Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
Pagi datang dengan sunyi yang mencurigakan. Desa Rambahan seperti menahan napas. Tak ada suara ayam, tak ada derit roda gerobak. Bahkan angin seolah enggan bertiup.
Pak Leman, kepala dusun, berdiri kaku di depan lumbung padi milik warga. Mukanya pucat, matanya membelalak tak percaya. Beberapa warga sudah berkumpul, tapi tak berani mendekat.
Reno dan Ajo yang baru pulang dari perjalanan panjang, segera mendekat begitu mendengar keributan.
“Ada apa, Pak?” tanya Reno.
Pak Leman menunjuk ke dalam lumbung. Di antara karung-karung padi yang tersusun rapi, tampak sebuah lubang menganga seperti liang. Di dasar lubang, genangan darah segar menghitam. Dan lebih dari itu, di dinding kayu bagian dalam, terdapat coretan aneh: simbol seperti mata terbalik dengan garis bercabang ke bawah.
“Ini... ini bukan kerja maling biasa, Ren,” gumam Ajo.
Reno merapatkan alis. Ia mendekat dan melihat bekas cakaran pada kayu. “Ini jejak... bukan manusia.”
Pak Leman berkata pelan, “Semalam, warga dengar suara tangisan dari arah lumbung. Kami kira suara bayi. Tapi siapa yang letakkan bayi di lumbung?”
Seorang ibu tiba-tiba menjerit, memeluk anaknya. “Pak, jangan bilang itu suara pancingan! Yang katanya dipakai hantu kepala untuk ngeluarin korban dari rumah!”
Kata-katanya mengguncang semua yang hadir. Reno menarik napas panjang. “Kita harus jaga malam ini. Kalau Palasik memang sudah mulai beraksi terang-terangan, kita nggak bisa tinggal diam.”
Malam hari, Reno, Ajo, dan beberapa pemuda desa berjaga di sekitar lumbung. Mereka membentuk lingkaran dengan obor kecil dan menyan yang dibakar.
Di sisi timur, Ajo duduk dengan Aris, seorang pemuda baru dari dusun tetangga yang berkarakter humoris tapi waspada.
“Jadi kalau Palasik itu kepala doang, dia ngunyahnya gimana?” bisik Aris sambil menatap gelap.
Ajo melirik kesal. “Kau ini, orang tegang malah ngajak bercanda.”
“Ya biar nggak beku otak. Nih, kalau kepala doang muncul, kita ajak main kelereng, gimana?”
Reno tertawa kecil di kejauhan. “Boleh juga idemu, Ris. Tapi jangan sampai diajak main petak umpet, nanti kita yang hilang.”
Suasana memang menegang, tapi tawa kecil membantu mereka tetap fokus.
Menjelang tengah malam, seekor anjing menggonggong keras dari ujung desa. Gonggongan itu disusul angin dingin yang berembus menusuk tulang.
Obor mulai meredup. Api seolah ditiup dari atas.
“Jaga lilin!” teriak Reno.
Lalu, dari kejauhan, terdengar suara... tangisan bayi. Tapi nadanya aneh. Seperti tangisan yang ditarik-tarik, tidak wajar.
Aris berdiri kaku. “Itu bukan suara manusia, Ren...”
“Semua tetap di tempat!” teriak Reno.
Tapi suara tangisan itu makin dekat... makin menusuk telinga.
Dari arah sawah, muncul bayangan merah menyala. Sebuah kepala—melayang, dengan rambut panjang acak-acakan, mata menyala merah, dan usus menggantung dari lehernya yang buntung.
“PALASIK!” teriak seseorang.
Warga berlarian, tapi Reno tetap berdiri. Ia menaburkan abu hitam pemberian Mang Idun ke tanah di sekelilingnya.
Makhluk itu melayang rendah, lalu berhenti saat menyentuh abu. Ia menjerit, terdengar seperti ribuan jeritan dalam satu suara.
“Jangan biarkan dia keluar dari lingkaran!” teriak Reno.
Ajo dan Aris segera menutup sisi lingkaran yang nyaris jebol. Aris, meski ketakutan, sempat nyeletuk, “Kalau tahu bakal begini, mending aku lanjut kerja di tambak aja!”
Palasik itu meronta, lalu melesat naik ke langit. Tapi sebelum pergi, ia menyambar satu karung padi dan melemparnya ke arah Reno.
Karung itu pecah, dan dari dalamnya... bukan padi yang keluar. Tapi potongan boneka-boneka kecil dari jerami, masing-masing bertuliskan nama.
Salah satunya bertuliskan: RAKASA.
Reno mengambil boneka itu. “Dia tandai siapa yang akan dimangsa.”
Ajo menggumam, “Dan nama itu muncul lagi.”
Aris menelan ludah. “Kayaknya kita butuh lebih banyak abu. Dan... satu karung humor, biar nggak gila.”
Malam itu mereka berjaga sampai fajar. Tapi satu hal jelas—Palasik kini sudah mulai bermain di siang terang.
Dan bayangan RAKASA semakin menghantui mereka semua.
Setelah malam yang mengerikan di lumbung padi, Reno dan kawan-kawan semakin menyadari bahwa apa yang mereka hadapi bukan sekadar kisah rakyat atau dongeng pengantar tidur. Ini nyata, dan mengancam siapa saja tanpa pandang usia atau nama.
Keesokan harinya, suasana desa tegang. Bahkan anak-anak pun tak lagi bermain di tanah lapang. Beberapa orang tua memilih tidak ke ladang. Yang lain menyalakan dupa dan menabur garam di sekitar rumah mereka.
“Dia makin berani,” ujar Pak Leman, “dan kalau benar nama-nama di boneka itu adalah targetnya, berarti kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat.”
Reno menyarankan satu nama yang selama ini tak pernah dilibatkan. “Bagaimana dengan Si Bisu di pinggir telaga?”
Beberapa warga saling pandang.
“Si Ujang?” tanya Ajo.
Reno mengangguk. “Orang bilang dia bisu sejak kecil karena trauma. Tapi aku pernah lihat dia gambar simbol yang sama seperti yang ada di lumbung. Mungkin dia tahu lebih dari yang kita kira.”
Ujang tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil di pinggir Telaga Peteng. Tempat itu sepi, jauh dari jalan desa. Danau yang terhampar di depan rumahnya selalu diselimuti kabut, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah tuntas.
Reno, Ajo, dan Aris mendekat pelan. Mereka membawa buah pisang dan sirih, sebagai bentuk sopan santun.
Ujang keluar tanpa suara, tubuhnya kurus, rambutnya acak-acakan. Tapi matanya tajam, seperti orang yang melihat lebih dari satu dunia.
“Ujang, kami perlu bantuanmu,” kata Reno perlahan. “Kami tahu kau tak bicara. Tapi kami percaya kau tahu sesuatu tentang ini.”
Ia menunjukkan boneka jerami bertuliskan RAKASA.
Ujang menatapnya lama, lalu masuk ke dalam. Mereka menunggu di luar. Tak lama, ia kembali membawa selembar kertas dan sebatang arang.
Dengan cepat, tangannya mulai menggambar. Simbol demi simbol, seperti mantra atau peta kuno.
Ajo melongo. “Lha ini... kok mirip sama pola yang ada di dinding tempat Tuan Guling?”
Aris mengangguk. “Dia tahu.”
Setelah selesai menggambar, Ujang menunjuk satu titik pada kertas—sebuah tanda merah seperti matahari kecil.
“Tempat ini?” tanya Reno.
Ujang mengangguk.
“Di mana?”
Ujang berjalan keluar, lalu menunjuk ke arah selatan. Lewat bukit bambu, arah yang sudah lama ditinggalkan warga karena dianggap ‘panas’ dan terlarang.
Pak Leman pernah bilang, “Jangan ke sana. Ada ladang yang tak pernah tumbuh, dan suara-suara dari tanah.”
Tapi Reno percaya sekarang bukan waktunya untuk takut. Ia menggenggam kertas dari Ujang. “Besok pagi kita ke sana.”
Malam harinya, Ajo dan Aris berjaga seperti biasa. Tapi malam itu terasa lebih sunyi.
“Ajo,” bisik Aris, “lu nyadar nggak si Ujang itu matanya kayak... kayak bisa tembus kita?”
“Bukan cuma tembus, Ris. Kayaknya dia udah ngobrol sama makhluk-makhluk itu.”
Aris mengusap wajah. “Kalau gitu, besok gua bawa sarung, kemenyan, sama... mental baja.”
Mereka tertawa pelan. Tapi dalam hati, mereka tahu, jalan yang mereka ambil tak lagi bisa mundur.
Danau Peteng memantulkan bulan, tapi di bawahnya, bayangan lain mulai bergerak. Bukan ikan. Bukan gelombang. Tapi sesuatu... yang membuka mata dari dasar danau.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...