Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 13
Sore itu, langit tampak redup. Cahaya jingga merambat pelan di balik tirai ruang tamu yang setengah terbuka. Di sudut ruangan, Bagas tampak sibuk merapikan perlengkapan kameranya lensa, tripod, tas kamera yang sedikit berdebu karena perjalanan panjang. Ia tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, seperti lupa bahwa ia kini telah kembali ke rumah, ke istrinya.
Aruna melangkah pelan, membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring bugis ketan buatannya sendiri. Aroma pandan dan kelapa parut menguar pelan, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang ia harap bisa mencairkan kekakuan di antara mereka.
"Ngopi dulu, Mas..." ucapnya lembut sambil meletakkan nampan di atas meja.
"Hmm," sahut Bagas singkat, nyaris tanpa menoleh.
Aruna menatapnya sejenak, lalu duduk di ujung sofa. Tangannya saling meremas, canggung. Ia tahu Bagas belum benar-benar membuka jarak, tapi juga belum sepenuhnya hadir.
“Aku ngerasa... Mas masih marah sama aku,” katanya akhirnya, pelan dan hati-hati.
Bagas berhenti sejenak, jemarinya menggenggam lap pembersih kamera.
“Nggak,” jawabnya singkat, masih tak menatapnya.
“Tapi sikap Mas... terasa beda,” lanjut Aruna, mencoba jujur.
“Sejak tadi Mas lebih banyak diam. Bahkan tatapanku pun nggak Mas sambut.”
Bagas menghela napas pelan, lalu duduk menyandarkan punggungnya.
“Aku cuma capek. Jangan mengartikan semua hal dari ekspresiku,” katanya, suaranya datar, nyaris sinis. “Nggak semua diam itu marah, Run.”
Aruna menunduk. Kata-kata itu tak sepenuhnya menyakitkan, tapi juga tak memberi pelukan. Ia merasa seperti berdiri di luar tembok tinggi yang tak tahu harus diketuk dari sisi mana.
Suara ponsel Bagas memecah keheningan. Ia melihat layar sekilas, lalu menjawab.
“Hallo?”
“Hi, Mr. Bagas. This is Linda from NGC,” ujar suara di seberang dengan nada ramah dan profesional.
“We’ve been following your work for quite some time now especially your last visual journal project in Eastern Indonesia. It’s phenomenal.”
(Pihak NGC sudah mengikuti karya Bagas cukup lama terutama proyek jurnal visualnya di Indonesia Timur. Mereka terkesan)
Bagas terdiam sebentar, agak terkejut. “Oh... thank you, I appreciate that.”
“We're currently working on a new documentary series about cultural biodiversity in Southeast Asia. After reviewing your portfolio, our creative team believes you’re a perfect fit to be one of our visual contributors.”
(NGC sedang menggarap serial dokumenter baru tentang keanekaragaman budaya di Asia Tenggara. Setelah meninjau portofolio Bagas, tim kreatif NGC yakin Bagas cocok menjadi salah satu kontributor visualnya)
Bagas mengangkat alisnya, tak menyangka sambutan sebesar itu.
"We’d love to set up a meeting with you next week either in person or virtual to discuss this potential collaboration further. Are you available sometime mid-week?"
(Pihaknya ingin menjadwalkan pertemuan dengan Bagas minggu depan bisa langsung atau virtual untuk membahas lebih lanjut kemungkinan kerja sama ini)
Bagas menjawab cepat, “Yes, I’m definitely interested. Mid-week sounds good. Just send me the details.”
“Great! We’re excited about this. I’ll send the invite shortly. Have a great day, Mr. Bagas.”
“You too,” ujar Bagas singkat sebelum menutup panggilan.
Setelah panggilan ditutup, Bagas menatap layar ponselnya beberapa detik, seperti mencerna apa yang baru saja terjadi. Tatapannya kosong, lalu berganti menjadi semacam kebanggaan yang tersembunyi. Ia menarik napas dalam-dalam, meletakkan ponsel di meja, dan akhirnya menoleh ke arah Aruna.
Aruna memperhatikan perubahan ekspresi itu. “Kabar bagus ya?” tanyanya pelan, sambil menyerahkan cangkir teh ke tangan suaminya.
Bagas mengangguk kecil. “NGC,” katanya singkat, seperti masih belum percaya. “Mereka tertarik sama karya aku. Mereka mau ajak kerja sama buat proyek dokumenter tentang budaya di Asia Tenggara.”
Wajah Aruna berseri, tulus. “Wah, itu luar biasa, Mas. Akhirnya, kerja kerasmu dilirik juga,” ujarnya lembut, meski di dalam hatinya ada perasaan asing yang perlahan tumbuh perasaan bangga bercampur khawatir.
Bagas mengambil bugis ketan dari piring. “Minggu depan aku ketemuan sama mereka, bisa jadi harus ke Jakarta. Tapi belum tahu pastinya.”
“Kalau itu mimpi Mas, aku pasti dukung,” jawab Aruna, meski nadanya mengandung kesabaran yang tak terucap.
Sesaat keheningan menyelimuti ruang itu. Hanya bunyi sendok dan cangkir yang bersentuhan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Aruna menatap teh di dalam cangkirnya.
Bagas menatap wajah istrinya beberapa detik, lalu berkata dengan nada sedikit lebih lembut, “Malam ini... kita makan di luar, ya.”
Aruna sempat terdiam, tak menyangka akan mendengar ajakan seperti itu darinya. Sudah lama suaminya tak mengajaknya keluar tanpa alasan. Tapi kali ini, nadanya berbeda ada rasa ingin berbagi, bukan sekadar basa-basi.
“Sebagai ucapan syukur, dan... entah kenapa, aku cuma pengin kita ngobrol tanpa gangguan, walau sebentar,” tambah Bagas.
Aruna mengangguk. “Baik. Aku akan siap-siap.”
Dalam diam, hatinya menghangat. Bukan karena makan malam itu, tapi karena mungkin dan hanya mungkin ada bagian dari suaminya yang perlahan kembali pulang.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor