Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FITNAH BU SEKAR
Di ruang tengah rumahnya yang sederhana, Bu Sekar duduk di kursi rotan dengan ponsel di tangan. Jari-jarinya yang mulai keriput tetap lincah saat menggulir layar Instagram, akun gosip kampung yang diam-diam ia ikuti tiap hari. Matanya menyipit saat melihat sebuah unggahan.
Foto Febi bersama seorang pria tampan berjas, berdiri di lokasi proyek mewah di Bogor. Caption-nya singkat: "Site visit di bogor. Peninjaun pembangunan Villa Baru PT. Fortune.
Mendadak wajah Bu Sekar menegang. Ia mendengus keras, lalu melempar ponselnya ke meja.
“Huh. Makin hari gaya si Febi kayak orang penting aja! Padahal dulu dia hanya staff rendahan!”
Ia berdiri, mondar-mandir kesal. Kepalanya dipenuhi bayangan-bayangan iri: Febi yang kini lebih disegani, lebih dihargai bahkan kabarnya sudah jadi sekretaris pribadi bos besar. Jabatan itu bahkan lebih tinggi daripada Roni atau bahkan Raisa, calon menantunya sendiri.
“Enggak bisa dibiarkan.” gumamnya. “Gak bisa. Harus ada yang buka mata warga. Biar tahu Febi itu bukan perempuan suci!”
Dengan langkah cepat, ia keluar rumah dan menyusuri gang kecil menuju Toko Bu Uum, tempat paling efektif untuk menebar gosip.
**
“Bu Uum! Ada kopi sachet gak, yang tiga ribuan itu lho…” suara Bu Sekar terdengar lantang. Tapi tak lama kemudian, topik berganti cepat.
“Eh ngomong-ngomong, Bu... kalian pada tahu gak? Si Febi itu... sekarang jadi sekretaris bosnya!” katanya penuh nada dramatis.
Beberapa warga yang sedang membeli sembako langsung menoleh. Salah satu ibu bertanya, “Hah? Bukannya dia staff biasa? Baru kerja berapa lama?”
Bu Sekar mendecak pelan dan menurunkan volume suaranya sedikit, seolah hendak membisikkan aib besar.
“Itu dia... makanya aneh, kan? Baru dua bulanan kerja, tahu-tahu naik jadi sekretaris pribadi. Gak masuk akal, kecuali... ya kamu tahu lah...”
Ia menatap tajam sambil mengangkat alis.
“Jual badan ke bosnya?” bisik salah satu ibu, menahan tawa geli.
Bu Sekar tersenyum miring. “Saya gak bilang begitu, tapi... nih liat fotonya...”
Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan beberapa gambar Febi dan Arkan saat kunjungan ke proyek di Bogor. Tampak dekat, walau jelas masih dalam konteks profesional.
“Dekat banget, ya... mana bosnya bujang, tampan pula. Cocok banget sama Febi yang lincah, kan?” ucap Bu Sekar, menambahkan bumbu.
Bisik-bisik pun mulai ramai. Beberapa warga mengangguk, yang lain mendecak, bahkan ada yang mengumpat pelan. Nama Febi mulai terdengar diiringi cibiran dan senyum sinis.
Namun, di antara kerumunan itu, seorang ibu tua berhijab longgar Bu Romlah mengernyitkan dahi. Hatinya tak tenang.
Dengan langkah cepat, ia meninggalkan keramaian dan menuju rumah Febi.
**
Saat itu, Vania baru saja sampai di depan rumah, dibonceng Marko. Ia baru hendak turun saat Bu Romlah datang dengan nafas tersengal.
“Bu Anita... Vania... maaf, saya harus ngomong. Tadi di toko, Bu Sekar ngomongin Febi jelek-jelek di depan warga... katanya Febi naik jabatan karena... karena hal buruk...” suaranya tercekat.
Vania langsung membeku. Matanya membulat, dadanya bergemuruh.
“Apa?!” serunya, suaranya tinggi. “Ngomong apa dia tadi bu? Hah?!”
“Katanya Febi jual diri ke bosnya biar bisa naik jabatan…”
“YA AMPUN! GILA YA TUH IBU-IBU!” Vania langsung membuka helm dan melemparnya ke motor. “GAK BISA BIARIN! GUE KE SANA!”
“Vania tunggu!” Bu Anita memegangi dada sambil mengikuti anaknya. Tapi Vania sudah berjalan cepat menyusuri jalanan menuju toko kelontong. Matanya membara.
Marko langsung men-starter motor lagi. “Bu, saya anterin. Ayo kita susul Vania!”
**
Di depan toko, Bu Sekar masih asik bercerita. Tangannya mengibas-ibas, bicaranya makin menjadi.
“Saya sih cuma bilang... gak mungkin lah dari kampus biasa tiba-tiba jadi sekretaris bos besar... kecuali ada ‘jalan pintas’... ya kan, Bu?”
BRAK!
Pintu toko terdorong keras. Vania berdiri di sana dengan wajah merah padam.
“Bu Sekar! CUKUP!”
Semua orang terdiam.
“MULUT IBU UDAH SEJAHAT APA SIH?!” Vania berteriak. “Ngomong seenaknya, nyebar fitnah seolah-olah itu fakta! IBU ITU MALU GAK SIH JADI ORANG TUA?!”
Bu Sekar terbata. “V-Vania... ini orang-orang juga yang….”
“JANGAN ALASAN! Itu kakak saya yang ibu omongin! Kakak saya kerja keras dari nol, dapet jabatan karena dia mampu, bukan karena ibu punya imajinasi kotor!”
Toko jadi hening. Semua warga yang tadinya ikut tertawa kini menunduk.
Tak lama kemudian, Bu Anita dan Marko tiba. Bu Anita langsung berdiri di samping Vania, meski napasnya ngos-ngosan.
“Vania, cukup.”
Semua kepala menoleh. Bu Anita berdiri di sana. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menusuk tajam ke arah Bu Sekar.
Ia berjalan perlahan mendekat, berdiri di depan Bu Sekar yang mulai panik. Senyum manisnya telah hilang diganti ketegasan seorang ibu yang marah karena anaknya dihina secara tidak adil.
“Sekar,” ucap Bu Anita pelan tapi terdengar jelas oleh semua yang hadir, “saya diam selama ini karena masih anggap kamu tetangga dan mantan calon besan. Tapi fitnah yang kamu sebarkan hari ini... udah kelewatan.”
Bu Sekar tertawa gugup. “Anita, jangan baper lah... saya cuma cerita apa yang saya lihat di sosmed…..”
“Itu bukan cerita. Itu FITNAH.”
Bu Anita mendekat, berdiri sangat dekat dengan wajah Bu Sekar. Nadanya turun satu oktaf dingin, mengancam.
“Dan kalau kamu pikir saya bakal terus diam, kamu salah besar. Mulai sekarang, kalau satu lagi omonganmu menyudutkan Febi, saya gak akan ragu bawa ini ke polisi.”
Semua warga menahan napas.
“Fitnah di depan umum, pencemaran nama baik, dan penyebaran hoaks. Semua itu ada pasalnya, Bu. Kamu pikir saya gak bisa buktiin? Jejak digital dan warga sini bisa jadi saksinya bu.”
Wajah Bu Sekar mulai pucat. Tangannya refleks meremas tas belanjanya.
“Saya udah cukup sabar. Tapi sabar saya ada batasnya. Dan kamu barusan lewati batas itu.”
Bu Anita lalu menatap para warga. “Kalian semua denger, kan? Jadi kalau nanti saya bawa masalah ini ke jalur hukum, jangan ada yang bilang saya kejam. Saya cuma bela anak saya yang kerja dengan cara bersih, tapi dipermalukan pakai cara kotor.”
Tak ada satu pun yang berani menjawab. Beberapa menunduk, beberapa mulai menyesal karena ikut-ikutan menertawakan fitnah tadi.
Dengan tenang, Bu Anita melingkarkan tangan di pundak Vania, lalu menatap Marko.
“Ayo kita pulang.”
Sebelum pergi, ia kembali menatap Bu Sekar sekilas, namun tajam.
“Hati-hati, Sekar. Lidahmu bisa jadi pintu masuk ke penjara, kalau kamu terus pakai buat meracuni orang lain.”
Bu Sekar tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya berdiri membatu, ditatap puluhan pasang mata yang kini tak lagi mengaguminya, tapi mulai mempertanyakan segalanya.
Setelah semua orang bubar dari toko kelontong, Bu Sekar masih berdiri di tempat, wajahnya pucat dan rahang mengeras. Di dalam dadanya, amarah bergulung tanpa henti.
"Berani-beraninya Anita ngancam saya di depan orang banyak..." gumamnya geram. "Dan si Vania... anak bau kencur itu udah kelewatan!"
*