Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun rumah kecil di Bumiarjo sudah ramai oleh aktivitas.
Grilyanto terbangun lebih dulu, perlahan membuka jendela kamar agar udara pagi yang segar masuk dan menyapu rasa kantuk yang masih menggantung.
Suara ayam berkokok dan bunyi kendaraan yang mulai melintas di kejauhan menjadi latar musik pagi itu.
Sri menyusul bangun, melipat selimut dan segera menuju dapur.
Ia menyiapkan teh manis hangat dan beberapa potong roti tawar dengan olesan mentega sederhana.
Meskipun mereka akan melakukan perjalanan panjang, Sri tak pernah melewatkan sarapan untuk suaminya.
“Makan dulu ya, Mas,” ucapnya lembut sambil menyodorkan secangkir teh dan roti di meja kecil.
Grilyanto duduk, menyantapnya perlahan. Ia memandangi Sri yang sibuk membereskan koper dan tas kain berisi oleh-oleh, memastikan semuanya tidak tertinggal.
Getuk, wajik, dan beberapa keripik singkong khas Surabaya mereka bawa sebagai buah tangan untuk keluarga di Magelang.
Setelah semuanya siap, mereka berpakaian rapi. Grilyanto mengenakan kemeja lengan panjang biru muda dan celana kain abu-abu, sedangkan Sri mengenakan kebaya sederhana warna salem dan rok panjang, rambutnya disanggul rapi.
Ada semangat dan harapan yang terpancar dari cara mereka berpakaian perjalanan ini bukan hanya pulang, tapi juga membawa cerita baru dari kehidupan mereka sebagai pasangan suami istri.
Tak lama kemudian, mereka mengunci rumah, memastikan semua aman, dan melangkah keluar sambil membawa koper dan tas.
Jalan kecil di Bumiarjo yang biasa mereka lalui menuju warung dan pasar, kini membawa langkah mereka menuju terminal antarkota.
Di ujung gang, mereka memanggil becak untuk mengantar mereka ke Terminal Joyoboyo. Sepanjang perjalanan, Grilyanto dan Sri duduk berdekatan di atas becak, menikmati angin pagi yang menyapu wajah mereka.
Sesekali Sri menunjuk ke arah tempat-tempat yang dulu mereka lewati saat awal menikah sebuah toko emas kecil, kios lumpia di dekat rumah sakit RKZ, dan warung dawet favorit mereka.
Sesampainya di terminal, suasana mulai ramai. Orang-orang berlalu-lalang, suara klakson bus, pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan, dan suara petugas yang mengumumkan keberangkatan bus membuat suasana pagi itu begitu hidup.
Grilyanto memegang koper sambil menggenggam tangan Sri, tak ingin kehilangan arah di tengah keramaian.
Mereka menunggu di bangku panjang terminal, memandangi bus-bus yang datang dan pergi.
Saat bus menuju Magelang datang, Grilyanto segera mengajak Sri naik.
Mereka duduk bersebelahan di kursi tengah, mendekatkan kepala satu sama lain, merasa nyaman meski suasana di dalam bus begitu padat.
Saat mesin bus menyala dan perlahan mulai bergerak, Sri memandang keluar jendela. Surabaya mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit.
Rasa rindu, haru, dan semangat bercampur dalam diam mereka. Grilyanto menyandarkan kepala ke kursi dan menggenggam tangan istrinya erat.
“Siap menuju kampung halaman, Sri?” bisiknya.
Sri tersenyum dan mengangguk,
“Siap, Mas.”
Bus melaju, membawa mereka ke arah Magelang lamembawa cinta, kenangan, dan kisah baru yang terus mereka rajut bersama.
Setelah empat jam perjalanan yang melelahkan namun penuh cerita, bus antar kota yang ditumpangi Grilyanto dan Sri akhirnya berhenti di sebuah rumah makan sederhana namun cukup terkenal di jalur lintas Jawa.
Rumah Makan Duta di daerah Ngawi. Bus perlahan masuk ke area parkir yang luas, di mana beberapa kendaraan lain sudah lebih dulu terparkir.
Di kejauhan terlihat hamparan sawah dan pepohonan yang seakan memberi nuansa sejuk dan teduh, meski matahari sudah cukup tinggi menyorot bumi.
Para penumpang mulai turun satu per satu, membawa kupon makan yang sudah dibagikan sebelumnya. Grilyanto memegang dua kupon kertas itu erat-erat sambil menggandeng tangan Sri.
“Ayo, Sri, kita cari tempat duduk dulu. Nanti biar aku yang pesan makanannya,” katanya dengan nada lembut.
Mereka memilih meja yang agak di pojok, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya.
Dari sana terlihat deretan kendaraan yang lalu lalang, dan beberapa petani yang sedang beristirahat di pinggir sawah.
Angin sepoi-sepoi masuk lewat jendela yang terbuka, membawa aroma tanah dan rerumputan yang khas.
Grilyanto berjalan ke kasir, menyerahkan kupon, dan memesan dua porsi ayam bakar lengkap dengan nasi hangat, semangkuk soto ayam, secangkir kopi hitam untuk dirinya, dan segelas es sirup merah untuk Sri. Tak lama kemudian, makanan diantar oleh pelayan dengan senyum ramah.
"Ayam bakarnya harum sekali ya, Mas," ucap Sri sambil mengambil sendok.
Grilyanto tersenyum, “Iya, ini rumah makan langganan supir-supir bus. Biasanya makanannya enak.”
Mereka makan perlahan, menikmati setiap suap dengan rasa syukur.
Di antara suapan dan tegukan kopi, Grilyanto melirik jam tangannya.
“Masih tiga jam lagi perjalanan,” katanya sambil meraih tangan Sri yang ada di atas meja. Sentuhan itu hangat, menenangkan, dan menguatkan. “Kamu capek?”
Sri menggeleng kecil. “Nggak, Mas. Aku senang. Rasanya seperti bulan madu. Bedanya, kita menuju rumah masa kecilmu.”
Mereka tertawa kecil, lalu kembali melanjutkan makan.
Suasana rumah makan yang ramai oleh suara pengunjung dan aroma masakan justru menjadi latar yang menyenangkan bagi obrolan kecil mereka.
Setelah selesai makan, mereka berdua berjalan pelan ke tempat cuci tangan, lalu kembali menuju bus yang sudah mulai dipanaskan oleh sopir.
Beberapa penumpang lain juga mulai kembali ke tempat duduk masing-masing.
Sebelum naik, Grilyanto menyempatkan membeli dua botol air mineral di warung kecil dekat parkiran.
Di dalam bus, mereka duduk kembali di kursi semula. Sri menyandarkan kepala ke bahu suaminya, dan Grilyanto melingkarkan tangannya di bahu Sri.
Dari balik jendela, langit cerah menggantung di atas perjalanan mereka, seakan menjadi saksi bisu cinta dan kebersamaan yang tumbuh semakin kuat.
Tiga jam lagi mereka akan sampai di Magelang. Tapi lebih dari sekadar tempat tujuan, perjalanan itu sendiri sudah menjadi kenangan indah yang akan selalu mereka simpan di hati.
Bis kembali melaju perlahan meninggalkan Rumah Makan Duta.
Mesin menggeram halus, roda-roda mulai bergulir melanjutkan perjalanan yang masih tersisa sekitar tiga jam lagi menuju Magelang.
Jalanan di depan mulai tampak lengang, dengan pemandangan khas pedesaan yang mengalir di balik jendela, persawahan luas, anak-anak bermain di tepi jalan, ibu-ibu membawa belanjaan, dan sesekali gerobak sapi yang melintas perlahan.
Di dalam bis, suasana mulai hening. Beberapa penumpang tertidur dengan posisi kepala miring, ada pula yang sibuk dengan obrolan mereka, dan sebagian lainnya hanya menatap kosong ke luar jendela.
Grilyanto duduk dengan tenang di samping Sri, tangannya menggenggam tangan istrinya yang mulai terasa dingin karena angin dari ventilasi pendingin udara.
Sri menatap ke luar, matanya tak ingin melewatkan setiap potongan pemandangan yang menghampar di hadapannya.
"Mas, itu sungai besar sekali," ucapnya sambil menunjuk ke kejauhan.
Grilyanto tersenyum. "Itu Bengawan Solo, Sri. Sungai legendaris. Lagu 'Bengawan Solo' itu loh, dulu terkenal banget."
Sri mengangguk-angguk, matanya menyapu jembatan panjang yang melintasi sungai luas dengan aliran tenang berwarna kecoklatan.
Beberapa perahu nelayan kecil terlihat berdiam di tepi sungai, dan jauh di sana, tampak anak-anak berlarian di tepian, seolah tak peduli akan teriknya siang.
Perjalanan berlanjut, dan bus mulai memasuki wilayah Solo.
Sri melihat keramaian kota yang rapi dan bersih. Bangunan tradisional bergaya Jawa berdiri berdampingan dengan ruko modern.
Namun perhatiannya terhenti saat dari kejauhan, tampak siluet megah Candi Prambanan yang berdiri anggun di tengah hamparan hijau.
“Mas, itu Candi Prambanan ya?” tanyanya kagum.
“Iya. Salah satu candi Hindu terbesar di Indonesia. Legenda Roro Jonggrang dari situ,” jawab Grilyanto.
Sri menatap dengan mata berbinar. Ia belum pernah melihat langsung bangunan setua dan seindah itu.
Meski hanya lewat dari dalam bus, rasanya seperti melihat sepotong sejarah berdiri megah di hadapannya.
Perjalanan mulai terasa panjang. Sri mulai menguap kecil.
Angin dari AC bus yang sejuk, ditambah guncangan lembut dari jalan beraspal yang mulus, membuat kelopak matanya mulai terasa berat. Grilyanto menyadari itu dan perlahan menarik kepala istrinya untuk bersandar di pundaknya.
“Tidur saja dulu, Sri. Nanti aku bangunkan kalau sudah hampir sampai,” bisiknya.
Sri tersenyum lemah, “Iya, Mas...”
Dalam hitungan menit, ia sudah terlelap. Nafasnya teratur, wajahnya tenang. Grilyanto menatapnya penuh sayang.
Dalam hati ia merasa bersyukur memiliki Sri di sisinya, wanita sederhana yang penuh cinta dan kesetiaan.
Sementara di luar, langit mulai meredup. Awan tipis menggantung, seolah ikut mengiringi perjalanan mereka pulang menuju kenangan masa kecil, menuju tanah kelahiran, dan mungkin, awal dari babak baru dalam hidup mereka.