… bukan dirinya. Rambut panjang disanggul ala kadarnya, wajah cantik tapi kusam, mata sembab. Tapi ada sorot yang familiar di sana—sorot “bingung tapi tidak menyerah” ala wanita tangguh dunia korporat.
Dan tiba tiba beberapa bayangan muncul dari ingatan nya, dia adalah selir Mei Lin yang belum pernah di lihat oleh kaisar bahkan kaisar tidak tau jika ada dua di istana itu karena dia datang sebagai selir rendah.
"Ya ampun bagaimana bisa tapi baiklah,” bisiknya. “Kalau ini dunia baru… aku bakal bikin heboh tempat ini.” gumam sila yang menerima semua keadaan ini.
Satu Jam Kemudian
Seluruh pelayan istana bagian dapur geger.
Seorang wanita bergaun lusuh, rambut awut-awutan, masuk ke dapur sambil menunjuk-nunjuk bahan makanan.
“Itu daging babi? Oke. Coba bikin bakpao isi jamur dan telur asin. Yang itu, buat sup rumput laut. Ini? Ini… jangan dikeprek begitu, motong jahe itu harus miring!”
Para juru masak bengong. Seumur hidup mereka di istana, belum pernah ada selir—meskipun rendahan—yang tahu cara memasak dengan penuh perintah.
Sila tersenyum lebar. “Kalian kerja keras hari ini, nanti aku ajari bikin cheese cake besok. Ehm… walau kejunya belum tentu ada sih.”
Lian mendekat dengan wajah panik. “Nyonya! Apa kita tidak akan dihukum? Anda mengambil bahan makanan dari dapur utama tanpa izin…”
“Tenang,” Sila menjawab ringan. “Aku cuma masak. Bukan mencuri mahkota.”
Dan benar saja, saat sore tiba, bau harum dari dapur belakang menyebar ke seisi istana. Bahkan hingga ke paviliun utama tempat Kaisar Liang Xu sedang membaca dokumen kerajaan.
Kaisar mengerutkan dahi. “Siapa yang membuat aroma seperti itu? Ini... lebih menggoda dari semua menu pesta perayaan musim semi.”
Salah satu kasim gugup menjawab, “Hamba mendengar kabar… itu dari dapur belakang, Yang Mulia. Dari paviliun selatan. Dari… Selir Mei Lin.”
“Mei Lin?” Kaisar mengernyit. “Yang mana itu?, aku baru dengar nama itu ?"
Sun Yi, kasim pribadi yang sudah lama bersama sang kaisar, berbisik, “Itu… selir yang di bawa oleh Mentri perdagangan yang merupakan keponakannya yang memang tidak terlihat karena memang iya salalu menyendiri"
“Masih ada rupanya,” gumam Kaisar pelan.
Malam Itu di Paviliun Mei Lin
Sila duduk di depan meja makan kecil bersama Lian. Di hadapannya, makanan sederhana tapi harum menggoda.
Lian berkata cemas, “Nyonya… Anda benar-benar tidak berniat mencari perhatian Yang Mulia?”
Sila menyesap sup pelan. “Lian, tujuan hidup itu bukan semata-mata jadi ‘disukai kaisar’. Aku lebih tertarik bikin paviliun ini nyaman, punya dapur sendiri, dan kalau bisa… buka kelas masak rahasia di malam hari. Kita jual resep ke selir lain misalnya"
Lian menatapnya seakan sedang melihat dewa.
“Dan lagi…” Sila tersenyum miring. “Kalau aku dapat perhatian si Kaisar… bukan karena aku manjat atau merengek. Tapi karena aku punya gaya. Paham?”
Di luar, angin malam bertiup lembut. Dan di kejauhan, seseorang berdiri di atap, mengintip ke arah dapur yang terang dengan cahaya lentera.
Kaisar Liang Xu menyipitkan mata. "Menarik. Sangat... tidak biasa."
Keesokan paginya, Paviliun Selatan yang biasanya sunyi seperti makam tua mendadak menjadi tempat paling sibuk di kompleks istana wanita.
Bukan karena ada kunjungan Kaisar.
Bukan karena utusan kerajaan datang.
Tapi karena… bau bubur ayam.
Bubur ayam? Ya, itu versi istana tentu saja. Sila atau selir Mei Lin berhasil menciptakan “bubur modern” ala dunia lamanya—dengan topping ayam suwir, daun bawang, telur rebus, dan… kerupuk udang istana yang ia goreng ulang karena tidak tahan liat.
Pelayan dari paviliun lain tiba-tiba punya urusan lewat depan kediaman Sila. Beberapa bahkan menyamar jadi pengantar kain cucian hanya untuk mengintip dan—siapa tahu—mencomot semangkuk bubur.
Lian menatap antrian tak resmi di luar pagar kecil paviliun.
“Nyonya… apakah kita buka kedai sarapan sekarang?” tanya Lian heran
Sila hanya tertawa kecil. “Belum saatnya. Kita harus main aman dulu. Tapi... boleh kasih ‘tester’ gratis.”
Lalu dengan gaya bak pemilik bisnis franchise, Sila membagi-bagikan mangkuk kecil bubur kepada para pelayan. Syaratnya? Cuma satu.
Mereka mengangguk cepat berterima kasih. Sementara Itu, di Paviliun Selir Hua
Selir Hua, wanita anggun berwajah licin dan hati seperti kaca pecah—menatap cermin sambil mengernyit kesal.
“Kenapa para pelayan tadi tidak mengantarkan teh bunga pagi ini? Mana bedak wangi favoritku juga habis...” tanya Selir Hua
Pelayan pribadinya menjawab pelan, “Ampun, Nyonya… sepertinya pelayan dapur sedang sibuk di paviliun lain…”
“Maksudmu… di tempat selir rendahan itu?” Mata Selir Hua membulat seperti tahu sambal kemarin.
Pelayan menunduk. “Iya… ada kabar ia memasak bubur yang membuat semua orang tergila-gila pagi ini…”
Selir Hua berdiri. Gaunnya berkibar dramatis. “Aku tidak terima! Istana ini hanya bisa ada satu bintang bersinar, dan itu aku! Siapa dia, tiba-tiba memasak dan menyaingi aroma parfume rempah dari Paviliun Anggrekku?”
Dengan tatapan menyala, Selir Hua bersiap.
Bersambung
Halo semua pembaca setia author....
Ini adalah buku baruku, mohon dukungannya dan semoga dapat menghibur.
Terima kasih ♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃
Sepertina ada gaya bahasa baru disetiap novel othor yg baru 😊 /Determined//Determined/
2025-06-04
0
Enah Siti
msuk kk inda asiap sllu hdir di karyamu apapun itu aku sllu medukungmu 💪🏿💪🏿💪🏿💪🏿😍😍😍😍
2025-06-02
1
YuniSetyowati 1999
Hai Sila 🙋 Ini aku datang mengunjungimu jd jangan kuatir ya 🙂
2025-06-01
1