Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelompok Murtad
Tiba saatnya hari ekspedisi ke arah Barat. Caela dan Fae bersama beberapa pasukan dari Riverbend melakukan perjalanan seperti yang sudah diperintahkan sebelumnya. Angin menderu saat Caela dan Fae melangkah ke Forgotten Ruins di barat Riverbend. Debu berputar-putar di udara kering, dan langit di atas dipenuhi awan abu-abu tebal. Batu-batu bergerigi mencuat dari tanah yang retak, dan udara berdenyut samar—seperti napas sesuatu yang kuno yang terkubur jauh di bawah tanah. Mereka telah mencapai reruntuhan yang sudah terlantar dan tampak tak berpenghuni.
Caela dan Fae melihat sebuah lengkungan yang hancur menandai pintu masuk. Pilar-pilar batu, terpelintir dan menghitam karena waktu dan kekuatan yang tidak diketahui, menjulang di kedua sisi. Caela memerintahkan para prajurit yang mereka bawa menyebar untuk mengamankan daerah itu, dia dan Fae pun juga ikut mengobservasi sekitar untuk mencari keberadaan Kuil Dewa Petir berada.
"Udaranya sungguh aneh…” celetuk Caela.
Fae mengangguk, matanya menyipit. "Tempat ini seperti punya aura terkutuk. Apakah kau merasakannya juga?"
Sebelum Caela bisa menjawab, tanah reruntuhan itu tiba-tiba bergetar. Sosok-sosok muncul dari bebatuan yang pecah dan tanah yang retak—mayat-mayat yang terpelintir mengenakan jubah compang-camping, mata putih pucat. Gerakan mereka tersentak-sentak tetapi cepat. Caela dan Fae melebarkan matanya terkejut, tak pernah mereka berdua melihat ada makhluk sebanyak itu.
“Semuanya, formasi!” Caela menyalak, menghunuskan pedangnya.
“Kem…bali…kan pa…ra De…wa kami….” salah satu sosok itu tiba-tiba mengucapkan sesuatu.
“A-apa maksudnya ini?” Caela mencoba tenang dan mengajak mereka berkomunikasi walau sepertinya tidak mungkin. Fae di satu sisi mengernyitkan dahi, dan hanya mengamati para mayat hidup itu.
“…. Ke semesta!!” sosok tersebut tiba-tiba murka dan ingin menyerang ke arah Caela.
Caela melebarkan matanya dengan sigap dia mencoba menangkis serangan sosok tersebut dengan pedang dan sihir airnya. Tetapi mereka terlalu banyak. Para prajurit pun akhirnya ikut bertempur dengan berani, tetapi gelombang terus datang. Satu per satu, orang-orang terseret ke dalam massa yang berkerumun.
Di tengah pertempuran, Caela melihat ke arah Fae, yang terdiam di pojok tampak tenang dan hanya mengamati semuanya.
“Fae?” Caela kebingungan, mengapa dia tidak membantu kita semua, dan kini Caela harus kembali menyerang balik para mayat hidup itu. Pasukan Caela perlahan tumbang satu persatu, dia semakin resah. Semua akan lebih mudah jika dia berubah menjadi Dewa Air, Varuna. Namun benaknya berdebat, dia tentu tidak bisa melakukan itu di depan Fae, karena akan ketahuan kalau dia Host yang asli dalam sebuah mitos.
Caela memutuskan untuk tetap berjuang dengan caranya sendiri. Dia memanggil gelombang sihir air yang lebih kecil, mengiris para penyerang yang tersisa. Pedangnya yang terbuat dari cairan berkilau seperti kaca, tepat dan mematikan. Tapi gelombang mayat itu terus datang, pasukan Caela sedikit demi sedikit tumbang.
“Fae! Bantu aku!” Caela mulai merasa frustasi.
Fae menaikkan alisnya, seperti tersentak sedikit. Dia pun menyeringai, “Baiklah, kalau itu maumu, Tuan Putri.”
Fae mengeluarkan batu kristal dari liontin batu di lehernya, lalu tangan kanannya dia arahkan setinggi-tingginya.
“Datanglah, Gaia.” Fae menggumam kecil dan bumi itu sendiri menjawab panggilannya.
Tanah retak terbuka saat sosok kolosal bangkit dari bawah—bentuk kristal hijau dan batu kuno yang menjulang tinggi. Matanya bersinar seperti emas cair. Raksasa itu kemudian menghantamkan tinjunya ke tanah. Pilar-pilar batu meletus, menusuk pasukan mayat hidup tersebut. Tanaman merambat dan akar-akar menyembul dari bumi, melilit para bidat dan menghancurkan mereka.
Caela menyuruh pasukannya untuk mundur di saat yang sama dia membuat perlindungan dari kekuatan sihirnya. Matanya melebar melihat Dewa Tanah, rasanya campur aduk sama seperti pertama kali dia melihat Dewa Air, Varuna.
Para makhluk yang rusak menjerit saat tubuh mereka terkoyak, jiwa mereka hancur. Dalam beberapa saat, medan perang menjadi sunyi. Para bidat terakhir hancur menjadi abu. Fae berdiri di tengah, keringat di dahinya mengalir, dan dia hendak kembali memanggil Gaia untuk masuk ke dalam kristal. Gaia melihat ke arah Caela lalu menundukan kepalanya sedikit sebelum sinar menyinari matanya dan dia kembali ke dalam kristal milik Fae. Caela sempat terkejut sebelum dia memejamkan matanya.
Fae jatuh bersimpuh nafasnya terengah-engah. Caela yang melihatnya dari kejauhan segera lari ke arahnya.
“Fae, kau baik-baik saja?” tanya Caela ikut bersimpuh untuk melihat keadaannya.
“Oh, aku baik-baik saja…” Fae lalu berdiri perlahan, “apa kau khawatir denganku, Tuan Putri?” tanyanya dengan nada menggoda.
Wajah Caela sedikit memerah, dia menyipitkan matanya, merasa kesal bercampur dengan malu, lalu dia menghela nafas, “Sungguh menyebalkan… Jangan panggil aku begitu,” Caela membalikkan badannya dan kembali berjalan.
“Tapi itu cocok untukmu, Tuan Putri,” Fae tertawa kecil, lalu dia mengikuti Caela ke arah reruntuhan kekacauan yang terjadi. Pasukan yang tersisa melakukan observasi di area ini, mencari tanda-tanda keberadaan Kuil Dewa Petir berada.
“Sepertinya tidak ada tanda-tanda Kuil Dewa di sini…” celetuk Fae wajahnya masih terlihat sedikit kelelahan.
Caela terdiam dia masuk ke lebih dalam area puing-puing batu sambil masih berhati-hati akan serangan mayat hidup itu. Dia masih berjalan berpikir, melihat di sekitar. Dia pun juga sepakat, sepertinya tak ada tanda kuil Dewa di sini, lalu diam di atas puing-puing melihat Fae.
“Makhluk tadi… Apa itu sebenarnya?” tanya Caela penasaran dan wajahnya terganggu.
Fae duduk di atas puing melihat ke arah Caela, “Tidak pernah lihat sebelumnya, tapi itu pasti mereka para manusia murtad yang dikutuk Dewa.”
Caela terdiam, dia ingat saat perjalanan ke Central menemukan makhluk yang sama tergeletak di pinggir hutan. Namun ada satu hal yang sangat mengganggu Caela. ‘Kembalikan Dewa kami ke semesta…’ katanya, Caela berpikir sejenak.
Fae terdiam melihat Caela, tiba-tiba Fae pun bertanya, “Kenapa kau tidak memanggil Dewa Varuna saat mereka menyerangmu?”
Caela tersentak sedikit, tentu saja karena dia tidak bisa memperlihatkan bahwa dia adalah Host asli menurut mitos ajaran lama yang sudah menjadi ajaran sesat saat ini.
“Aku pikir, itu tidak diperlukan,” jawabnya pelan.
Fae terdiam sejenak, “… Kau takut?”
Caela berkeringat kecil, “Tidak…” lalu dia membalikkan badannya dan jalan kembali keluar dari puing-puing itu.
Fae tersenyum kecil, dia menyusulnya dan memegang pundak Caela, “Yah, tidak apa aku kan jadi bisa pamer sedikit padamu kalau aku bisa panggil Dewa Tanah—“
Caela terkejut saat Fae memegang pundaknya, suara Dewa itu datang kembali dengan cepat disusul dengan . Di satu sisi Fae juga terkejut merasa ada yang salah dengan dirinya dia tiba-tiba bersimpuh kembali merasa lemah.
“Kau tidak apa?” tanya Caela kembali merasa khawatir, namun nafasnya juga terengah-engah.
Fae masih merasa shock, ternyata sempat ada vision dan suara Dewa yang terasa jelas di benaknya setelah menyentuh Caela. Suaranya sangat familier, dia tahu itu suara Dewa Namun dia tidak yakin pasti apa itu, seperti sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Keringatnya berjatuhan, matanya masih melebar. Saat Caela ingin membantunya untuk berdiri, Fae memberikan gestur untuk berhenti padanya.
“Aku tidak apa, hanya lelah sedikit,” katanya berusaha untuk tersenyum.
Caela masih mengangkat alisnya, apakah Fae juga merasakan hal yang sama dengannya? Tapi Caela tak berani untuk menanyakan hal itu.
***